Tim transisi pemerintahan baru Presiden RI Terpilih, Prabowo Subianto, tengah melakukan kajian atas penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 22 persen menjadi 20 persen. Rencana penurunan ini dilandasi oleh keinginan pemerintahan baru untuk meringankan beban masyarakat dan dunia usaha sekaligus upaya mendorong penerimaan negara.
Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa rencana penurunan PPh badan itu sejalan dengan keinginan pemerintah baru untuk meningkatkan rasio penerimaan menjadi 23 persen. Toh, kata dia, tarif pajak yang lebih besar selama ini tidak serta merta mendongkrak penerimaan negara. Sebab, yang terjadi justru bisa sebaliknya.
Padahal, sejatinya mengurangi PPh badan secara otomatis bisa mengurangi penerimaan negara yang pada akhirnya dapat mengurangi kapasitas pemerintah untuk membiayai program-program kesejahteraan sosial, yang sangat bergantung pada anggaran publik. Sebagai contoh, anggaran untuk program bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi kesehatan melalui BPJS sangat bergantung pada ketersediaan dana dari pajak.
Pengurangan pendapatan negara ini bisa memicu pengetatan anggaran di sektor-sektor vital yang menyentuh masyarakat miskin, berpotensi memerburuk ketimpangan akses terhadap layanan dasar. Terlihat, wacana ini akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih dalam, karena korporasi yang diuntungkan mungkin tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan karyawan atau masyarakat.
Kami mempertanyakan asumsi trickle-down economics di balik kebijakan ini, yang mengatakan bahwa pengurangan pajak pada sektor korporasi akan mengalirkan keuntungan ke seluruh lapisan masyarakat. Kenyataan sering menunjukkan bahwa keuntungan tersebut lebih sering diakumulasi oleh pemilik modal dan pemegang saham, sementara pekerja dan masyarakat miskin tetap tidak mendapatkan manfaat yang signifikan.
Sangatlah ironi ketika korporasi besar justru menikmati pengurangan tarif pajak, sementara masyarakat kelas menengah, yang sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian, dibebani oleh berbagai pajak baru.
Opsi Lain untuk Menjaga Penerimaan Negara
Melihat kodisi yang terjadi, sangatlah penting bagi pemerintah untuk memertimbangkan opsi lain untuk menjaga penerimaan negara tanpa menambah parah ketimpangan sosial. Pemerintah bisa mengeksplorasi beberapa langkah alternatif, antara lain:
Pertama, memerkuat pengawasan dan penegakan pajak. Salah satu cara paling efektif dan berkelanjutan untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan memerkuat pengawasan dan penegakan aturan pajak yang ada, terutama di kalangan korporasi besar dan individu kaya.
Masalah penghindaran pajak dan penggelapan pajak masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa harus menaikkan pajak dengan menutup celah-celah yang memungkinkan perusahaan besar menghindari kewajiban mereka, semisal melalui transfer pricing atau praktik-praktik penghindaran pajak internasional lainnya.
Kedua, penerapan pajak progresif atas kekayaan atau aset besar. Pemerintah bisa memertimbangkan penerapan pajak kekayaan atau pajak aset bagi individu dengan kekayaan besar. Pajak ini dapat dikenakan pada akumulasi aset yang melebihi ambang tertentu, semisal properti mewah, investasi saham besar, atau aset finansial lainnya. Pajak kekayaan ini lebih adil karena lebih banyak dibebankan kepada mereka yang memiliki kemampuan finansial yang besar, daripada masyarakat umum yang bergantung pada pendapatan konsumsi.
Ketiga, kebijakan Anti-Penghindaran Pajak. Pemerintah juga bisa memerkuat aturan terkait anti-penghindaran pajak, terutama bagi perusahaan multinasional yang sering memanfaatkan celah-celah hukum untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Melalui kerja sama internasional dan pembenahan regulasi domestik, pemerintah dapat mengamankan penerimaan pajak yang seharusnya dibayarkan oleh entitas bisnis besar.
Keempat, diversifikasi sumber penerimaan negara selain pajak. Pemerintah harus mulai lebih serius mencari sumber pendapatan negara di luar sektor perpajakan. Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Banyak BUMN besar yang memiliki potensi untuk memberikan dividen lebih besar kepada negara jika dikelola dengan lebih efisien dan profesional. Pemerintah perlu memastikan bahwa BUMN mampu beroperasi dengan transparansi dan efisiensi, sehingga bisa menjadi sumber penerimaan negara yang lebih besar.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!