Sejatinya Ramadhan adalah upaya untuk melakukan (istilah gadget) reset atau factory reset. Proses menuju ke setelan awal, pengaturan bawaan pabrik. Karena kebutuhan penggunaan, aplikasi bawaan pabrik seringkali kita anggap tidak cukup memenuhi “kepentingan” kita.
Pabrik memang selalu bijak, ia tak sepenuhnya paham terkait apa yang menjadi kebutuhan pengguna gawai bikinannya. Karenanya, pabrik hanya menanamkan piranti tertentu dan space, agar gawai compatible, dengan aplikasi lain yang menjadi kebutuhan user.
Pabrik tentu saja mendidik para pelanggannya, agar menggunakan aplikasi yang bertanggung-jawab dan menggunakan gadget untuk mengakses berbagai informasi secara selektif. Di luar kendali pabrik jika diluar sana ada banyak aplikasi yang bisa membahayakan gadget namun diminati oleh pemilik gawai. Demikian pula, ada banyak situs informasi dan hiburan yang bebas dikunjungi oleh pemilik gawai, namun tidak semuanya aman. Ada sejumlah malware dan virus yang potensial mengotori cache dan membuat gawai kita lemot, tidak aman bahkan berpotensi rusak.
Di sanalah, kita butuh reset atau kembali ke setelan pabrik. Membuang semua aplikasi non bawaan, membersihkan cache, membuang virus dan lain-lain. Setelah reset, gawai menjadi lebih ringan, sehat dan berkinerja lebih baik.
Seperti Ramadhan, Allah bahkan mensyariatkannya agar kita bersih-bersih diri, utamanya membersihkan hati dan pikiran dari berbagai virus batin yang merusak mental dan mengakibatkan kelemotan luar biasa untuk beribadah. Ramadhan hadir untuk reset, membuang virus-virus, un-instal perilaku-perilaku munkar, manfaatkan secara maksimal aplikasi yang disarankan semacam sholat berjamaah, tadarus, zikir, tahajud, shodaqoh serta instal aplikasi pendukung semacam; jaga lisan, jaga hati, jaga mata.
Baca juga: Kebebasan Semu dan Urgensi Dakwah Bi al-Qalam
Reset ulang gadget hanya butuh beberapa detik. Wajar, mengingat gadget kita hanya merekam beberapa tahun penggunaan, tak akan melampaui ukuran giga byte. Reset jiwa dan pikiran kita melalui Ramadhan butuh waktu 1 bulan. Itu pun sesungguhnya tidak mencukupi, mengingat memori dan tindakan kita tak hanya bersifat maya, tapi nyata dalam bentangan ruang dan waktu di alam raya, bukan dalam sekotak hardisc. Maka Allah berikan fasilitas berupa lailatul qodar yang include dalam paket Ramadhan, agar reset satu bulan itu mencukupi guna mengembalikan jati diri kita dalam fitrah setelan pabrik Rabbaniyah.
Tak Semua Memerlukan Reset
Sama halnya dengan pemilik gawai. Para pemilik hati dan diri, ada juga yang tak mau menggunakan fasilitas reset. Tentu dengan berbagai alasan. Umumnya beberapa file, data, kenangan dan tentu saja kebiasaan, yang amat mereka cintai dikhawatirkan ikut hilang dalam proses reset. Ada juga yang tidak tahu fungsi reset, ada yang reset namun tidak sabar, belum selesai sudah di skip atau cancel.
Penganut agama di luar Islam, sangat mungkin tidak paham. Mengingat agama yang mereka anut bukanlah agama fitrah yang tidak memberikan manual kehidupan. Islam adalah agama yang sesuai fitrah, karenanya menyertakan manual kehidupan berupa Al-Quran dan Hadist Rasulullah. Di manual kehidupan kaum muslimin itulah ada perintah puasa Ramadhan yang menjadi knop reset ulang.
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” – Q.S. Arrum:30
Makanya semua muslim tahu tentang puasa Ramadhan. Tapi banyak yang tidak sabar dan tidak tuntas dalam menjalankannya. Masih kita jumpai banyak kalangan pemeluk Islam yang bahkan tanpa beban untuk tidak memanfaatkan Kasih dan Sayang Allah kepada mereka, padahal hidup mereka sungguh banyak beban dosa dan kebuntuan.
Baca juga: Debut Saudi di Ajang Miss Universe: Kaum Muslimin Harus Sedih ataukah Bahagia?
Hanya mereka yang beriman yang dipanggil dan diberi fasilitas oleh Allah untuk melakukan reset jiwa, pikiran, dan amaliah. Agar hidup mereka makin enteng, tidak sumpek oleh banyaknya virus dosa, tidak tercemari oleh malware cinta dunia yang melelahkan, agar aplikasi penunjuk arah kehidupan mereka tidak eror dan menjerumuskan sekeluarga dalam jurang kebinasaan.
Nah, yang telah terpanggil pun belum tentu lulus menyandang predikat takwa. Masih banyak yang disebut oleh Rasulullah sekedar memperoleh haus dan lapar.
Bisa kita lihat setelah satu Syawal ini. Apakah kita kembali pada kebiasaan lama setelah reset hati, pikiran dan amaliah selama Ramadhan?
Indikatornya mudah. Apakah setelah Ramadhan kita kembali pada kebiasaan-habit lama? Mengumbar nafsu, kontrol diri yang lemah. Memangsa semuanya dalam kerakusan dan ketamakan. Terjebak kembali dalam kemubaziran serta melakukan hobi dosa yang telah kita bendung selama Ramadhan, kini tengah menunggu ledakannya.
Kembali ke Fitrah atau Habit?
Mari kita muhasabah diri. Apakah kita kembali kepada fitrah atau kembali pada kebiasaan qobla Ramadhan.
Jangan sampai tarbiyah Ramadhan tak meninggalkan jejak sama sekali. Amal kebajikan yang telah kita pintal selama Ramadhan mungkin belum sepenuhnya menjadi lembaran jiwa yang baru, mestinya kita sambung di Syawal ini, agar benang-benang amaliah yang baik selama Ramadhan makin sempurna menjadi bentangan kain kebaikan yang bisa membungkus jati diri kita. Itulah pakaian takwa, pakaian bagi kepribadian muslim yang berhasil kita sandang!
Namun jika pilihan kita adalah kembali pada kebiasaan atau habit lama, otomatis kain takwa gagal kita pintal. Benang zikir, benang tadarus, benang tarawih, benang shodaqoh, serta benang pengendalian diri seperti putus di tengah jalan. Belum terbentuk lembaran kain yang utuh.
Baca juga: Bukit Uhud dan Benteng Puasa yang Ditinggalkan
Bahkan jika kita melakukan hal sebaliknya, sama halnya dengan mengurai kembali benang yang telah terpintal itu. Akhirnya benang-benang kebaikan itu tercerai berai, makin lemah dan mudah putus. Tidak bisa kita teruskan, tidak bisa kita jaga agar ia maujud menjadi kebiasaan baru bagi jasmani dan ruhani kita pasca Ramadhan.
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” – Q.S. An-Nahl:92
Jadi mau kembali ke fitrah atau kembali ke habit lama?
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!