Berawal dari rasa cinta terhadap tanah air dan pemahaman agama yang mendalam, Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) tumbuh menjadi seorang intelektual yang produktif dan cendekiawan muslim yang sangat berpengaruh di Indonesia. Hamka juga menjadi aktor politik di Indonesia yang menolak sekularisme dan komunisme, serta menawarkan konsep “Demokrasi Takwa” sebagai solusi untuk bangsa Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Demokrasi takwa dalam konsep dan pemikiran Hamka adalah demokrasi yang berlandaskan tauhid, musyawarah, dan ketaatan masyarakat.
Islam sebagai Fondasi Nasionalisme
Hamka lahir pada 17 Februari 1908. Semasa kecil, Hamka belajar membaca dan menghafalkan Al Qur’an dari ayahnya sendiri, Haji Ahmad Karim Amrullah. Ayahnya adalah seorang ulama terkenal di Minangkabau yang menyebarkan paham-paham pembaharuan Islam.
Ayahnya tidak hanya memberikan ilmu agama. Ia juga membina kerohanian dan menempa Hamka kecil agar menjadi pribadi yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Secara formal, Hamka belajar di “Diniyah School” tahun 1916-1923 dan juga di madrasah “Sumatera Thawalib” yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Di antara semua pelajaran yang ia terima, Hamka tertarik dengan syair Arab. Maka tak heran kalau jiwa sastranya sudah tumbuh sejak kecil.
Setelah belajar tentang Islam kepada ayahnya, Hamka merantau ke Jawa untuk mengambil pelajaran penting dan meneladani pemikiran para tokoh bangsa. Saat berada di Yogyakarta, ia bertemu dengan H.O.S Tjokroaminoto, H. Fakhrudin, dan Ki Bagus Hadikusumo. Di Pekalongan, Hamka bertemu dengan A.R. Sutan Mansur dan sejumlah tokoh lainnya. Pertemuan dengan para tokoh bangsa inilah yang membentuk sikap nasionalisme Hamka semakin kuat, sehingga mengantarkan Hamka untuk terjun ke dunia perpolitikan dan pergerakan Islam, dengan tujuan menata susunan masyarakat yang telah lapuk dan buruk akibat penjajahan.

Hamka selalu menyampaikan bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Sebuah tanggung jawab yang berbeda-beda dan disesuaikan dengan tugas masing-masing, di mana kepentingan individu terhenti jika bergabung dengan kepentingan bersama, itulah negara. Tokoh yang bergelar Datuak Indomo itu juga mengatakan, setelah kemerdekaan Indonesia, harus dimunculkan ahli agama besar, ahli filsafat besar, ahli sastra besar, serta ahli-ahli lainnya yang mampu mengorbankan hidupnya untuk memajukan masyarakatnya. Dan asas yang dibangun adalah falsafah gotong-royong yang telah menjadi ciri khas anak bangsa, sebuah nilai luhur yang telah diajarkan oleh para pahlawan pendahulu, untuk mewujudkan sikap dan jiwa nasionalisme di Indonesia.
Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman
Hamka mengungkapkan, nilai penting yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam konteks kebangsaan adalah rasa cinta yang mendalam terhadap tanah air. Sebab, Islam memiliki konsep cinta kepada tanah air sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Sebuah rasa cinta yang bersemayam dalam pribadi setiap manusia. Berlandaskan kecintaan yang ikhlas kepada tanah air dan bangsanya itulah, seseorang mau berkorban. Sebab, kecintaan, ruh, dan semangat kebangsaan, akan membawa seorang anak bangsa kepada sikap perlawanan terhadap berbagai penindasan yang telah dialami oleh bangsa dan negara. Akhirnya, muncullah perlawanan dari berbagai lini masyarakat untuk melepaskan negara dari belenggu kolonialisme dan mewujudkan Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.
Kecintaan yang mendalam terhadap tanah air dan dibalut dengan nilai keagamaan yang kuat adalah ciri khas dari seorang Hamka. Selain itu, Hamka juga dikenal sebagai figur yang bisa menyatukan berbagai kalangan. Atas dasar itulah Hamka dipilih oleh para ulama dan pejabat untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama, pada tahun 1975 hingga tahun 1981. Berkat perjuangan Hamka, MUI bisa menjadi lembaga yang independen dan berwibawa, serta sebagai wadah aspirasi umat muslim di Indonesia.
MUI pertama kali melaksanakan Munas pada tahun 1975, yang merupakan bagian sejarah yang tak terlupakan. Pada kesempatan itu, Hamka menyampaikan kutipan dari hadits masyhur “Hubbul wathan minal iman” yang berarti cinta negara adalah sebagian dari iman. Walau pun hadits tersebut dhaif, namun Hamka menerjemahkannya sebagai hadits yang kuat untuk memberi semangat dalam hal kecintaan terhadap bangsa dan negara.

Lebih dari itu, Hamka juga mengartikan bahwa sesama manusia harus memiliki toleransi yang tinggi walau pun berbeda agama, ras dan budaya. Hamka menjelaskan, rasa kemanusiaan akan membawa kepada sikap toleransi yang tinggi. Tanpa memandang warna kulit serta maju atau mundur daerahnya, karena semua manusia memiliki hati nurani dan kecerdasan yang sama, dan seharusnya manusia yang kuat melindungi yang lemah, bukan malah menekannya ke bawah. Manusia yang besar memberikan kesempatan kepada yang kecil agar menjadi besar juga, yang lebih pandai menuntun yang bodoh supaya lebih pandai, yang salah dibenarkan, yang celaka ditolong bersama, yang kecil pun tahu diri supaya tidak besar mulut. Ini semua adalah pelajaran berharga bagi semua elemen masyarakat, yang didasari dengan rasa cinta dan nasionalisme agar saling mengasihi, saling merangkul, dan tidak membenci kepada golongan lainnya, untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan di Indonesia.
Agama, Negara dan Demokrasi Takwa
Sejarah panjang dari peradaban Islam telah mengajarkan bahwa agama dan negara harus selalu berintegrasi. Islam tidak pernah memisahkan negara dari agama, ibarat sebuah tubuh dan nyawa yang tidak dapat dipisahkan, begitulah ungkap Hamka. Sebab, ajaran Islam tidak sekadar melaksanakan Rukun Islam saja. Lebih dari itu, Islam mencakup semua urusan dunia-akhirat. Oleh karenanya, tidak ada urusan-urusan dunia yang luput dari perhatian Agama Islam.
Sejalan dengan misi para nabi, Hamka mengatakan bahwa agama adalah fondasi utama bagi negara. Tanpa fondasi agama, negara akan rapuh dan runtuh. Sehingga, menegakkan dan memerjuangkan syariat Islam dalam konteks bernegara adalah sebuah kewajiban yang harus diemban oleh setiap lapisan masyarakat. Menurut Hamka, dalam perspektif Islam, negara adalah pelayan bagi manusia. Maka, memerjuangkan kemaslahatan untuk semua masyarakat adalah tujuan yang utama bagi perpolitikan di Indonesia.
Selain ulama terkemuka, Hamka merupakan seorang pemikir dan aktor politik yang selalu memerjuangkan nilai-nilai Islam. Ia telah mengungkap pandangan Islam yang komprehensif tentang hubungan agama dengan politik di Indonesia. Hamka mengatakan, Al Qur’an tidak hanya membahas tentang urusan spiritual saja, tetapi Al Qur’an memberikan panduan hidup yang menyeluruh bagi semua manusia, termasuk dalam hal perpolitikan. Sebagai bentuknya, Hamka telah menulis tafsir yang fenomenal dan diberi judul “Tafsir Al-Azhar”.

Di dalam tafsir Tafsir Al-Azhar, Hamka menggali dan menyajikan pandangannya tentang kekuasaan politik yang harus memiliki landasan kuat dari Al Qur’an dan Hadits. Ia menyoroti berbagai aspek tentang kepemimpinan yang adil, memiliki etika politik yang baik, serta membahas hubungan penguasa dengan rakyatnya, serta konsep-konsep lain dalam politik Islam.
Hamka juga memiliki pandangan positif terhadap sistem demokratis, serta menolak berbagai paham sekularisme dan komunisme untuk berkembang di Indonesia. Sebab, paham-paham tersebut bertentangan dengan Pancasila.
Melalui pandangannya tentang demokrasi, Hamka menyuarakan gagasan demokrasi yang harus berasaskan Islam, yang implementasinya harus merujuk pada prinsip-prinsip ketakwaan, untuk mengembangkan bangsa dan negara berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Konsep inilah yang disebut sebagai “Demokrasi Takwa”. Sebuah demokrasi yang memiliki tiga asas penting: manusia sebagai khalifah Allah, musyawarah, dan masyarakat yang bertakwa.
Hamka mengusulkan agar demokrasi takwa ini bisa direalisasikan di Indonesia, sebagai pengganti dasar-dasar demokrasi yang sekuler dengan nilai-nilai tauhid yang mengedepankan pentingnya menjaga agama, menerapkan syariat Islam, serta memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di Indonesia.
Kesimpulan
Pemikiran Hamka tentang nasionalisme sangatlah erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Sebab, Agama Islam adalah fondasi utama untuk membangun bangsa dan negara.
Bagi Hamka, rasa cinta terhadap tanah air adalah bagian dari iman, yang bisa mendorong seseorang untuk berkorban dan berjuang untuk melawan setiap penjajahan. Kendati demikian, sikap nasionalisme harus dibangun di atas landasan gotong royong, toleransi yang tinggi, serta tanpa membeda-bedakan agama, ras, dan budaya.
Ia menolak setiap pemahaman sekularisme dan komunisme atau pemahaman lain yang bertentangan dengan Pancasila. Hamka juga menawarkan konsep demokrasi takwa yang berlandaskan ajaran Islam dan tauhid, sebagai solusi terhadap kemaslahatan bangsa Indonesia, untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.
Daftar Pustaka
- A’yun, Putri Qurrata, Islam dan Multikulturalisme Perspektif Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, UII Yogyakarta, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 3, 2022.
- Ahsan, Ahmad Aviecena, Pendidikan Islam Modern dalam Perspektif Buya Hamka, UIN Syarif Hidayatullah, 2021.
- Fata, Ahmad Khoirul, Pemikiran dan Peran Politik Hamka, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Disertasi, 2020.
- Hamka, Islam Revolusi dan ideologi, Jakarta, Gema Insani, 2018.
- Hamka, Pandangan Hidup Muslim, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
- Hamka, Pribadi Hebat, Jakarta, Gema Insani, 2020.
- Herdiwanto, Heri, dkk, Hamka’s Thouhts on Taqwa Democraty, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 20, No. 2, 2023.
- Saputra, Andi, Muslim Negarawan: Telaah atas Pemikiran dan Keteladanan Buya Hamka, Jurnal Waskita, Vol.1, No. 1, 2017.
- Zona, Ikram Ari, Kekuasaan Politik Menurut Pemikiran Buya Hamka, Jurnal Islamic Social Sciences, Vol. 5, 2024.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!