Ahad, 29 Januari 1950, setelah melaksanakan shalat magrib, Siti Alfiah mendengar suara suaminya memanggil dia dari dalam kamar. Di dalam kamar, Letnan Jenderal Soedirman terkulai lemas. Sejak Oktober 1949 ia terbaring di rumah peristirahatan tentara di Magelang, Jawa Tengah, itu.
Alfiah mendekati suaminya. Kepada istrinya, Soedirman berkata, "Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.”
Ketabahan memenuhi jiwa Alfiah tatkala menuntun Soedirman mengucapkan kalimat “Laa Ilaha Illallah”. Usai mengucap tahlil, Soedirman mengembuskan nafas terakhir dalam dekapan istri tercinta. Ketika meninggal dunia, usia Soedirman masih muda, 34 tahun.
Wafatnya pria bernama lengkap Raden Soedirman itu di awal tahun 1950 menghadirkan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang pun dikibarkan. Ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan upacara pemakaman sang panglima besar. Salah satu kader terbaik Muhammadiyah itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal.
Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soekarno, melalui Surat Keputusan Nomor 314 Tahun 1964. Dan tahun 1997, Presiden Soeharto menganugerahi Soedirman pangkat Jenderal Besar TNI Anumerta. Jenderal Besar adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI Angkatan Darat. Tanda pangkatnya berupa lima buah bintang. Sedangkan Anumerta adalah istilah kenaikan pangkat untuk seseorang tentara yang telah meninggal dunia.
Padanan pangkat Jenderal Besar TNI di Amerika Serikat adalah General of the Army. Sedangkan di Inggris Raya, pangkat Jenderal Besar TNI sepadan dengan pangkat Field Marshal. Pemberian pangkat tersebut hanya untuk perwira-perwira yang dianggap sangat berjasa. Kini, pangkat Jenderal Besar di Indonesia telah dihapus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010.
Di dalam sejarah TNI Angkatan Darat, hanya ada 3 tokoh yang mendapat kehormatan mengemban pangkat Jenderal Besar. Mereka adalah Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar A.H. Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto. Mereka mendapatkan kehormatan pangkat Jenderal Besar tersebut dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun ke-52 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang Tentara Nasional Indonesia) pada 5 Oktober 1997, karena jasa-jasa mereka yang dinilai sangat besar.
Baca Juga : Mohammad Natsir Sang Pemersatu
Guru HIS
Jenderal Besar Soedirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916 dengan nama Raden Soedirman. Ketika ia masih kecil, keluarganya pindah ke Cilacap. Anak dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem itu lantas diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Ia pun disekolahkan di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Di masa Hindia Belanda, HIS adalah sekolah setingkat SD (Sekolah Dasar) sekarang.
Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa yang rajin. Lulus dari HIS, tahun 1934 Soedirman melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Parama Wiworotomo. MULO adalah sekolah setingkat SMP. Selain aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, ia juga sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti aktivitas organisasi Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Hizbul Wathan adalah program kepanduan yang dijalankan oleh Muhammadiyah.
Kepanduan Hizbul Wathan atau Padvinders Muhammadiyah didirikan tanggal 20 Desember 1918 oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Kiai Ahmad Dahlan waktu itu terinspirasi ketika melihat kepanduan Mangkunegaran di Solo. Sehingga, Kiai Dahlan lantas mendirikan Hizbul Wathan sebagai wadah untuk menggembleng akidah, budi pekerti, fisik, mental, dan rasa cinta tanah air di kalangan anak muda.
Di Indonesia, Pandu Nasional memang telah ada sejak lama. Pandu di Indonesia berawal dari berdirinya Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang dibentuk oleh S.P Mangkunegara VII di Solo tahun 1916. JPO lantas berubah menjadi Nederlands Indische Padvinders.
Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara
Saat menjalani pendidikan di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuan dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman pun sangat dihormati masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Lulus dari MULO, Soedirmankemudian melanjutkan pendidikan di Hollandsche Indische Kweekschool(HIK) di Surakarta, Jawa Tengah. Itu adalah sekolah guru yang dikelola oleh Muhammadiyah. Namun, sekolah Soedirman di HIK di Surakarta itu terhenti karena kekurangan biaya.
Setahun kemudian, 1936, Soedirman memutuskan kembali ke Cilacap. Di Kabupaten yang berbatasan dengan Brebes dan Banyumas itu, Soedirman bertemu tokoh Muhammadiyah di Cilacap, Mohammad Kholil. Lewat Mohammad Kholil, Soedirman dapat bekerja sebagai guru sekolah dasar dan diangkat menjadi guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Waktu itu, gaji bulanan Soedirman sebagai guru HIS adalah 3 Gulden.
Sebagai guru, Soedirman sangat giat mengajar. Ketika itu, murid-muridnya menilai cara mengajar Soedirman tidak monoton. Ia kadang membumbui aktivitas mengajarnya dengan canda. Kerap kali pelajaran yang ia sampaikan diselingi dengan pesan agama dan nasionalisme.
Kesungguhan dan dedikasi Soedirman yang tinggi dalam mengajar membuat karirnya cepat naik. Walau tidak memiliki ijazah guru, senyatanya dalam beberapa tahun kemudian, Soedirman dipercaya untuk menjadi kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap itu. Gaji bulanan yang didapat Soedirman pun melejit hingga empat kali lipat dari gaji sebelumnya yang 3 Gulden.
Ketika menjabat sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan banyak hal. Selain menuntaskan tugas-tugas administrasi sekolah, ia juga kerap menyelesaikan konflik yang terjadi di antara guru-guru di sekolah. Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah maupun untuk pembangunan lainnya. Di luar aktivitas di sekolah, ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan tahun 1937 menjadi pemimpin Pemuda Muhammadiyah.
Bergabung dengan PETA
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda tahun 1942, Soedirman masih tetap mendedikasikan diri untuk mengajar. Tetapi panggilan untuk membela tanah air tak dapat ia tampik. Ia pun tergerak untuk memenuhi panggilan itu.
Suatu hari di tahun 1944, Soedirman mendatangi seluruh kelas di HIS tempat dia menjabat sebagai Kepala Sekolah. Bukan hanya sekolah tempat ia mengajar, sejumlah sekolah di Cilacap pun ia datangi. Di depan semua murid yang ia jumpai, Soedirman pamit dan mengatakan akan berjuang bersama Dai Nippon denganbergabung bersama tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (PETA).
Ia meminta pangestu dan doa semoga berhasil. Ia juga berpesan, anak-anak jika sudah besar nanti juga harus berjuanguntuk membela negara. Ketika itu, para murid yang ia jumpai serentak dan serempak menjawab, "Inggih, Pak". Saat itu Soedirman mengakhiri kunjungan dengan menyalami semua murid.
Pengalaman Soedirman dalam beraktivitas di kepanduan sejak muda ternyata menjadi sarana penting yang mengantarkan dia untuk menjadi seorang prajurit. Sebab, selain meningkatkan pemahamandia tentang ajaran Islam, Hizbul Wathan juga mengajarkan Soedirman sejak awal tentang kepemimpinan, keterampilan, dan kekuatan fisik. Semua itu berperan besar membentuk pribadinya yang kokoh dan punya semangat juang berkobar-kobar.
Baca Juga : The Grand Old Man Haji Agus Salim
Maka demikianlah. Di tahun 1944 ia menjadi bagian dari organisasi militer bentukan Jepang, yaitu PETA (Pembela Tanah Air). Sebelumnya, sejak masa kependudukan Belanda, Soedirman juga pernah melatih tentara pribumi di daerah Banyumas atas permintaan pemerintah Belanda. Soedirman juga pernah melibatkan diri di dalam beberapa organisasi militer lainnya, semisal Syu Sangikai dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia sekarang.
Bersama PETA, Soedirman yang dikarunai tiga orang putra dan empat orang putri itu sempat menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Ketika menjabat komandan batalionitu, Soedirman bersama rekan-rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke Bogor.
Panglima Besar
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan di Bogor. Iapergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia diterima dengan baik dan lantas ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas. Soedirman melakukan itu setelah mendirikan divisi lokal BKR.
Oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, pasukan Soedirman itu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober 1945. Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pangkatnya di militer Indonesia pun terus naik. Puncaknya pada 12 November 1945, Soedirman dipilih menjadi panglima besar. Soedirman yang masih muda terpilih menjadi Panglima Besar yang pertama setelah melewati proses pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta. Sedangkan Oerip Soemohardjo, yang telah aktif menjadi tentara sebelum Soedirman lahir, dipilih menjadi kepala staff.
Namun, pelantikan panglima besar untuk Soedirman tersebut baru terlaksana pada 18 Desember 1945. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Hasilnya, tentara Inggris menarik diri. Pertempuran di Ambarawa dan penarikan diri tentara Inggris itu membuat dukungan rakyat terhadap Soedirman semakin kuat.
Pada akhir tahun 1945, pasukan sekutu menyerang Semarang, Magelang, dan Ambarawa. Menyikapi hal itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memimpin pasukan untuk menghadang pasukan sekutu dan mempertahankan kemerdekaan. Kemenangan di pihak Indonesia waktu itu tentu tidak lepas dari kepemimpinan Soedirman. Keberhasilan itu pun membuat sejumlah petinggi Indonesia menghormati dan tak lagi meremehkan sikap tegasPanglima Besar Jenderal Soedirman yang enggan menyerah.
Perjalanan sejarah kemudian menuliskan, Soedirman harus menepi sejenak karena pemimpin bangsa memutuskan untuk menempuh perjuangan selanjutnya lewat meja perundingan, untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Selama tiga tahun hingga 1948, Soedirman menjadi saksi kegagalan perundingan Indonesia dengan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dengan mengirimkan tentara kolonialnya. Yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati. Yang kedua adalah Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang telah berhasil diambil dalam Agresi Militer Belanda I kepada Belanda dan melakukan penarikan 35.000 tentara Indonesia.
Agresi Militer Belanda I adalah istilah di Indonesia untuk menyebut "Operatie Product" (Operasi Produk). Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan di Jawa dan Sumatera sejak 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Produk adalah istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook. Operasi militer tersebutmerupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati.
Pada 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Para pemimpin Republik Indonesia waktu itu menolak permintaan Belanda tersebut. Van Mook menegaskan, hasil Perundingan Linggarjati pada 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi. Tanggal 20 Juli 1947, melalui siaran radio, Van Mook menyatakan, Belanda tidak terikat lagi dengan hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi militer itumerupakan pelanggaran dari hasil perundingan.
Baca Juga : Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak
Memimpin Perang Gerilya
Jenderal Soedirman aktif memimpin pasukan menghadapi Agresi Militer Belanda. Tetapi, ternyata ia bukan hanya harus menghadapi musuh dari depan. Ia juga harus menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta oleh PKI terhadap pemerintah Republik Indonesia pada 1948. Peristiwa-peristiwa tersebut ditengarai sebagai penyebab ia terserang penyakit tuberkulosis. Bahkan karena infeksi paru tersebut, pada November 1948 paru-paru kananSoedirman dikempiskan.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Tujuannya untuk menduduki Yogyakarta. Agresi Militer Belanda II atau Operatie Kraai(Operasi Gagak) diawali dengan serangan terhadap ibu kota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Ketika Agresi Militer Belanda II terjadi pada 1948-1949 itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang sedang sakit tidak gentar dan terus memberikan perlawanan. Ia memilih keluar-masuk hutan, memimpin perang geriliya, ketimbang harus bertahan di ibu kota negara, Yogyakarta, seperti sejumlah tokoh politikketika itu.
Beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, Soedirman melakukan perjalanan ke selatan dan memulai perlawanan secara gerilya selama tujuh bulan. Awalnya pasukan Belanda mengikuti mereka, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur. Mereka mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Juli 1949, ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta. Presiden Soekarno melarang Soedirman terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda meski pun ia ingin. Api perjuangan di dadanya tak pernah padam. Namun, penyakit paru-paru yang ia idap kambuh. Ia pensiun dan pindah ke Magelang. Hingga akhirnya tubuh Soedirman tidak lagi kuat menahan sakit paru-paru. Jenderal Besar itu wafat pada 29 Januari 1950 di usia yang masih muda, 34 tahun.
Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Atas dedikasi dan perjuangannya melawan penjajah, nama Soedirman dikenang oleh bangsa Indonesia. Ia juga banyak menerima tanda kehormatan, antara lain Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Sakti, Bintang Republik Indonesia Adipradana, dan sebagainya. Tahun 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati. Perlawanan gerilya yang ia lancarkan ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi Tentara Nasional Indonesia. Rute gerilya sepanjang 100 kilometer yang ditempuh Soedirman harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Nama Soedirman pun banyak digunakan sebagai nama museum, jalan, universitas, hingga monumen.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!