“Wo, Oh, Kamu ketahuan pacaran lagi...”
Potongan lirik lagu Mata Band berjudul “Ketahuan” itu agaknya pas untuk menggambarkan situasi hubungan petinggi Partai Demokrat dengan Anies Baswedan dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, hari-hari ini. Mereka kaget setengah mati saat mengetahui Anies Baswedan diam-diam sudah disandingkan dengan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar, sebagai pasangan Capres-Cawapes. Padahal, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) berencana mendeklarasikan Pasangan Anies-AHY sebagai Capres-Cawapres pada awal September.
Rencana itu seolah pasti, mengingat pada Kamis-Sabtu, 24-26 Agustus, Anies telah bersafari menemui Ketum Nasdem Surya Paloh, Ketua Majelis Tinggi Demokrat SBY dan Salim Segaf selaku Ketua Majelis Syura PKS. Ketiga pimpinan tertinggi partai koalisi itu menyatakan setuju. Bahkan, tanggal 25 Agustus, dengan tulisan tangan, Anies resmi melamar AHY jadi Cawapres. Tentu saja pinangan itu diterima AHY dengan sumringah dan hati berbinar-binar.
Ibarat proses pernikahan, Anies dan AHY sudah melalui dua tahap awal, yakni ta'aruf dan khitbah (lamaran). Tinggal dua tahap lagi, yaitu akad nikah dan walimatul ursy. Namun, ketika publik –khususnya para pendukung – menunggu pengumuman khitbah itu, pada selasa tengah malam, 29 Agustus, menyeruak isu perselingkuhan Anies dengan Cak Imin. Bak disambar geledek, sontak petinggi dan kader Demokrat pun kaget luar biasa. Tak sekadar kaget, mereka juga marah, meradang, dan sakit hati, karena merasa dikhianati Anies dan Surya Paloh. Serta merta baliho, spanduk, banner, foto, dan apa saja yang ada gambar Anies, diturunkan dan dihapus. Seperti ratapan Cita Citata, “Sakitnya tuh di sini”, begitulah perasaan hati para petinggi dan kader Demokrat.
Namun, rasa sakit itu agaknya cuma perasaan kader Demokrat saja. Petinggi dan kader PKS sebagai rekan koalisi di KPP, menanggapinya biasa-biasa saja. Ketua DPP PKS, Almuzamil Yusuf, membagikan release resmi berisi 4 butir pernyataan. Intinya, selain menghormati sikap dan pilihan politik masing-masing parpol, PKS tetap mengusung Anies sebagai Capres dan mempersilakan dia memilih pasangan Cawapresnya.
Di sisi lain, Waketum Gerindra, Sufmi Dasco, menyampaikan pernyataan bahwa koalisi partai besutan Prabowo itu dengan PKB masih utuh. Ia seolah ingin menepis hengkangnya PKB dan Cak Imin dari Koalisi KIR yang kemudian secara mendadak diubah Prabowo jadi Koalisi Indonesia Maju(KIM). Padahal, rapat pleno PKB pada Jumat, 1 September, telah menerima dengan baik pinangan Nasdem untuk memasangkan Anies dengan Cak Imin. Menurut Waketum PKB, Jazilul Fawaid, keputusan itu telah disetujui para Kiai. Bahkan, saat Anda membaca tulisan ini, Sabtu, 2 September 2023, deklarasi pasangan Anies-Imin boleh jadi sedang berlangsung di Surabaya.
Gonjang ganjing politik pencapresan dalam tiga hari terakhir ini, sesungguhnya biasa-biasa saja. Meski kegaduhan itu mengubah peta koalisi parpol secara drastis, realitas itu menegaskan kebenaran adagium politik “Tidak ada teman sejati, tidak ada musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan”. Bahkan, khusus untuk Indonesia, ada tambahan “Politik Last Minute” seperti pernah ditulis sabili.id beberapa bulan lalu.
Baca Juga : Kontrak Politik Last Minute
Bisa dipahami jika petinggi dan kader Demokrat begitu marah dan kecewa kepada Surya dan Anies. Tetapi dengan memahami adagium politik di atas dan budaya politik Indonesia yang last minute, menggunakan istilah pengkhianat terasa agak berlebihan. Mungkin lebih pas jika diksinya adalah “batal berjodoh”. Di sisi lain, peristiwa ini menjadi pelajaran bagi Demokrat dan SBY agar lebih realistis dalam memposisikan AHY. AHY memang pensiunan tentara seperti SBY. Namun, sang ayah adalah perwira tinggi yang pernah menjadi Pangdam Sriwijaya dan Kassospol ABRI, pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Bahkan SBY disebut-sebut sebagai jenderal pemikir yang hebat. Artinya, karir, pengalaman, dan jabatan yang pernah diembannya memadai untuk menjadi pemimpin nasional.
Berbeda dengan AHY yang minta pensiun dini saat berpangkat Mayor, sehingga membuat posisinya sulit bersaing di level nasional. Bahkan saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, ia berada di posisi buncit dari tiga pasangan yang bertarung. Pengalaman dan jenjang karirnya di militer kurang mumpuni untuk menjadi pemimpin nasional. Di sisi lain, kedudukan dia sebagai Ketum Demokrat di mata publik lebih karena posisi dan kekuasaan mutlak SBY di partai itu, bukan oleh kapasitas pribadinya. Jadi, jika saat ini AHY gagal jadi cawapresnya Anies, tidak perlu bersedih. Seperti kata SBY, ini bukan kiamat, bukan akhir dari perjuangan. Anggap saja ini ujian dan latihan kepemimpinan.
Eksistensi parpol saat ini memang menjadi salah satu ironi perpolitikan nasional. Parpol yang semestinya menjadi wadah regenerasi kepemimpinan, tempat semua anak terbaik bangsa berkesempatan menjadi pemimpin nasional, telah dibajak menjadi milik pribadi. Ada partai yang Ketumnya berkuasa mutlak dan tak pernah berganti sejak zaman Orde baru. Ada yang jadi Ketum sejak partai berdiri hingga sekarang, meski sudah beberapa kali Munas. Ada juga yang terjadi pergantian tetapi berputar di sekitar keluarga dan kerabat dekat. Memang, ada juga partai yang regenerasinya berjalan baik secara periodik, tetapi sayang prosesnya tertutup dari perhatian publik.
Apa pun, dinamika politik akan terus berlangsung. Apakah duet Anies-Imin akan benar-benar terwujud? Waktu yang kelak akan menjawab. Seandainya pasangan Anies-Imin jadi dideklarasikan, itupun baru khitbah. Belum akad nikah. Masih menunggu penetapan resmi pasangan Capres-Cawapres oleh KPU Pusat November mendatang. Selama masa tenggang itu, segala kemungkinan bisa terjadi. Misalnya, jika Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga meminta Cak Imin jadi Cawapres Prabowo, mengingat keduanya sudah runtang-runtung lebih dari setahun. Tingginya suara Prabowo di Jawa Timur dalam beberapa survey boleh jadi lantaran faktor tersebut.
Bukan mustahil juga pinangan ke PKB dan Cak Imin datang dari PDIP. Bukankah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf saat ini adalah koalisi PDIP-PKB? Apalagi Ganjar dan Cak Imin pernah bertemu dan ngobrol gayeng berjam-jam, kemudian Ganjar memberi hadiah Cak Imin burung berbulu merah dan hijau. Peluang terjadinya koalisi PDIP-PKB terbuka lebar.
Semuanya dengan satu alasan: merebut sebanyak mungkin suara di Jawa Timur sebagai basis utama PKB. Di provinsi kedua terbanyak penduduknya di Indonesia itu, PKB adalah juaranya. Sedangkan di Jawa Tengah yang berpenduduk terbesar nomor tiga, PKB menjadi runner up. Baik Prabowo, Ganjar, maupun Anies, memang harus merebut suara sebesar-besarnya di Jawa Timur untuk memenangkan kontestasi pilpres 2024.
Baca Juga : Musim Politik Tak Seindah Musim Kopi
Jika satu dari kedua kemungkinan itu terjadi, dapat dipastikan Anies gagal manten jadi capres. Gabungan suara PKS dan Nasdem tidak memenuhi syarat pencalonan. Jika ini yang terjadi, apa yang ditengarai sebagai penjegalan Anies berjalan dengan mulus. Kecurigaan ini beralasan mengingat runtutan peristiwa jelang geger nongolnya pasangan Anies-Imin.
Dua minggu yang lalu, Surya Paloh bertemu Presiden Jokowi di Istana. Entah apa yang diobrolkan, publik tidak tahu. Namun karena Jokowi pernah terang terangan akan ikut cawe-cawe urusan pilpres, dapat diduga apa yang dibicarakan. Saat KPP tengah sibuk mempersiapkan pasangan Anies-AHY, ujug-ujug Prabowo mengubah nama koalisinya jadi KIM saat hadir di acara PAN, Selasa 29 Agustus. Cak Imin yang hadir agak telat di acara tersebut menyatakan kaget atas perubahan nama tersebut. Malamnya terjadi pertemuan Surya dengan Cak Imin yang kemudian memunculkan drama Demokrat.
Namun, tidak mustahil pula PKB dan Cak Imin gigit jari. Hal itu akan terwujud jika KIM menetapkan Prabowo bersanding dengan Ketum Golkar, Airlangga Hartarto, atau Erik Tohir yang disodorkan oleh PAN. Di sisi lain, Demokrat yang mangkel dan marah kepada Nasdem digandeng PDIP dengan memberi karpet merah kepada AHY sebagai pasangan Ganjar. Jika ini yang terjadi, bukan mustahil PBNU bermanuver menyodorkan kepada Nasdem dan PKS figur nahdhiyyin lain yang dianggap lebih berpotensi ketimbang Cak Imin untuk mendampingi Anies. Syaratnya, menendang PKB dan Cak Imin. Untuk memenuhi Presidential Tresshold 20 %, PPP yang basisnya juga kaum Nahdhiyyin dan tidak terlalu dianggap oleh PDIP pindah ke koalisi ini. Hal ini bukan mustahil mengingat hubungan kurang harmonis PBNU dengan PKB, sementara PPP berusaha merebut kembali posisi politiknya di kalangan Nahdhiyyin.
Skenario manakah yang kelak bakal terwujud? Kita tunggu saja tanggal mainnya. Satu hal yang pasti, tujuan akhir dari skenario besar ini adalah melanggengkan dominasi oligarkhi atas negara dan pemerintahan. Wallahu a'lam bishowab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!