Belakangan kata “hoax” menjadi populer. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoax diterjemahkan menjadi hoaks yang diartikan sebagai “berita bohong”. Di dalam Kamus Jurnalistik, saya mengartikan Berita Bohong (Libel) sebagai berita yang tidak benar, sehingga menjurus pada terjadinya kasus pencemaran nama baik.
Menurut KBBI, “hoaks” adalah “berita bohong”. Di dalam Oxford English dictionary, “hoax” didefinisikan sebagai “malicious deception” atau “kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat”. Sayang, banyak netizen yang sebenarnya mendefinisikan “hoax” sebagai “berita yang tidak saya sukai”.
“Fenomena hoaks sebenarnya sama tuanya dengan sejarah fasisme di bumi ini. Pada masa fasisme Hitler di Jerman, hoaks juga bermunculan sebagai bagian dari propaganda Partai Nazi untuk memenangkan simpati rakyat dan membangun kekuasaannya. Hoaks merupakan perangkat retorika yang digunakan dengan sengaja untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan si pembuat hoaks.” (Linda Walsh)
Memang, kehadiran alat komunikasi berbasis gawai digital, perangkat komunikasi elektronik yang untuk mengoperasionalkannya “hanya” butuh sentuhan jari, semisal telepon pintar, telah mengubah cara berkomunikasi masyarakat. Tetapi juga memunculkan kerentanan. Kerentanan jagat politik adalah munculnya berita bohong (hoaxes), berita palsu (fake news),dan ujaran kebencian (hate speechs) yang kini dengan mudah diproduksi melalui gawai digital (digital devices).
Berita bohong dan palsu itu kemudian diproduksi secara masif dan disebarluaskan di dunia maya atau ruangan siber, dan kemudian menjadi informasi publik yang dipertukarkan. Karena itu, mempelajari tentang apa dan bagaimana beroperasinya berita bohong, palsu, dan ujaran kebencian, serta motif-motif yang mendasari produksinya kini menjadi penting dan relevan.
Baca Juga : Artificial Intelligence (AI), Peradaban Baru dan Hikmah
Sistem politik di tanah air yang terus bergerak ke arah yang lebih demokratis mendorong tingginya partisipasi warga masyarakat untuk aktif menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan pemerintahan yang transparan. Bersama dengan itu, terjadi juga perubahan cara partisipasi warga masyarakat dalam menyampaikan pendapat, terutama dengan hadirnya media baru tersebut. Individu menjadi semakin aktif dan dapat dengan mudah mengakses ruang publik yang kian terbuka untuk menyampaikan kehendak politiknya.
Kehadiran media baru yang ditandai dengan interkoneksi, keterbukaan akses, interaktivitas, dan sifatnya yang ada di mana-mana, telah menjadi saluran populer bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam berbagai praktik politik. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa siapa pun yang memiliki gadget dapat dengan mudah berinteraksi, menuangkan gagasan, memproduksi gagasan, dan menyebarkannya di ruang publik dunia maya (ruang siber) hanya dengan sentuhan jari.
Demokrasi di tanah air yang terus berkembang, ditopang oleh corak komunikasi media baru yang semakin membuka akses dan memberi ruang gerak bagi semua pihak untuk memasuki ruang publik. Namun, media baru itu juga menjadi alat meraih kekuasaan di bawah politik dan ancaman hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, yang justru menimbulkan kerentanan politik. Tercatat sejumlah kasus ketegangan politik hingga konflik terbuka bermunculan akibat maraknya produksi hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian tersebut.
Misalnya, kasus tabloid Obor Rakyat, yang saat Pilpres 2014 melakukan praktik kampanye hitam dengan memuat berita-berita palsu bernada provokatif ditingkatkan dengan isu-isu sektarian sebagai strategi untuk menyerang lawan politik. Saling serang antar kubu dalam Pilpres 2014 menggunakan Hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian yang sangat masif, mengakibatkan tensi politik semakin tinggi meninggikan.
“Berita palsu (Fake News) adalah artikel berita yang bukan fakta namun ditampilkan layaknya faktual, disengaja, dan dapat menyesatkan pembaca.” (Allcot & Gentzkow)
Kepentingan ekonomi ikut mewarnai. Bahkan ada kecenderungan kepentingan politik dan ekonomi berjalin sehingga menghasilkan cara-cara yang tidak etis, semisal menyerang pihak lawan dengan memobilisasi kebohongan dan prasangka. Contohnya, ada satu produsen hoaks yang awalnya adalah pihak yang bersikap kritis terhadap pemerintah, namun karena ide-idenya tidak terakomodasi lantas merasa frustrasi dan kemudian memproduksi, memproliferasi, dan menviralisasi hoaks demi mendapatkan bayaran tinggi.
Baca Juga : Sisi Gelap Perkembangan Digital Artificial Intelligence (AI)
Tertangkapnya sindikat Saracen menjadi bukti bahwa motif untuk memproduksi hoaks bukan hanya politik semata, melainkan juga ekonomi. Apabila praktik bisnis itu dibiarkan, dapat memicu industrialisasi hoaks dan merangsang pihak-pihak lain untuk turut serta menjadi produsen baru. Hal ini tentu akan meningkatkan brutalitas di dunia maya, sehingga makin membuat rentan jagat politik.
Manifestasinya ditandai dengan ketegangan politik dan rasa saling curiga pihak-pihak yang berebut kekuasaan, baik yang langsung terlibat maupun yang tidak langsung, yaitu masyarakat awam. Membiarkan produksi, proliferasi, yang menghasilkan politik ancaman, dan ini bisa mengganggu proses demokrasi di dalam masyarakat. Hoaks sebagai politik ancaman merupakan musuh demokrasi. Maka, hoaks pada dasarnya adalah musuh bersama masyarakat Indonesia yang sedang berupaya menuju demokrasi subtansial. Jadi, karena hoaks merupakan musuh bersama, semua pihak perlu bertindak bersama dalam memeranginya.
Alternatif lain yang tidak kalah penting adalah memerangi hoaks dari sisi masyarakat. Individu-Individu pengguna gadget yang terhubung dalam media sosial seharusnya bukanlah pihak pasif yang begitu saja menerima hoaks. Mereka adalah agen aktif yang seharusnya mampu bersikap kritis terhadap lalu lintas hoaks dan sejenisnya.
Mereka bukanlah pihak yang serta-merta bisa menjadi pengembang biak dan rekonstruksi hoaks jika memiliki sikap kritis. Sikap kritis inilah yang seharusnya dikembang biakkan. Jika hal ini bisa dilaksanakan, maka rantai pergerakan hoaks dapat putus oleh individu yang kritis. Jika tindakan pemutusan ini dilakukan dan menjadi gerakan bersama, maka kondisi critical mass sebagai benteng pembanding hoaks dapat terwujud.
Terbentuknya massa yang kritis (critical mass) bisa menghadang sirkulasi hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian di dunia maya, dan demikian akan menguatkan proses demokrasi serta integrasi bangsa. Barangkali salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk mewujudkan massa yang kritis ini adalah dengan pengembangan literasi media, khususnya berkaitan dengan media baru, yang diinisiasi oleh kekuatan masyarakat sipil yang independen.
Baca Juga : Pinjaman Online: Hilangnya Kontrol Sosial dan Payung Hukum
Subtansi hoaks yang membawa isu SARA atau isu-isu lainnya seringkali tidak jelas lagi basis argumentasinya. Antara kritik dan kebencian menjadi sulit dibedakan. Begitu juga antara fakta dan fiksi. Selain memodifikasi berita dari media arus utama, situs-situs penyedia hoaks juga mengungkapkan opini-opini dari politisi atau pengamat yang sejalan dengan misi mereka.
“Orang-orang yang dengan sukarela terlibat dalam viralisasi hoaks melalui media sosial adalah para konsumen hoaks yang menduduki mereka sebagai co-conspiratior. Mereka inilah kunci keberhasilan dari penyebaran masif hoaks, berita palsu, atau ujaran kebencian.” (Sekor & Walsh)
“Sebagai sebuah bisnis, praktik hoaks di dunia maya memperjual belikan produk yang tangiible, yaitu berupa tanda-tanda kognitif seperti hasutan dan kebencian yang dibungkus dalam bentuk informasi, berita palsu, dan ujaran kebencian.”
Tidak sedikit warga negara yang cenderung tidak percaya lagi kepada komitmen partai politik (parpol) dan kinerja para politisinya. Hal ini didukung oleh berbagai kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan melibatkan para pejabat negara, politisi, serta petinggi partai. Kecenderungan ini memunculkan beragam registrasi sebagai buntut dari kekecewaan publik pada proses politik penyelenggaraan negara.
Dengan adanya ruang siber, individu merasa memiliki peluang untuk menyampaikan kritik maupun sikap resistennya kepada kebijakan penguasa, sesuatu yang hampir tidak dimungkinkan di bawah rezim otoriter. Hal ini pula yang memunculkan ekses negatif dan menjadi embrio bagi lahirnya situs-situs penyedia hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian di Indonesia.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!