Pasukan penjajah Israel setidaknya telah menahan 900 warga Palestina di Gaza utara. Itu menurut perkiraan Ramy Abdu, pendiri Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa. Ramy Abdu sebelumnya telah berupaya mendokumentasikan proses penangkapan tersebut. Pada 8 Desember ia ditahan dan dibebaskan beberapa jam kemudian ketika tentara melihat dia pingsan dan mual sebelum diinterogasi.
Penangkapan warga tersebut mengungkapkan taktik yang muncul dalam serangan darat Zionis Israel di Gaza. Ketika militer Zionis Israel berupaya memperkuat kendali ke daerah-daerah evakuasi di wilayah Gaza Utara dan mengumpulkan informasi intelijen tentang operasi Hamas hampir 10 minggu setelah serangan “Badai al-Aqsa” yang dilancarkan pada 7 Oktober di wilayah selatan Israel, kata para ahli.
Dilansir dari laman Arab News, “Kami bisa merasakan kebencian mereka. Kami diperlakukan seperti ternak. Mereka bahkan menulis angka di tangan kami,” kata Ibrahim Lubbad, seorang warga Palestina berusia 30 tahun yang ditangkap di Beit Lahiya pada 7 Desember 2023 bersama belasan anggota keluarga lainnya.
Beberapa orang mengatakan, mereka dibawa ke kamp yang dirahasiakan, hampir telanjang dan hanya diberi sedikit air.
“Ada banyak mayat di mana-mana. Ditinggalkan begitu saja selama tiga sampai empat minggu, karena tidak ada yang bisa mengurus mereka untuk menguburkannya,” kata Raji Sourani, pengacara dari Pusat Hak Asasi Manusia Palestina di Gaza.
Tahanan yang dibebaskan mengatakan bahwa mereka dihadapkan pada dinginnya malam, dan berulang kali ditanyai tentang kegiatan Hamas yang sebagian besar dari mereka tidak dapat menjawabnya. Ada yang menduga, mereka dibawa beberapa kilometer sebelum dibuang ke pasir dingin. Beberapa tahanan yang dibebaskan menceritakan pengalaman mereka, dalam keadaan hampir telanjang yang memalukan saat tentara Zionis Israel mengambil foto yang kemudian menjadi viral.
Baca Juga : Hamas Menangkan Pertempuran di Gaza dan Tegaskan Syarat Pembebasan Sandera
Warga Palestina pun menceritakan, tentara Zionis Israel pergi dari rumah ke rumah dengan membawa anjing, lalu menggunakan pengeras suara untuk meminta orang-orang yang ada di dalam rumah untuk keluar. Dia mengatakan, melihat puluhan mayat saat dalam perjalanan dari Kota Gaza ke perbatasan selatan dengan Mesir, minggu lalu.
Tanpa listrik, air mengalir, bahan bakar, komunikasi, dan layanan internet. Warga Palestina meringkuk bersama keluarga mereka selama berhari-hari ketika Zionis Israel melancarkan tembakan senapan mesin ke Beit Lahiya dan Jabaliya dan baku tembak dengan pejuang Hamas pun tak terelakkan. Hal itu membuat keluarga-keluarga di wilayah tersebut terlantar di rumah mereka.
“Satu-satunya kejahatan saya adalah tidak punya cukup uang untuk melarikan diri ke selatan,” kata Abu Adnan Al-Kahlout, seorang warga Palestina berusia 45 tahun yang berasal dari Beit Lahiya.
Bagi warga Palestina, ini merupakan penghinaan yang menyakitkan. Di antara mereka yang ditangkap itu adalah anak laki-laki berusia 12 tahun dan pria berusia 70 tahun. Dan sebelum perang, mereka termasuk warga sipil yang menjalani kehidupan biasa saja.
Beberapa foto dan video yang memperlihatkan pria Palestina berlutut di jalan dengan kepala tertunduk dan tangan terikat di belakang punggung, telah memicu kemarahan setelah menyebar di media sosial. Mereka yang diyakini memiliki hubungan dengan Hamas lalu dibawa untuk diinterogasi lebih lanjut.
“Warga sipil hanya boleh ditangkap karena alasan keamanan yang perlu dan mendesak. Ini adalah toleransi yang sangat tinggi,” kata direktur regional Human Rights Watch, Omar Shakir.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan, penangkapan massal harus diselidiki. Para pejabat Zionis Israel mengatakan, mereka punya alasan untuk curiga kepada setiap warga Palestina yang masih tinggal di Gaza Utara, mengingat tempat-tempat semisal Jabaliya dan Shijaiyah, di timur Kota Gaza, merupakan benteng pertahanan Hamas yang terkenal.
Tentara Zionis Israel menurunkan tahanan setelah tengah malam tanpa pakaian, ponsel, atau tanda pengenal, di dekat perbatasan utara Gaza dengan Israel, kata mereka yang dibebaskan, mereka diperintahkan untuk berjalan melewati bangunan-bangunan yang telah hancur, tank ditempatkan di sepanjang jalan, dan penembak jitu selalu siap bertengger di atap rumah.
Mahmoud Al-Madhoun, seorang penjaga toko berusia 33 tahun, mengatakan, satu-satunya momen yang memberinya harapan adalah ketika tentara melepaskan putranya yang berusia 12 tahun. Beberapa warga Palestina yang ditahan selama 24 jam lebih mengatakan, mereka tidak punya makanan dan dipaksa berbagi tiga botol berukuran 1,5 liter dengan sekitar 300 tahanan lainnya.
(Sumber: Arab News)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!