Indonesia: Ketika Demokrasi Seiring Sejalan dengan Korupsi

Indonesia: Ketika Demokrasi Seiring Sejalan dengan Korupsi
Indonesia: Ketika Demokrasi Seiring Sejalan dengan Korupsi / Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Sebenarnya agak kelu, ketika harus membincangkan kasus korupsi di Indonesia. Kelu, akibat keringnya diksi untuk menggambarkan situasi korupsi yang tiada pernah berhenti. Susul menyusul menjadi ledakan kasus dengan eskalasi dan besaran yang terus bertambah.

Apa yang terbayang dalam benak kita saat disebut nilai korupsi yang mencapai 1000 Triliun Rupiah? Mayoritas rakyat Indonesia yang semestinya berhak atas uang tersebut dalam bentuk program pembangunan, tampaknya kesulitan jika harus membayangkan jumlah sebesar itu. Akan seberapa tinggi gunungan uang yang mungkin tercipta dari tumpukan uang tersebut jika diletakkan di tengah lapangan sepak bola?

Dahsyat! Mungkin hanya kata itu yang bisa terlontar manakala pemandangan tersebut terbentang di depan mata. Tetapi sejujurnya, saya lebih yakin jika bengong adalah respon yang bakal terjadi. Tak yakin ada kata yang sempat terucap. Bahkan kata “Dahsyat” tak bisa untuk mewakili rasa takjub, heran, terkejut, nafsu, dan marah yang mungkin terakumulasi jadi satu.

Masalahnya lagi, kasus itu seperti letusan gunung berapi yang susul menyusul. Dari kasus Antam, Pertamina, PLN, dan entah apa lagi yang telah meletus lebih dahulu dan yang akan menyusul nanti.

Dahulu, di awal-awal ada KPK, setiap kali ada kasus korupsi yang terkuak atau ada OTT, masyarakat dibuat heboh. Muncul kegemparan, seperti munculnya gempa akibat letusan gunung berapi. Ada guncangan yang entah berapa skala richter.

Kini, bahkan dengan angka yang mencapai 1000 Triliun, masyarakat adem-adem saja. Tak ada rasa kaget. Entah sudah apatis, atau diam-diam telah muncul “imunitas’ tertentu akibat seringnya kasus korupsi ini muncul.

Masyarakat sudah terbiasa. Atau mungkin lebih tepatnya telah “terdidik” sehingga siap menerima kabar-kabar bombastis itu dengan ekspresi yang datar-datar saja. Tak lagi heran, sudah biasa, toh hukumannya begitu-begitu saja. Wajar, jika kasusnya terus terulang dengan tempat dan aktor yang berbeda.

Ironi Demokrasi

Konon pula Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia. Bukan klaim kaleng-kaleng, status tersebut disematkan oleh Economist Intellegence Unit, salah satu divisi kependudukan PBB. Klaim itu dirilis pada tahun 2023 lalu. Data tersebut lebih dikaitkan dengan besaran partisipasi politik yang diukur dari besarnya jumlah penduduk. Indonesia di bawah Amerika Serikat yang menduduki peringkat kedua. Sementara posisi pertama diduduki oleh India.

Mengikut teorinya, mestinya demokrasi mampu menepis praktik demokrasi. Demokrasi antara lain bercirikan pada akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, serta kontrol langsung masyarakat dalam bentuk partisipasi publik.

Pemikir ekonomi semacam Amartya Sen bahkan memberikan penekanan bahwa transparansi dan kebebasan informasi dalam sistem demokrasi akan menjadi instrumen penting bagi upaya menekan tindakan korupsi oleh para pejabat publik.

Negara demokrasi yang besar semisal Indonesia, mestinya memunculkan partisipasi dalam bentuk multi partai, tekanan pada transparansi yang lebih luas, serta informasi yang lebih bebas. Ini semua akan menjadi kekuatan besar bagi kontrol atas praktik pembangunan dan jalannya pemerintahan. Sehingga mestinya, negara demokrasi besar semakin efektif dalam menekan praktik korupsi.

Teori akuntabilitas memberi penekanan lain, dalam sistem demokrasi, pejabat publik harus bertanggung jawab kepada rakyat karena mereka dipilih melalui pemilu. Jika mereka terlibat dalam korupsi, masyarakat dapat menghukum mereka dengan tidak memilih kembali dalam pemilu berikutnya. Pemilu yang kompetitif seharusnya memberikan insentif bagi politisi untuk tetap bersih, karena mereka harus menjaga reputasi agar tetap terpilih. Karenanya, korupsi bisa ditekan.

Nyatanya, semua teori demokrasi itu seperti tak berlaku di rawa-rawa politik Indonesia. Terlalu banyak buayanya, sehingga demokrasi yang terlihat gegap-gempita itu senyatanya hanyalah prosedural belaka.

Pemilu Prosedural, pesta rakyat yang digelar lima tahunan ternyata hanyalah hajatan para elite partai politik yang telah memiliki deal untuk sama-sama melanggengkan kekuasaan atau jabatan masing-masing. Rakyat diundang, diberi ongkos, diberi sembako, untuk mendukung deal-deal politik itu. Jadilah Pemilu itu meriah, namun kehilangan substansinya.

Hukum Prosedural, pranata hukum telah berada dalam cengkeraman para penguasa jahat. Semuanya bisa diatur atas titah penguasa.

Dua urat penting demokrasi substansial ini telah efektif diamputasi dalam praktik demokrasi kita. Sehingga Pemilu sekadar menjadi ajang jual-beli suara. Partai Politik telah menjadi perusahaan dan hasil korupsi adalah sumber biayanya. Jadilah demokrasi seiring sejalan dengan korupsi. Mungkinkah ini wajah asli demokrasi kita?

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.