Kementerian Keuangan tengah dilanda gonjang-ganjing. Hashtag #RIPKemenkeu bahkan sempat trending topik di twitter pada Sabtu, 11/3/2023. Kita semua sudah tahu, ada aroma tak sedap yang diam-diam mengepul dari kantor Sri Mulyani Indrawati.
Konon aroma ini sudah lama tercium, meski lamat-lamat. Mungkin terselamatkan karena semprotan minyak wangi di sekujur badan kementerian ini. Ingat, betapa wanginya parfum uang yang menjadi urusan utama Kemenkeu. Akibatnya, aroma tak sedap yang masih lamat-lamat itu rapi tertutupi.
Agak unik cara Allah mengabarkan kebusukan ini kepada publik. Diawali dari roman picisan yang dilakonkan oleh anak lanang salah satu ASN yang kebetulan menjabat Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan dengan inisial RAT. Roman yang dibumbui dengan tindak kekerasan itu, menimbulkan amarah publik dan menggelitik rasa ingin tahu banyak pihak tentang jati diri sang Rambo yang tengah mabuk asmara.
Dari sinilah, sosok anak lanang yang konon memiliki hak khusus saat menggunakan jalan tol ini terungkap. Tak hanya tentang siapa keluarganya, publik pun menguliti perilaku keluarga tersebut. Walhasil, masyarakat luas kemudian menemukan fakta, betapa tajirnya sang ayah.
Lalu publik mengaitkan kedudukan sang ayah dengan hartanya yang melimpah ruah. Tidak make sense! Pejabat eselon tiga kok memiliki harta benda seperti yang kerap digunakan sang anak, apalagi flexing sang istri di media sosial.
Seperti lubang kecil menyembul dari balik dinding kedap. Kasus keluarga RAT menjadi intaian penegak hukum dan wartawan untuk melongok lebih dalam ke gedung Kemenkeu. Rekening RAT dipelototi hingga tandas oleh PPATK.
Banyak temuan, sejumlah nama terseret, ada transaksi tidak jelas mencapai angka 300 triliun. Ada 40 rekening atas nama RAT, bahkan ada deposit box senilai 37 M. Semua telah kita baca.
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, dana tidak jelas senilai 300 triliun adalah akumulasi dari pergerakan uang yang telah berlangsung cukup lama. Bukan korupsi, namun terindikasi sebagai praktik pencucian uang. Celakanya, tindakan ilegal ini melibatkan ratusan ASN di lingkungan Kemenkeu.
Kasus telah menggelinding, para pihak terkait menanganinya lebih lanjut. Namun ada beberapa pertanyaan, tampaknya menggumpal di kepala masyarakat. Berapa banyak ASN yang memiliki naluri dan hobi yang sama dengan RAT?
Bagaimana mungkin kasus yang melibatkan dana begitu besar baru terendus kebusukannya sekarang? Bahkan terungkap by accident, bukan hasil kinerja sinergis para pihak terkait secara terencana dalam skenario pencegahan dan pemberantasan. Bukankah dalam internal Kemenkeu ada inspektorat jendral sebagai pengawas, apa mungkin ada masalah dengan penciuman inspektorat ini?
Adaptasi Olfaktori dan Anosmia
Dalam dunia kesehatan ada istilah olfactory fatigue atau dalam istilah kita, kerap disebut sebagai adaptasi olfaktori. Apa itu? Pertama kali masuk ke kandang sapi, hidung akan mencium aroma tak sedap. Beberapa lama kemudian kebal terhadap bau tersebut, dan tak terganggu lagi.
Sejatinya bukan kebal, namun ada mekanisme di otak yang melonggarkan kesadaran terhadap bau tersebut seiring perjalanan waktu. Sehingga mengakibatkan “ketidakmampuan sementara” untuk membedakan bau.
Mungkin ini yang terjadi pada mekanisme pengawasan internal Kemenkeu. Sri Mulyani sebagai pimpinan tertinggi di Kemenkeu mestinya juga memiliki tanggungjawab pengawasan. Mengapa beliau menjadi tak kritis?
Menggunakan analogi adaptasi olfaktori di atas, pertanyaan senada “Sudah seberapa lama Sri Mulyani berada di kandang uang?”
Mengapa hidung pejabat Kemenkeu pada mampet dan gagal mendeteksi aroma praktik kebusukan secara lebih dini? Bisa jadi sedang mengidap Anosmia. Istilah ini sangat populer di masa pandemi Covid-19. Hilangnya kemampuan hidung untuk mencium bau. Ada banyak sebab, salah satunya karena virus Covid-19,
Bukan tidak mungkinkah kelakuan jorok karyawan melakukan praktik pencucian uang dan mengemplang pajak, virusnya memercik ke dasi para pejabat berwenang di Kemenkeu. Secara sistemik laiknya virus, terjadilah anosmia kolektif di kalangan Kemenkeu, berakibat menurunnya daya endus atas perilaku busuk yang merugikan negara.
Wallahu'alam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!