Indonesia Emas 2045 dan Sekularisasi Pendidikan
Pemerintah telah mencanangkan “Indonesia Emas 2045”, seperti yang tersusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang dikenal dengan sebutan cita-cita mewujudkan Indonesia Emas. RPJPN merupakan upaya mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 dengan visi “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”.
Salah satu elemen penting yang menjadi perhatian adalah sumber daya manusia (SDM). Di dalam rangka itu, pemerintah telah melakukan berbagai langkah di bidang pendidikan, dengan harapan Indonesia Emas 2045 benar-benar terwujud. Dari pembenahan berkali-kali atas kurikulum hingga penguatan pendidik dan tenaga pendidikan lainnya, terutama pada aspek administrasi dan manajerial.
Namun, gagasan pemerintah perihal Indonesia Emas 2045 perlu mendapatkan kritik dan koreksi dari berbagai elemen. Terutama kalangan dunia pendidikan. Sebab, selama ini yang dilaksanakan justru menumbuh-kembangkan sekularisasi pendidikan. Pendidikan masih diarahkan pada terlahirnya peserta didik yang berorientasi materi dan duniawi. Lembaga pendidikan diarahkan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang siap kerja di berbagai perusahaan. Aroma sekularisasi pendidikan sangat terasa lagi jika standar kelulusan tidak memperhatikan standar normal dan utama spiritual sekaligus moralitas seperti ibadah-ibadah utama.
Bayangkan, kita menyaksikan secara gamblang, kemampuan menjalankan ibadah wajib tak dimasukkan sebagai salah satu elemen standar kelulusan peserta didik di lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Inilah bahaya paling nyata sekularisasi pendidikan, yaitu proses pendidikan yang hanya mengejar target sekaligus mengarusutamakan tujuan materialistik daripada tujuan spiritualistik. Akhirnya, tak sedikit yang terlihat hebat secara kasat mata tetapi hatinya rapuh dan moralitasnya hancur. Jabatan yang seharusnya digunakan untuk menjalankan mandat secara adil, amanah, dan profesional, serta bertanggung jawab, justru terjebak pada tindakan amoral dan kriminal, termasuk korupsi.
Berbagai upaya pemerintah untuk melahirkan generasi emas tak dibarengi dengan penguatan aspek kunci yaitu pembentukan sekaligus penguatan iman, taqwa, dan akhlak mulia, sebagai aspek penting sekaligus tujuan utama pendidikan itu sendiri. Ruh pendidikan, terutama jika ditelisik dari kurikulum yang berlaku saat ini, hanya diarahkan untuk menghasilkan generasi pekerja, untuk mengisi berbagai lapangan pekerjaan yang tersedia. Lembaga pendidikan pun tak jauh beda dengan Balai Latihan Kerja atau BLK, bukan lembaga yang menjadi rahim lahirnya generasi emas sesuai standar konstitusi dan UU Sisdiknas.
Baca juga: Tiga Sistem yang Membuat Dunia Modern Sangat Materialistis
Orientasi pendidikan sangat nyata diarahkan untuk meraih jabatan dan mengejar materi atau gaji sebesar-besarnya. Sehingga, tak sedikit yang sibuk mengejar target lulus dengan nilai ijazah yang mentereng sebagai prasyarat tes kelulusan di lapangan kerja tertentu tetapi minus moral, bahkan kehilangan adab. Tak sedikit sarjana muslim yang begitu bangga bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang juga besar, tetapi rela dan merasa biasa ketika meninggalkan kewajiban sebagai muslim, terutama shalat lima waktu. Bahkan, tak sedikit lembaga pendidikan yang mengejar paket prestasi untuk memenangkan perlombaan sains di berbagai level perlombaan, tetapi imannya keropos dan adabnya nol besar, bahkan jiwanya tak terpanggil untuk ber-amar maruf nahi munkar.
Padahal, jika merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sangat jelas bahwa iman, taqwa, dan akhlak mulia, adalah tiga variabel penting, bahkan menjadi yang pertama dan utama. Pada UU tersebut, tepatnya pasal 3 tentang dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Indonesia Emas sejatinya ditentukan oleh adanya generasi emas Indonesia, yaitu generasi yang berintegritas baik dan berkompetensi dalam bidang karirnya. Generasi ini adalah generasi yang dapat beradaptasi pada perubahan serta mampu menggunakan kemajuan teknologi digital dengan baik dan bijak. Ciri utama generasi ini adalah beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, dan berwawasan luas, cerdas, sehat, kreatif, inovatif, produktif, profesional, dan bertanggung jawab. Mereka bukan generasi robot yang mudah dan mau dikendalikan oleh agenda asing dan kepentingan duniawi sesaat.
Elemen kunci lahirnya generasi semacam itu adalah pendidikan, baik itu pendidikan formal dan informal maupun non formal. Sejalan dengan tujuan bernegara yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pada batang tubuh konstitusi seperti pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 31, dan Pasal 32, mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
Di dalam rangka melahirkan generasi semacam itu, ada tiga strategi yang mesti ditempuh. Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan, terutama guru dan dosen. Guru dan dosen adalah pendidik utama generasi emas di sektor pendidikan formal. Maknanya, pemerintah harus memastikan guru dan dosen terjamin mutu, kualitas, dan kesejahteraannya. Guru dan dosen mesti memiliki moral yang tinggi dan berintegritas, serta tidak terjebak pada pemikiran sekaligus sikap sekularistik atau cenderung materialistik atau hedonistik.
Baca juga: Perang Sarung: Menanti Respon Strategis Intitusi Dakwah dan Dai
Jika guru dan dosen terjebak pada paradigma sekaligus sikap sekularistik yang menepikan agama dan moral dalam kehidupan nyata dan profesinya, maka yang terjadi adalah terlahirnya generasi bingung dan bukan generasi emas nan gemilang. Satu sisi nurani mereka menyuarakan agar selalu berada pada jalan kebenaran dan kebaikan sebagai wajah dan ejawantah ajaran agama (dalam hal ini Islam), namun cara mereka berpikir di-setting agar menolak suara tersebut. Akhirnya, lembaga pendidikan bertransformasi dari laboratorium generasi emas menjadi laboratorium generasi bingung.
Pemerintah dan lembaga pendidikan di berbagai level dengan berbagai instrumen kelembagaannya, harus berbenah dan bertindak cepat. Institusi dan lembaga yang berwenang harus memastikan guru dan dosen mampu menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru dan dosen tidak diarahkan kepada tujuan duniawi yang sesaat dan agenda formalistik semata. Sebab, pada pundak merekalah generasi emas itu ditentukan.
Kedua, memastikan proses pendidikan, terutama di lembaga pendidikan formal, berlangsung sesuai tujuan pendidikan nasional yang berpijak pada konstitusi dan Undang-Undang yang sangat kental dengan integritas yang dibingkai prinsip dan nilai-nilai moralitas dan profesionalitas. Pemerintah harus melakukan evaluasi secara serius terhadap proses pendidikan selama ini, sehingga menghasilkan generasi emas dengan karakter unggul seperti yang ditentukan UU. Bukan justru menghasilkan peserta didik atau generasi yang tidak bermoral dan anti Tuhan serta aturan-Nya.
Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus bertanggungjawab penuh dan mengambil peran utama penuh pada maju-mundurnya dunia pendidikan. Pendidikan mesti ditempatkan pada tempatnya yang mulia, sehingga menghasilkan output dan outcome pendidikan yang bermutu dan berkualitas sesuai yang diamanahkan konstitusi dan UU.
Ketiga, pemberdayaan dan penguatan keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Pada 2015 silam, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga (Direktorat PPK). Secara yuridis, direktorat hadir berdasarkan Permendikbud Nomor 11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden No 14/2015 yang mengatur struktur organisasi Kemendikbud.
Baca juga: Peran Partai Politik dalam Perubahan Politik Substantif di Indonesia
Kita berharap agar di bawah pemerintahan presiden baru (periode 2024-2029), Direktorat PPK diadakan kembali setelah ditiadakan pada struktur Kemendikbud beberapa tahun terakhir ini. Keberadaan direktorat ini urgent dan dibutuhkan untuk menguatkan peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Sehingga, ia mampu menjadi pendukung utama sistem penyelenggaraan pendidikan nasional, terutama dalam melahirkan generasi emas Indonesia.
Generasi emas Indonesia terbentuk dari proses pendidikan yang terencana dan terevaluasi dengan baik, serta tetap berpijak pada konstitusi dan UU yang berlaku, bukan pada agenda sekaligus setingan asing yang cenderung kapitalistik dan sekularistik. Semua elemen harus terlibat, baik pemerintah maupun lembaga Pendidikan, juga elemen masyarakat. Jika kita bersatu padu dan berkolaborasi, maka generasi semacam itu bakal terbentuk dan mampu mengisi berbagai sektor dalam negeri, bahkan mampu berkompetisi di level global. Bahkan negara kita, Indonesia, pun mencapai derajat negara yang baik, dirahmati dan diberkahi berdasarkan standar Allah dan Rasul-Nya. Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an surat Saba’ ayat 15.