Mang Jaja begitu ia biasa dipanggil, bukan siapa-siapa. Ia hanya penjual burung belibis atau burung ayam ayaman di pinggir jalan di Timur Jakarta. Setiap sore usai sholat ashar, ia mulai menata dagangan di atas gerobak tuanya.
Terkadang dagangannya laris manis, hingga jelang maghrib sudah habis. Tapi tak jarang pria asli Tasik itu, harus berjaga hingga jam sepuluh malam lantaran sepi pembeli.
Meski labanya tak seberapa, Mang Jaja selalu bersyukur kepada Allah bisa menafkahi keluarganya serta membiayai sekolah empat anaknya. Bahkan Mang Jaja mampu menyisihkan pendapatan hariannya untuk biaya pergi haji. Setiap hari ia sisihkan 15 ribu rupiah, demi mewujudkan cita-citanya itu.
Setelah lima tahun menabung niatnya kesampaian juga. Mang Jaja beruntung karena melakukan pembayaran ongkos naik haji (ONH) dua puluh tahun lalu, relatif mudah dan biaya tidak terlalu mahal. Tahun 2003 ONH sekitar 23,6 juta rupiah, sementara tabungannya ada 25 juta rupiah lebih. Mang Jaja langsung daftar dan tahun itu juga berangkat.
Berbeda jauh dengan nasib calon jamaah haji saat ini. Mereka yang sudah menabung di Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) sebesar 25 juta rupiah 12 tahun lalu, terancam gagal menunaikan ibadah Haji.
Pasalnya, pemerintah bersama Komisi VIII DPR menyepakati BPIH tahun 2023 sebesar 49,8 juta rupiah, naik 10 juta rupiah ketimbang BPIH tahun 2022. Sebelumnya Kemenag bahkan mengusulkan BPIH tahun 2023 sebesar 69 juta rupiah, dengan berbagai dalih.
Maka, dapat diduga akan ada ribuan, atau bahkan puluhan ribu calon jamaah yang batal berangkat lantaran tak sanggup melunasi BPIH tersebut. Mengadakan uang tambahan 25 juta rupiah untuk melunasi BPIH dalam waktu hanya satu bulan lebih sedikit, teramat berat bagi banyak calon jamaah haji (calhaj) kita.
Banyak para calhaj ini adalah orang biasa, penghasilannya hanya lebih sedikit dari kebutuhan atau bahkan pas-pasan seperti Mang Jaja. Menabung lama atau menjual aset seperti tanah, kebun atau sapi untuk bisa naik haji rela dilakukan karena beribadah haji adalah obsesi setiap muslim.
Ditengah nestapa itu muncul pula suara minor "Haji itu wajib bagi yang mampu. Jadi gak usah maksain diri". Ungkapan yang seolah benar tapi sarat pemalsuan. Istitho’ah (mampu) memang syarat utama bagi setiap muslim yang ingin berhaji.
Maka jika ada calhaj sehat jasmani dan rohani, faham manasik haji dan sudah setor BPIH 12 tahun lalu untuk dapat porsi haji, tapi tidak sanggup membayar pelunasan BPIH 25 juta rupiah lagi, Apakah termasuk kategori tidak mampu sehingga tidak wajib haji?
Mari kita telaah lebih jernih. Mas Cipto berdagang Serabi Solo di pinggir jalan kota Jakarta. Harga serabi jualannya berkisar Rp 2000-Rp 3000 dengan toping dobel, bermodalkan uang 7 juta rupiah ia menggelar dagangannya dari jam 17.00 hingga jam 21.00, dalam satu hari rata-rata 250-300 serabi habis terjual. Keuntungan bersih yang diperoleh Rp 200.000 per hari.
Jika uang 25 juta rupiah diinvestasikan untuk usaha seperti Mas Cipto, maka calhaj bisa memiliki 3 gerobak. Dengan sistim bagi hasil, investor (Sohibul Maal) dapat ¼ bagian dan pedagang (mudharib) ¾ bagian, maka calhaj akan dapat keuntungan 50 ribu rupiah/hari/gerobak. Atau 150 ribu rupiah per hari.
Jika diasumsikan dalam seminggu hanya 6 hari usaha, satu hari libur istirahat, maka akan didapat penghasilan 900 ribu rupiah per pekan. Jika dalam setahun hanya efektif berdagang 45 pekan, libur selama bulan puasa dan 2 minggu paska lebaran, akan diperoleh hasil 40,5 juta. Dalam dua tahun akan didapat penghasilan 81 juta rupiah. Itupun dengan asumsi keuntungan itu mandek ditabung di bank. Jika hasil keuntungan calhaj itu diinvestasikan lagi, setidaknya ia bisa memodali 4-5 gerobak lagi setiap tahun.
Hitung sendiri, berapa keuntungan yang akan didapat. Andaipun BPIH itu 90 juta rupiah, tidak ada masalah. Mereka pasti mampu. Belum lagi manfaat sosial ekonomi umat yang dahsyat. Jika setoran BPIH seorang Calhaj dipakai memodali 2 orang pengusaha kecil seperti Mas Cipto, betapa banyaknya lapangan kerja terbuka dari jutaan calhaj? Ini sekaligus juga mengurangi secara signifikan pengangguran.
Tapi dengan mandeg di BPKH, setoran awal calhaj itu tidak berguna apa-apa. Bahkan nilainya semakin berkurang, seiring anjloknya nilai rupiah setiap tahun. Celakanya, ada narasi yang mengatakan, dengan membayar 49,8 juta rupiah itu, melalui nilai manfaat pemerintah “mensubsidi” setiap calhaj 40 juta rupiah dari BPIH asli yang besarnya 90 juta rupiah. Sungguh logika yang kacau.
Itu baru satu aspek. Masih banyak aspek lain yang membuat penyelenggaraan haji pabeliyeut alias ribet. Ongkos pesawat misalnya, jamaah haji hanya menggunakan pesawat dua kali, yaitu pulang pergi (PP), tapi bayarnya 4 kali penerbagan atau 2 kali PP.
Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Ismed Hasan Putro, meminta maskapai Garuda Indonesia menghitung ulang biaya penerbangan yang mencapai Rp 33 juta per jamaah. Angka ini dinilai cukup mahal dan memberatkan jamaah. Sebab setiap jamaah dihitung melakukan empat kali perjalanan pulang (PP). Biaya penerbangan dalam keadaan kosong saat balik, setelah mengantar dan menjemput dari Indonesia-Saudi dan sebaliknya ini, ditanggung jamaah.
Lucu bukan? Belum lagi rekomendasi KPK yang menilai ada kemahalan biaya transportasi dan akomodasi di Tanah Suci, petugas haji dan sebagainya. Juga soal gelang jamaah haji.
Akar persoalan adalah rancunya cara kerja penyelenggaraan haji. Kemenag sebagai penyelenggara haji, sekaligus menjadi pengawas. Ini tentu menyalahi tata kelola yang baik. Apalagi Lembaga superbody dalam urusan haji ini, patut dipertanyakan profesionalitasnya.
Tentu publik masih ingat keluhan Dr. Anggito Abimanyu saat menjabat Dirjen PHU (Penyelenggaraan Haji dan Umrah) beberapa tahun lalu. Pakar Eknomi UGM itu mengeluhkan amat minimnya Sarjana Ekonomi dan Akuntansi pada Lembaga yang dipimpinnya itu. Padahal dana yang dikelola sangat besar.
Ini baru mengkritisi soal mahalnya BPIH dari aspek yang kasat mata, sehingga banyak calhaj kita bernasib malang. Berpayah-payah mengumpulkan uang untuk membayar setoran awal BPIH disertai menunggu belasan tahun, ujung-ujungnya gagal berangkat.
Masih banyak persoalan di sekitar penggunaan dana simpanan haji dan penyelenggaraan haji yang remang-remang dan mencuatkan banyak pertanyaan. Apalagi di tengah tahun politik yang sarat dengan berbagai isu.
Ada catatan menarik seputar pilpres. Jelang pilpres 2019 lalu, publik menyaksikan kejutan luar biasa. Tanpa diduga, tiba-tiba muncul nama Ketua Umum MUI K.H. Ma’ruf Amin tampil sebagai Cawapres Jokowi. Padahal nama yang santer disebut-sebut, bahkan sang calon sudah menyiapkan jas dan menunggu diumumkan di tempat khusus adalah Mahfud MD. Entah apa yang terjadi sesungguhnya, sehingga skenario berubah saat injury time.
Adakah kaitannya kejutan politik tersebut dengan penggunaan dana simpanan haji? Entahlah. Wallahu a’lam bishawab. Hanya Allah yang tahu apapun yang disembunyikan manusia.
Satu hal yang pasti, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Serapat apapun rahasia ditutupi, suatu saat akan terbongkar juga. Akhirnya penulis ingin mengingatkan, bahwa menghalangi atau mempersulit orang beribadah haji dengan berbagai dalih dan alasan, sejatinya menghambat orang dari jalan Allah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!