Ketika Memakai Jilbab pun Sulit

Ketika Memakai Jilbab pun Sulit
Intan Badriyah saat ditemui dirumahnya / sabili.id

Di tengah masa orde baru, penggunaan hijab oleh muslimah di Indonesia sangat sulit. Wanita muslimah yang mengenakannya kerap kali dikecam. Itu terjadi pada awal hingga pertengahan dekade 1980-an. Sebab, ketika itu rezim Orde Baru (Orba) “alergi” dengan simbol-simbol Islam.

Beragam tekanan pun sering menerpa kaum muslimah yang mengenakan jilbab. Salah satu bentuk tekanan itu adalah keharusan untuk tidak mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, kampus, atau kantor. Intan Badriyah menjadi salah satu muslimah yang harus memilih berhenti dari pekerjaannya karena ingin tetap mempertahankan hijabnya.

Ketika itu, di pertengahan tahun 1981, Intan Badriyah memulai pekerjaan sebagai seorang perawat setelah lulus dari sekolah perawat. Waktu itu, Intan menjadi perawat di sebuah rumah sakit BUMN di Jakarta Pusat. Sebelumnya, sebagai siswi sekolah perawat, ia sudah praktik belajar di rumah sakit tersebut. Aktivitas mengikuti pengajian membuat sebuah kesadaran muncul dari dalam dirinya bahwa memakai hijab adalah kewajiban bagi muslimah.

"Setelah lulus dari sekolah perawat pada pertengahan tahun ’81, saya menjadi perawat di sebuah Rumah Sakit BUMN. Waktu itu semua siswa SPK (Sekolah Perawat Kesehatan, red) yang praktik di rumah sakit itu wajib masuk asrama. Di asrama itu (aktivitasnya) ya sekolah ya praktik. Jadi, sebenarnya (waktu lulus SPK itu) saya sudah dua setengah tahun praktik di Rumah Sakit itu," tuturnya kepada sabili.id.

Intan mengisahkan, setelah lulus dari SPK, status dia pun menjadi karyawan di rumah sakit tersebut dengan tugas sebagai perawat. Nah, setelah menjadi karyawan di rumah sakit tersebut, muncullah masalah terkait hijab yang ia kenakan.

“Pada saat itu, mulai muncul kesadaran. Sebelumnya, ketika masih menjadi pelajar, sewaktu praktik di rumah sakit itu kalau di luar dinas saya memakai jilbab tetapi pada saat dinas nggak (pakai jilbab). Itu kan (masih) pelajar, masih usia SMA. Nah, setelah lulus, (lalu) jadi karyawan, di situ sudah mulai sadar bahwa hijab merupakan kewajiban," kenangnya.
Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional

Di sisi lain, ketika itu Intan juga aktif mengikuti kegiatan organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia). Selain itu, ia juga mengikuti gerakan tarbiyah. Kedua aktivitas itu membuat kian lama semakin bertambah tuntutan di dalam hatinya untuk teguh berhijab.

“Ketika itu sudah nggak bisa dibendung lagi. Akhirnya, di tahun 1983 saya memutuskan untuk memakai jilbab. Tetapi - masya Allah – di situ luar biasa deh tantangannya. (Bahkan) Termasuk organisasi Rohis di Rumah Sakit itu (pun) menentang, karena pada saat itu jilbab memang belum terlalu membudaya di (masyarakat) kita,” kisahnya.

Suatu kali, Intan dipanggil oleh pengurus Rohis di Rumah Sakit itu. Sang pengurus mengatakan,

"Neng Intan. Neng kenapa begitu? (Memakai jilbab) Itu kan budaya Arab. Janganlah neng ikut-ikutan! Kita orang Indonesia. Sudah, nggak apa-apa, begitu."

Intan berkisah, Ketika itu sang pengurus pun mencoba memberikan penekanan. Ia mengatakan,

"Cari kerja itu susah. (Jangan sampai) Kamu sudah kerja di sini terus kamu keluar hanya gara-gara jilbab."
Ketika itu Intan menjawab, "Nggak, pak. Nggak apa-apa. Tetap saya mengenakannya. Sudah bulat hati saya (untuk mengenakan jilbab). Insya Allah saya akan tetap menjalankan perintah Allah ini."

Intan Badriyah memilih untuk berhenti bekerja sebagai perawat ketimbang harus membuka hijabnya. Banyak teman di rumah sakit itu, bahkan sampai Kepala Rumah Sakit ketika itu, pun sangat menyayangkan keputusan yang ia ambil. Sebab, waktu itu ia termasuk karyawan yang berprestasi.

"Pada saat itu, yang berhijab di rumah sakit itu hanya saya. Jadi nggak ada yang belain. Tetapi pada saat itu, di umur segitu, umur 20-an tahun, saya merasa nggak ada rasa takut. Karena saya merasa saya ada di jalan Allah. Jadi nggak perlu takut. Nggak ada gugup. Walau pun dihadapi sama Kepala Perawat, orang Rohis (Pengurus Rohis, red), bahkan Kepala RS pun," ujarnya.

Setelah pembicaraan itu, akhirnya Intan mengundurkan diri dari profesi sebagai perawat di Rumah Sakit tersebut. Tetapi, ia merasakan keyakinannya memang benar, yaitu ketika kita mengikuti jalan Allah, ada saja rezeki yang datang.

“Ketika sudah selesai, sudah pulang, sampai di rumah, saya belum memberi tahu keluarga saya. Keluarga saya pun belum menerima. Waktu itu, dapat surat dari orang PII, akhirnya saya datang ke Rumah Sakit Yarsi. Menemui salah satu dokter di sana. Beliau juga merupakan Pengurus Yayasan Yarsi. Saya langsung diterima dan hari itu juga jadi perawat di puskesmas," kisahnya.

Berbekal surat dari Pengurus PII, Intan diterima sebagai perawat di Yarsi. Waktu itu, dokter tersebut mengatakan,

“Suster insya Allah saya terima. Kapan kira-kira bisa mulai bekerja?"

Karena waktu itu menjelang Hari Raya Idul Adha, Intan menjawab,

"Karena mau lebaran haji, jadinya lebaran haji dulu."

Dari sana, kian kuat keyakinan Intan untuk tetap berhijab. Apa pun tantangannya. Sebab, ia yakin Allah SWT akan memberikan kemudahan.

"Jadi, sebenarnya kalau kita ada di jalan Allah, Allah akan bukakan jalannya. Nggak dipersulit," ujarnya.

Setelah menikah, Intan Badriyah tak lagi bekerja sebagai perawat. Ia "pensiun" dari profesi perawat saat menjelang pernikahan di tahun 1985. Setelah itu ia memilih konsentrasi mengurus keluarga. Bagi dia, mengurus rumah tangga juga merupakan profesi.

Baca Juga : Melonggarnya Tali Jilbab Kita

Suatu ketika, Intan menjenguk seseorang yang sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit BUMN tempat ia dulu bekerja. Ada pengurus Rumah Sakit yang masih mengenalinya dan lantas menawari untuk kembali menjadi perawat di sana. Sebab, katanya di saat itu karyawan Rumah Sakit tersebut sudah bisa memakai jilbab. Sesuatu yang dulu merupakan usaha dan perjuangan dia untuk dapat memakai jilbab saat bekerja di Rumah Sakit tersebut.

“Tetapi saya menolak dikarenakan sudah memiliki pekerjaan yaitu ‘rumah’. Mengurus anak dan suami,” ujarnya.

Tentu ada hikmah dari semua perjalanan.

“Muara dari semua itu adalah aqidah. Iman kepada Allah. Dan mencontoh akhlaknya Rasulullah. Itu saja yang paling kuat. Kalau kita kuat aqidahnya kepada Allah, juga berakhlak seperti yang Rasulullah ajarkan, insya Allah kita akan dengan sukarela berhijab," tutupnya.

Jadi, kuatkan aqidah. Yakinlah, pertolongan Allah pasti datang.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.