Pria yang nampak sangat letih dari perjalanan jauh itu datang menghampiri Rasulullah ﷺ. Satu penggal kata yang sangat sederhana ia sampaikan kepada Rasulullah dalam perjumpaan tersebut: “Aku sangat menderita”
Rasulullah ﷺ yang arif bijaksana memahami apa yang tengah dialami pria itu. Maka Rasulullah bertanya kepada Istrinya tentang kesiapan dapur mereka untuk menjamu tamu. Lalu Istri Rasulullah ﷺ menjawab singkat:
“Demi Zat yang mengutusmu membawa kebenaran, aku hanya mempunyai air”
Rasulullah ﷺ pun bertanya kepada istri beliau yang lain. Namun jawabannya sama. Hingga kepada istri yang terkahir beliau tanyai, beliau memperoleh jawaban:
“Tidak, demi Zat yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku tidak mempunyai apapun selain air.”
Rasulullah ﷺ pun bergegas pergi ke masjid dan menemui para sahabatnya. Di tengah para sahabat yang tengah berkumpul itu Rasulullah ﷺ menyampaikan urusan ini, seraya berkata:
“Siapakah yang mau menjamu orang ini, semoga Allah merahmatinya.”
Maka berdirilah seorang sahabat dari kalangan kaum Anshar, sembari berkata: “Aku wahai Rasulullah.” Selanjutnya pria Anshar tersebut membawa musafir yang sedang dalam kepayahan itu kepada keluarganya.
Begitu tiba di rumah, maka yang pertama-tama dilakukan oleh pria Anshar ini adalah bertanya kepada istrinya. “Apakah kamu memiliki sesuatu (maksudnya untuk memberikan jamuan kepada tamu)” Maka istri pria Anshar itu menyatakan: “Tidak, kecuali makanan untuk anak-anakku”
Sahabat Anshar itupun memberi arahan kepada istrinya agar pertama-tama, mengalihkan perhatian anak-anaknya (dalam riwayat lain disebutkan menidurkan anak-anak mereka lebih awal agar tidak terusik rasa lapar). Selanjutnya, suami tersebut memerintahkan istrinya untuk memadamkan lampu saat jamuan makan berlangsung. Mereka berdua hanya memegang piring kosong dan makanan untuk anak-anak dihidangkan sepenuhnya kepada tamu mereka.
Jamuan dalam gelap itu pun sukses. Sang tamu berhasil mengatasi derita lapar dan letihnya. Tuan rumah merasa berhasil tidak membuat sang tamu menjadi ewuh-pekewuh karena sesungguhnya mereka tidak makan sebutir makanan pun dalam perjamuan tersebut.
Esok harinya sahabat Anshar ini berjumpa dengan Rasulullah ﷺ. Dengan wajah berseri Rasulullah ﷺ menyampaikan kabar gembira kepada pasangan Anshar itu dengan sabdanya:
"Allah benar-benar kagum terhadap perbuatan kalian berdua kepada tamu kalian tadi malam"
Masya Allah… adakah yang lebih indah bagi orang yang beriman selain ungkapan bahwa Allah ﷻ mengagumi amal ibadah atau perbuatan mereka? Sungguh beruntung sahabat Anshar dan istrinya. Perbuatan mereka ini menepati firman Allah ﷻ dalam surat A.S. Al Hasyr ayat 9.
“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” – QS. Al Hasyr:9
Kisah tersebut bukanlah sinetron kaleng-kaleng yang di dramatisir meski penuh kedangkalan. Kisah ini terekam dalam Hadist sahih yang antara lain di riwayatkan oleh Imam Muslim dengan berbagai redaksi. Di beberapa hadist yang meriwayatkannya, tidak disebut nama pria sahabat Anshar itu, tapi beberapa ahli tarikh banyak menyimpulkan bahwa pria berbudi mulia itu adalah Abu Thalhah.
Jika diukur jumlah kwantitatifnya, mungkin sedekah makanan kita lebih banyak dari pada yang diberikan oleh Abu Thalhah Al Anshari kepada tamunya. Namun secara kualitatif, sedekah kita tidak akan mampu menandingi makna sedekah Abu Thalhah di sisi Allah ﷻ , mengapa?
Dalam kasus Abu Thalhah, makanan yang ia berikan kepada tamu adalah makanan terakhir yang ia miliki. Itupun hanya untuk jatah anak-anak. Abu Talhah dan istrinya telah siap untuk tidak makan malam itu. Artinya, Abu Talhah dan keluarganya sesungguhnya amat butuh makanan tersebut. Tapi kemudian ia lebih mendahulukan kepentingan orang lain, bahkan mengorbankan kebutuhan anak-anaknya sendiri.
Abu Talhah menutupi apa yang ia sedekahkan. Bahkan tamunya pun tak tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi dibalik jamuan makan gelap itu.
Tentu ini berbeda dengan sedekah kita, yang jumlahnya selalu lebih sedikit dari yang kita miliki atau makan. Kadang ada pamrih pula, riya dan halangan-halangan lain yang membuat sedekah kita tak akan pernah menyamai kualitas sedekah Abu Talhah.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!