Ada kerancuan berpikir Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, tentang Pancasila religius-sekuler, musuh terbesar Pancasila adalah agama, dan hak wanita PASKIBRAKA berjilbab.
Pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, bahwa Pancasila itu religius sekaligus sekuler dan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, patut mendapat sorotan kritis. Pernyataan ini bukan hanya merancukan pemahaman dasar tentang Pancasila, tetapi juga berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat yang sejatinya berlandaskan persatuan.
Secara historis, Pancasila adalah hasil dari perdebatan panjang yang melibatkan berbagai kelompok dalam sidang BPUPKI, yang puncaknya tecermin dalam perdebatan tentang Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta secara jelas mengakui pentingnya nilai-nilai religius (Islam) dalam pembentukan dasar negara.
Soepomo, dalam pandangannya, menegaskan bahwa Pancasila merupakan “Grunnorm” yang digali dari nilai-nilai budaya dan agama yang hidup di masyarakat Indonesia. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan bagaimana landasan religius merupakan elemen fundamental dalam Pancasila.
Jadi, menegaskan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila merupakan kerancuan berpikir yang serius. Pernyataan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila ini tidak hanya bertentangan dengan sejarah pembentukan Pancasila, tetapi juga mengabaikan realitas sosial di Indonesia, di mana agama memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ahli hukum tata negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, dalam karya-karyanya, menekankan bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sekuler dalam arti memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Pancasila justru merupakan jalan tengah yang mengakomodasi berbagai pandangan, termasuk yang religius, untuk hidup berdampingan dalam kerangka negara kesatuan.
Dukungan terhadap pentingnya negara merawat dan memanfaatkan nilai-nilai universal seperti agama dapat ditemukan dalam pemikiran klasik. Filosof kenamaan Edmund Burke, misalnya. Di dalam karyanya, Reflections on the Revolution in France, ia menekankan pentingnya merawat nilai-nilai tradisional dan institusi yang telah terbukti menjadi pondasi bagi stabilitas dan harmoni dalam masyarakat.
Burke percaya bahwa agama merupakan salah satu pilar utama yang harus dipertahankan oleh negara. Sebab, agama tidak hanya memberikan makna spiritual bagi individu, tetapi juga menjaga keteraturan sosial yang berdampak langsung pada kestabilan negara.
Pandangan serupa juga ditemukan dalam pemikiran John Locke, yang dalam A Letter Concerning Toleration menekankan bahwa negara harus menghormati kebebasan beragama dan mengakui peran penting agama dalam membentuk moralitas publik. Locke melihat agama sebagai sumber nilai-nilai universal yang tidak hanya membantu mengatur perilaku individu tetapi juga memperkuat pondasi moral dan etika bangsa.
Mengaitkan agama sebagai musuh Pancasila juga berpotensi melanggar hak asasi warga negara untuk menjalankan keyakinan mereka. Ketika seorang warga negara memilih untuk menjalankan ajaran agamanya, semisal mengenakan jilbab, tindakan tersebut seharusnya dilindungi dan dihormati sesuai dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, serta sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini juga diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 29 ayat (2), yang menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Maka, sebagai contoh konkret, bagi anggota wanita Paskibraka yang ingin mengenakan jilbab dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia di Istana Negara, hak mereka seharusnya tidak dikekang. Penggunaan jilbab dalam konteks ini merupakan bagian dari ekspresi keagamaan yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara, mengingat hal ini tidak hanya selaras dengan prinsip-prinsip Pancasila, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap keberagaman dan inklusivitas yang menjadi landasan kebangsaan kita.
Kontroversi yang dipicu oleh pernyataan Yudian tidak hanya merusak esensi Pancasila sebagai pemersatu bangsa, tetapi juga mengancam Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Ketika pernyataan-pernyataan seperti ini muncul dari pejabat publik yang seharusnya menjaga nilai-nilai Pancasila, hal tersebut justru bisa memecah belah dan mengaburkan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila.
Kita harus waspada terhadap upaya-upaya yang secara tidak sadar berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan Yudian bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila adalah pandangan yang sangat berbahaya dan menyesatkan.
Kita perlu kembali pada pemahaman yang benar tentang Pancasila sebagai dasar negara yang mengakomodasi keberagaman, termasuk keberagaman keyakinan. Pancasila adalah jalan tengah yang harmonis, bukan alat untuk mengadu domba dan memisahkan rakyat dari akar religius dan kulturalnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!