Jangan Hakimi Pondok Pesantren!

Jangan Hakimi Pondok Pesantren!
Jangan Hakimi Pondok Pesantren! / Foto Istimewa

Beberapa hari terakhir, jagat maya dan media pemberitaan dihebohkan oleh berita seputar dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh AF, ketua yayasan salah satu pondok pesantren (ponpes) di Desa Kekait, Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut data Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) Provinsi NTB, sedikitnya ada 22 orang perempuan (santriwati) yang menjadi korban dalam kasus yang menjadi berita media lokal hingga nasional ini. Angka itu bisa saja berubah seiring perkembangan penyidikan dan penuntasan kasus ini.

Dari 22 orang korban pelecehan seksual itu, baru sebagian orang saja yang berkenan memberikan keterangan dalam lima laporan yang masuk ke Polresta Mataram. Sebagian besar dari 22 orang korban dalam kasus pelecehan seksual itu sudah berstatus alumni dari pondok pesantren yang dipimpin AF tersebut. Mereka berani bersuara setelah menonton dan terinspirasi dari film Bidaah (Film Walid) karya sineas Malaysia yang saat ini sedang viral. Sebuah kondisi yang bukan saja membuat kita gelisah dan resah tetapi juga membuat kita bertanya, "Mengapa kasus serupa masih terus terjadi?"

Rentang waktu dugaan pelecehan seksual yang dilakukan AF terjadi beberapa tahun, sejak tahun 2016 hingga 2023. Ini waktu yang cukup lama. Kejadian pelecehan seksual dilakukan terduga pelaku di kamar asrama santriwati pada waktu dini hari. Hal seperti ini pernah terjadi juga di sebuah pondok pesantren di Sumbawa. Modus kekerasan seksual semacam ini tergolong sangat tragis dan manipulatif. Terduga AF menjanjikan "keberkatan" pada rahim para korban, yang notabene santriwatinya sendiri, agar dapat melahirkan anak-anak yang akan menjadi wali.

Orang Kaya Indonesia dan Pelarian Modal: Kepanikan Ekonomi?
Fenomena pelarian modal adalah alarm darurat. Pemerintah harus bergerak cepat. Setiap detik penundaan berarti kerugian miliaran rupiah bagi perekonomian. Jika perlu, cabut izin usaha para pengkhianat ekonomi, bekukan aset mereka, dan publikasikan nama-namanya.

Berbagai kejadian serupa beberapa kali terjadi. Bukan saja di Lombok, NTB, tetapi juga di Sumbawa, Jawa, dan beberapa tempat lainnya. Bukan saja pada lembaga pendidikan pesantren, tetapi juga lembaga pendidikan non pesantren. Namun, masyarakat selama ini menyayangkan hukuman bagi para pelaku yang tergolong sangat ringan dan tak sebanding dengan tindakan bejat yang mereka lakukan. Sedangkan para korban tidak saja menanggung malu dan kerap dicemooh masyarakat, bahkan martabat diri dan masa depan mereka direnggut begitu rupa.

Kita perlu menyampaikan beberapa hal agar semua elemen dapat lebih hati-hati dan adil, serta masalah semacam itu tak terulang lagi bahkan tidak terjadi lagi di lembaga pendidikan apa pun dan di mana pun. Pertama, penegak hukum mesti menuntaskan kasus ini hingga ke akarnya. Kasus semacam ini harus benar-benar diusut sampai tuntas dan pelaku mesti mendapatkan hukuman berat. Di dalam banyak kasus, ringannya hukuman kepada para pelaku justru menjadi "inspirasi" bagi para pelaku lainnya. Polisi, jaksa dan hakim perlu lebih adil sekaligus tegas dalam menegakkan hukum dan keadilan. Jangan sampai bersikap tegas hanya jika korbannya adalah anaknya sendiri!

Kedua, orangtua mesti teliti dan jeli dalam memilihkan pendidikan lanjutan untuk anaknya. Jika hendak melanjutkan pendidikan anak, maka orangtua harus memastikan lembaga pendidikannya benar-benar nyaman bagi anak dan jauh dari tindak-tanduk yang melecehkan anak-anak. Jika melanjutkan ke pondok pesantren, maka orangtua harus berkenalan dengan pemimpin atau pengasuh pondok pesantrennya. Sudah itu, orangtua harus paham kurikulum dan perkembangan pondok pesantrennya. Jika perlu, cek informasi dari A sampai Z terkait alumni dan perkembangannya. Jangan sampai pondok pesantrennya abal-abal!

Ketiga, orangtua mesti menyadari bahwa orangtua merupakan pendidik pertama dan utama anak. Kita harus akui bahwa selama ini kita salah kaprah dan keliru dalam memahami pendidikan anak-anak kita. Kita sering memahami bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab lembaga pendidikan. Umumnya, setelah anak-anak kita melanjutkan pendidikan ke lembaga pendidikan tertentu, kita merasa tanggung jawab kita selesai. Padahal, lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren hanyalah "membantu" dan "melengkapi" kewajiban kita sebagai orangtua.

Hiding The Truth: Persepsi Barat yang Keliru terhadap Islam Menghalangi Terwujudnya Perdamaian di Palestina
Perdamaian di Palestina tak bisa dicapai hanya dengan negosiasi politik, tetapi juga dengan menghancurkan konstruksi persepsi yang menghalangi pemahaman yang adil atas konflik itu. Tanpa upaya serius mereformasi cara dunia melihat Palestina, solusi adil akan tetap jadi utopia.

Keempat, masyarakat jangan menghukum semua pondok pesantren sebagai lembaga cabul. Kasus yang terjadi di Lombok Barat bukankah dalih bagi kita untuk menghukum lembaga pendidikan semisal pondok pesantren sebagai lembaga cabul. Ada ribuan pondok pesantren di Lombok Barat yang telah sukses mendidik ribuan bahkan belasan ribu santri. Alumninya menyebar ke berbagai instansi dan lembaga bahkan berkarir di berbagai kota dan negara. Mereka memiliki integritas dan menjadi teladan kebaikan di tengah masyarakat. Jadi, jangan hakimi pondok pesantren dan alumninya secara serampangan dan membabi buta! 

Bahkan secara nasional di Indonesia, jumlah pondok pesantren sangat banyak. Semuanya memiliki peran penting dan jasa besar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Bahkan kontribusi pondok pesantren dalam menjaga moral dan integritas bangsa ini tak bisa dianggap kecil dan disepelekan. Jadi, jangan karena kasus ini lalu kita dengan gegabah menuduh semua pondok pesantren sebagai tempat mesum. Sama seperti kasus korupsi yang menimpa politisi, polisi, dan dosen, bukan jadi alasan untuk menyatakan bahwa semua politisi, polisi, dan dosen itu bejat. Sebab banyak politisi, polisi, dan dosen yang baik dan berbuat baik kepada masyarakat.

Kelima, pondok pesantren mesti membuka diri dan siap menerima kritik. Kegelisahan dan kemarahan masyarakat kepada pelaku dan kejadian ini sangat wajar. Itu merupakan wujud kepedulian dan rasa cinta masyarakat kepada pondok pesantren. Dengan demikian, kalangan pondok pesantren di mana pun mesti semakin berbenah dan membuka diri. Pondok pesantren mesti siap sedia untuk menerima setiap masukan dan kritik dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan, jika memungkinkan, harus ada forum rutin yang mengharuskan pihak orangtua berdialog secara terbuka dengan pemimpin sekaligus para pengajar di pondok pesantren. 

Keenam, pondok pesantren harus memiliki aturan tertulis dan tegas yang memastikan interaksi antar para pengajar laki-laki dan santriwati benar-benar terbatas. Jika perlu, kurangi jumlah atau tiadakan tenaga pengajar laki-laki di satuan lembaga pendidikan santriwati. Hindari interaksi para pengajar laki-laki dengan para santriwati di luar jadwal proses kegiatan belajar-mengajar. Adanya interaksi berlebihan membuka peluang terjadinya tindakan tak pantas di lingkungan pondok pesantren. Atas alasan apa pun, tidak boleh pengajar laki-laki keluar-masuk dengan "seenak dengkulnya" di lingkungan atau asrama santriwati.

Kegagalan Negara Mengelola Trust Issue
Hari-hari belakangan ini, masyarakat menemukan banyak fakta di lapangan tentang pejabat pemerintah yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau memberikan respon dengan sesuatu yang terasa tidak peka sosial. Misalnya dalam kasus kelangkaan elpiji 3 kg.

Kejadian semacam ini menjadi alarm bagi kita semua bahwa kapan dan di mana pun kita tak boleh merasa nyaman dan berpangku tangan terhadap kondisi anak-anak kita. Apalagi anak-anak kita sudah mulai baligh, maka pengawasan dan perhatian kita kepada anak-anak kita pun mesti meningkat. Orangtua mesti lebih akrab dan komunikatif kepada anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak berjarak secara mental dan psikologis dengan orangtuanya. Sebab, jika orangtua berjarak secara mental dan psikologis dengan anak-anaknya, maka itu membuka peluang anak-anak lebih dekat dengan sosok lainnya.

Selebihnya, dengan adanya kejadian semacam ini kita semakin tersadarkan betapa besar pekerjaan dan tanggung jawab orangtua bagi anak-anaknya. Allah berfirman dalam surat at-Tahriim ayat 6, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..."

Maknanya, orangtua mesti lebih giat, telaten, dan hati-hati dalam hal pendidikan anak-anaknya. Orangtua harus terus melakukan pengawasan lebih ketat kepada anak-anaknya. Anak-anak harus sering diajak berkomunikasi tentang banyak hal, termasuk mengenai pengajaran, pembelajaran dan interaksi yang mereka peroleh di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren jika mereka nyantri.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.