Aku sering merasa, politik adalah pasar besar. Tak hanya barang dan jasa yang diperjual belikan di dalam pasar politik yang sangat besar itu. Nilai-nilai bahkan dikemas menjadi komoditas dan keyakinan-keyakinan dibungkus rapi dalam etalase, konon siap untuk ditransaksikan.
Orang berpikir bahwa Toserba adalah toko paling lengkap. Sesungguhnya toserba, mal, hypermarket, supermarket, hanya “gede klaim”. Faktanya, yang dijual di sana adalah barang-barang yang biasa terlihat di rumah-rumah warga, dengan jumlah yang juga terbatas.
Di pasar politik, semua barang bisa dibincangkan, dipesan, diadakan, dan ditransaksikan. Anda mau pesan apa? Gedung, bangunan megah, jalan tol, bendungan, proyek infrastruktur, sampai jasa peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)? Di pasar politik, semuanya ada.
Di dalam satu minggu terakhir ini, ada nilai yang lagi ramai di pasar politik. Namanya “Etika”. Ia muncul dalam Debat Capres tanggal 7 Januari 2024. Gelombang perbincangannya bahkan belum mereda hingga hari ini. Etika masih diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan dijadikan bahan parodi dan olok-olok di berbagai platform media sosial.
Konon, istilah etika berasal dari kata Yunani “ethos”, yang berarti karakter atau watak. Dengan kata lain, etika menyoroti bagaimana karakter atau watak seseorang dan tindakan mereka dapat diukur dari segi moral. Etika terbagi menjadi dua kategori utama: etika normatif, yang membahas norma-norma moral, dan etika deskriptif, yang mengamati perilaku moral manusia.
Etika sendiri memiliki fungsi yang luar biasa bagi suatu komunitas dan tatanan kemasyarakatan. Pertama, dalam pembentukan karakter. Etika membantu membentuk karakter individu dengan menekankan nilai-nilai moral semisal kejujuran, integritas, dan empati. Pembentukan karakter yang kuat memberikan dasar bagi perilaku yang bertanggung jawab dan positif dalam masyarakat.
Baca juga: Baliho dan Poster, Cendawan Pemilu di Musim Kampanye
Kedua, pengaturan perilaku. Etika memberikan pedoman moral yang membantu mengarahkan perilaku individu dan kelompok. Norma-norma etika mengidentifikasi tindakan yang diterima atau tidak diterima, membantu mencegah perilaku yang merugikan masyarakat.
Ketiga, pembentukan norma sosial. Etika berkontribusi pada pembentukan norma-norma sosial yang menjadi dasar bagi struktur sosial. Norma-norma ini menciptakan landasan bersama untuk interaksi antar individu, memperkuat solidaritas, dan meminimalkan konflik sosial. Termasuk dalam hal ini adalah perkara keadilan dan kesetaraan manusia dalam kehidupan bersama.
Keempat, pertumbuhan budaya dan spiritualitas. Etika memberikan landasan untuk pertumbuhan budaya dan spiritual-keagamaan. Nilai-nilai moral yang ditanamkan oleh etika membentuk identitas budaya suatu masyarakat dan memberikan makna pada eksistensi manusia.
Kelima, tanggung jawab sosial. Etika mendorong tanggung jawab sosial, yaitu kesadaran akan dampak tindakan individu terhadap masyarakat dan lingkungan. Dengan memahami implikasi moral dari tindakan mereka, individu dapat berkontribusi positif pada pembangunan sosial.
Sekadar Jadi Tiket Menang Pilpres?
Menimbang begitu agungnya fungsi etika dalam kehidupan bermasyarakat, wajar jika para pemimpin dunia menjadikan etika sebagai landasan visi yang mereka kembangkan. Wajar pula jika dalam Debat Capres, konsep etika diperbincangkan dan diperdebatkan.
Tentulah yang diharapkan adalah etika yang sudah terinternalisasi menjadi perilaku. Bukan sekadar pemanis dan bumbu politisasi kepribadian atau pencitraan demi menangguk peningkatan elektabilitas.
Baca juga: Mengais Ketulusan Pahlawan di Belantara Pamrih Politik dan Ekonomi
Mengkhawatirkan, jika riuh rendahnya umpatan bahkan tudingan kepada pihak lain sebagai tak beretika justru dilakukan dalam rangka menunjukkan kepada publik bahwa sang lawan politik memiliki etika rendah, sekadar untuk melakukan klaim bahwa dirinyalah orang yang paling beretika. Sekali lagi, etika yang dimaksud adalah nilai yang telah terinternalisasi dalam kepribadian. Bukan klaim sepihak.
Etika yang diklaim kerap kali justru menunjukkan “ketidak beretikaan” sosok pribadi yang melakukan klaim itu. Sebab, mereka yang memiliki standar etika yang tinggi tak akan melakukan klaim sebagai pribadi yang paling beretika.
Nah, riuhnya para Capres yang gigih mempersoalkan etika itu kita harapkan benar-benar karena sedang memasang standar tinggi tentang nilai kepemimpinan nasional. Mengedukasi publik untuk menjadikan etika sebagai standar dasar untuk menentukan pilihan.
Kita tidak berharap sebaliknya. Yaitu etika sekadar diharapkan menjadi tiket penglaris dodolan politik. Berisi tumpukan kebohongan publik, bedak tebal pencitraan diri Paslon Capres.
Masyarakat pemilih agar sadar sepenuhnya terhadap gerak para politisi, Capres-Cawapres, dan Caleg yang kerap menjadikan nilai-nilai luhur sekadar sebagai dodolan. Di musim Pemilu seperti sekarang ini banyak politisi yang berwajah bak malaikat, padahal sejatinya banyak di antara mereka hanyalah pengemis suara rakyat yang lihai memainkan nilai-nilai luhur untuk sekadar menjadi asesoris dan unicorn, demi melengkapi kesempurnaan penampilan lahiriah. Tujuannya satu: memerangkap rakyat sebagai pemilik suara dalam pesona keluhuran palsu.
Hati-hati! Etika palsu tak layak diberi tiket!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!