Gelombang protes mahasiswa di kampus-kampus dunia yang sedang marak menandai babak baru dalam sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan global. Dari Universitas Columbia dan Harvard di Amerika Serikat hingga Universitas Tokyo di Jepang maupun Oxford University. Di setiap universitas, para mahasiswa mendirikan tenda, melakukan aksi duduk, hingga menduduki gedung kampus. Mereka menyerukan satu tuntutan bersama: Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel atas kekerasan yang terus berlanjut di Palestina.
Gerakan ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 36.000 warga Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — terbunuh sejak Oktober 2023 dalam agresi militer Israel. Serangan bertubi-tubi ke wilayah sipil, rumah sakit, hingga kamp pengungsi, mendorong organisasi hak asasi manusia internasional semisal Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut tindakan itu sebagai bentuk kejahatan perang — bahkan berpotensi genosida.
Namun, yang jarang disorot adalah bagaimana sistem kekerasan tersebut ditopang oleh dana, teknologi, dan legitimasi dari institusi-institusi akademik. Banyak universitas ternama tercatat memiliki investasi di perusahaan-perusahaan multinasional seperti Raytheon Technologies, Lockheed Martin, dan Caterpillar, yang produknya digunakan dalam operasi militer Israel. Beberapa juga memiliki kerja sama riset dengan institusi seperti Technion – Israel Institute of Technology, yang secara aktif mengembangkan teknologi militer untuk pasukan Israel.

Hal itulah yang memicu munculnya gelombang yang disebut sebagai Intifada Akademik — sebuah bentuk perlawanan mahasiswa terhadap keterlibatan institusi pendidikan dalam kekerasan global. Tuntutan mereka terang dan tegas:
- Boikot kerja sama akademik dengan lembaga-lembaga yang mendukung penjajahan.
- Divestasi dana kampus dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM.
- Sanksi terhadap institusi yang melanggengkan atau menormalisasi hubungan dengan entitas pelaku kejahatan perang.
Kampus, sebagai ruang moral dan intelektual, tidak seharusnya netral dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia. Netralitas dalam situasi ketidakadilan yang ekstrem justru merupakan bentuk keberpihakan kepada penindas.
Sayangnya, hingga kini, belum banyak universitas di Indonesia yang menyatakan sikap terkait tragedi kemanusiaan di Palestina. Padahal, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam solidaritas terhadap perjuangan antikolonial. Bahkan, Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Lalu, mengapa kita diam saat penjajahan masih berlangsung?

Sudah saatnya mahasiswa, dosen, dan civitas akademika di Indonesia menuntut transparansi terhadap portofolio investasi kampus, meninjau ulang kerja sama internasional, serta menyatakan dukungan konkret terhadap rakyat Palestina. Mahasiswa bukan sekadar obyek pendidikan, tetapi juga agen perubahan. Dan perubahan itu harus dimulai dari tempat kita berpijak: kampus.
Intifada akademik bukan tren sesaat, melainkan suara hati nurani. Sebuah panggilan untuk memihak kepada keadilan, di mana pun ia diperjuangkan.
Oleh: Nuzrafil Ardan (Mahasiswa Kampus Universitas Andalas & Aktivis Kepalestinaan)

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!