Mengapa Umar Bin Khattab begitu dikenang? Mengapa Umar Bin Abdul Aziz begitu berpengaruh? Mengapa pula Al Fatih sang penakluk Konstantinopel begitu menginspirasi?
Jika Anda bertemu dengan tiga sosok itu, Anda akan mendapati mereka adalah manusia yang secara wadag tidak jauh berbeda dengan kita. Bahkan tampilan fisiknya mungkin kelewat sederhana, dibandingkan dengan penampilan kita yang selalu trendi.
Tetapi kesaksian sejarah tidak pernah berbohong. Di balik kesederhanaan jasadiah ketiga tokoh tersebut, rasanya semua manusia di jagad ini bersepakat, di dalam diri mereka bersemayam keagungan jiwa yang luar biasa. Sehingga, dunia mengenang mereka sebagai sosok-sosok mulia. Gerak perilaku mereka hingga hari ini masih saja mengalirkan inspirasi-inspirasi yang dahsyat dan berdaya ubah. Ketiganya masih dikagumi dan dihormati.
Jika kita bicara kualitas kepemimpinan dan merujuk kepada pribadi-pribadi yang mulia dari para nabi dan rasul, maka jiwa kerdil manusia akan berkata, “Mereka kan rasul yang dipilih Tuhan. Wajar dong jika mereka hebat...”. Maka, mari kita lihat tiga manusia biasa tersebut. Mereka bukan nabi, rasul, atau utusan Allah. Sosok-sosok yang sedang kita bicarakan ini adalah manusia biasa yang tidak menerima wahyu. Lalu mengapa mereka meraih posisi yang begitu agung di sisi manusia, dan abadi di dalam memori sejarah?
Para penggali kearifan umumnya melihat tiga hal sederhana yang menghiasi kehidupan tiga pemimpin besar tersebut. Pertama, mereka adalah pribadi-pribadi yang telah terbebas dari pesona dunia. Mereka punya visi bahwa dunia harus dibikin lebih baik, bukan untuk dituruti, apalagi sampai menghamba pada kesenangannya yang fana. Sikap inilah yang membuat mereka mampu bergerak secara total meluangkan semua potensi pemikiran dan energinya untuk membangun tatanan masyarakat yang lebih baik. Pamrih dunia telah mereka lipat jauh-jauh hari.
Kedua, dalam semua kondisi fisik dan jasmani mereka yang sederhana, ketiganya adalah pribadi yang sangat kaya. Memberi dan meringankan penderitaan orang lain adalah energi hidup. Mereka memiliki cara untuk selalu terlibat dalam pemecahan masalah, sehingga hidup mereka penuh manfaat bagi orang banyak.
Ketiga, mereka memimpin dan menggerakkan orang lain dengan keteladanan. Jika mereka ingin masyarakat melakukan sesuatu, mereka tidak sibuk membuat aturan atau konsep-konsep yang rumit. Mereka hanya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sehingga, kebaikan atau perbuatan baik itu ditiru oleh para pengikutnya. Tanpa orasi yang menggebu, tanpa peraturan yang njlimet, masyarakat tergerak oleh keteladan dan ketulusan yang mereka tunjukkan.
Siapa pun di dunia ini, kepemimpinannya akan efektif, jika mereka mampu menanamkan tiga hal di atas dalam kehidupan. Beberapa persyaratan kepemimpinan semisal keberanian, komunikatif, dan kecerdasan, memang telah dimiliki para pemimpin kita dewasa ini. Namun tiga hal yang bersemayam di hati Umar Bin Khatab, Umar Bin Abdul Aziz, dan Al-Fatih, belum secuil pun terpahami oleh para pemimpin tersebut. Sehingga kecerdasan, keberanian, dan kepintaran berkomunikasi yang mereka miliki seringkali tidak berujung pada kearifan dan kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya. Justru, masih kerap terperosok dalam tarikan pesona dunia.
Sehingga, kadar kepemimpinannya hanya efektif dengan dukungan aturan, paksaan, dan tentu saja legitimasi hukum berupa Surat Keputusan (SK). Ia bisa memerintah, tetapi tidak menggerakkan. Tanpa SK, atau jika masa berlakukanya habis, maka ia akan menjadi orang biasa kembali, yang mungkin diacuhkan oleh mantan anak buahnya sendiri.
Jika keberanian, kecerdasan, dan kepintaran itu didukung oleh tiga hal yang dimiliki para pemimpin yang kita sebut di atas, maka kepemimpinan yang muncul adalah kualitas kepemimpinan yang menggerakkan, menginspirasi, dan menebarkan rahmat.
Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
Di balik kemampuan tiga tokoh yang menginspirasi kaum muslimin sepanjang sejarah itu, sesungguhnya ada satu hal mendasar yang menjadi paradigma penting sehingga muncul kualitas pribadi yang tidak terjebak pesona dunia. Mereka bahkan selalu berkontribusi dalam pemecahan persoalan masyarakatnya, serta mampu menempa diri untuk menjadi figur teladan. Paradigma tersebut adalah paradigma tauhid. Yaitu meletakkan Allah sebagai tujuan sekaligus orientasi atas semua tindakan yang mereka lakukan.
Tidak ada pamrih lain selain dalam rangka menggapai mardhotillah. Inilah yang membuat para figur teladan tersebut mampu bebas dari jebakan pesona dunia. Tentu ada proses yang tidak mudah, agar seseorang mampu mengelola hati dan nafsunya untuk taat dan hanya berorientasi pada Allah.
Apa proses yang mereka lewati? Setidaknya ada empat proses penting yang dijalani ketiga tokoh tersebut, sehingga muncul kualitas diri yang mumpuni.
Pertama, selalu belajar, yang berujung pada kesadaran tentang hakekat kebenaran. Kita tahu, Umar Bin Khatab misalnya, adalah sosok yang haus akan pengetahuan dan kebenaran. Ia digembleng langsung oleh Rasulullah SAW. Umar kemudian berubah menjadi sosok yang taat pada kebenaran dan berjalan di atas kebenaran itu.
Jenis belajar yang berujung pada kesadaran tentang hakekat kebenaran bukanlah belajar untuk sekadar tahu belaka. Tetapi harus diikuti penerapan dan keberpihakan pada kebenaran tersebut dalam sikap hidup. Pemimpin hari ini cukup tahu tentang kebenaran, namun kedodoran dalam menjalankan kebenaran!
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah. Tiga sosok yang kita bahas ini adalah pribadi yang taat pada Allah dalam ibadah dan hukum. Mereka memiliki intensitas ibadah yang sangat tinggi. Taat pada aturan Allah dan menjauhi maksiat. Senantiasa bertaubat, rajin ibadah sunnah, senantiasa shalat tahajud dan puasa sunnah. Intensitas dalam mendekatkan diri ini pula yang membuat kepemimpinan mereka kian efektif karena pertolongan dan kemudahan yang Allah berikan.
Ketiga, bervisi dunia akhirat. Tak sekadar dalam rangka mencapai kesuksesan di dunia. Para pemimpin hebat ini memiliki keinginan yang kuat untuk sukses berdakwah, menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dalam rangka mencapai kualitas dan kesuksesan hidup di akhirat. Mereka mampu menempatkan dunia dan isinya sekadar sebagai media untuk berjihad dan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Tidak rakus pada pesona dunia, sehingga terjaga dari sikap memanfaatkan kedudukan untuk memperkaya diri dan yang sejenisnya.
Keempat, melayani manusia dalam rangka ibadah mereka kepada Allah azza wajalla. Memimpin dan melayani orang banyak dengan standar keikhlasan karena Allah ta’ala. Sehingga, bukan saja prosedurnya benar, tetapi juga memberikan layanan dengan kualitas yang tinggi. Kepemimpinan bagi mereka adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan bukan saja kepada manusia, tetapi juga kepada Allah di yaumil akhir nanti.
Inilah model kepemimpinan profetik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kepemimpinan berparadigma tauhid. Akankah muncul kembali kualitas kepemimpinan seperti itu? Wallahu a'lam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!