Melonggarnya Tali Jilbab Kita

Melonggarnya Tali Jilbab Kita
Image by Freepik

Aku ingat, saat itu beliau masih dipanggil dengan sebutan Cak Nun. Sekarang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Nun. Budayawan sekaligus kritikus sosial yang amat konsisten menyerukan amar ma’ruf nahi munkar pada kekuasaan, lewat gayanya yang khas, unik, dan tak ketinggalan racikannya yang serba “Nyeleneh”.

Cak Nun, sekitar pertengahan hingga akhir tahun 80-an sempat menghentak Indonesia dengan pementasan drama berjudul “Lautan Jilbab”. Awalnya, Lautan Jilbab adalah sebuah puisi yang ia ditulis saat diundang mengisi kegiatan Ramadhan di Universitas Gajah Mada.

Saat itu; mahasiswi, pelajar putri, dan kalangan muslimah profesional yang tengah bersemangat mengenakan jilbab mendapat berbagai tantangan dari Pemerintah Orde Baru. Kebebasan berbusana muslimah terkekang. Jilbab dianggap sebagai representasi bangkitnya politik Islam yang bisa mengganggu kepentingan politik penguasa.

Kala itu jumlah muslimah yang menggunakan jilbab masih terbilang sedikit. Amat jauh jika dibandingkan dengan situasi hari ini.

Baca Juga : Memperjuangkan Hak Muslimah Lewat Peringatan Hari Solidaritas Hijab Internasional

Salah satu bentuk pengekangan itu, berwujud Surat Keputusan (SK) Dirjen Dikdasmen No. 052 tahun 1982. SK ini memang tidak secara eksplisit melarang pemakaian jilbab di sekolah, namun SK ini mengatur penggunaan seragam sekolah yang tidak memberi ruang pada penggunaan jenis pakaian lain yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut.

Awal tahun 1980 adalah era tumbuhnya kesadaran ke-Islaman di kalangan umat Islam Indonesia untuk mengamalkan Islam secara komperhensif. Jilbab adalah fenomena yang ikut tumbuh dalam gelombang kesadaran baru tersebut.

Tak pelak, SK 052 tahun 1982 memicu kontroversi yang luas. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan saat itu dituduh mengekang kebebasan beragama. Sejumlah Ormas besar semacam MUI, Muhammadiyah, NU, dan Dewan Dakwah, lantang menyerukan ketidaksetujuan atas pemberlakuan SK tersebut.

Cak Nun, dengan amat kreatif, tajam, dan penuh satire mampu mengemas sebuah kritik pada kekuasaan menjadi pentas seni yang amat populer. Pentas pertama Lautan Jilbab di UGM mampu meraup jumlah penonton hingga 3000 orang lebih. Amat jarang pementasan drama mampu mendatangkan jumlah penonton sebanyak itu.

Lakon Lautan Jilbab kemudian di bawa tur ke banyak kota di Indonesia. Dengan caranya itu, Cak Nun mampu “Memviralkan” isu ketidakadilan atas jilbab ke seluruh penjuru negeri. Pada saat yang sama, para muslimah atau jilbaber yang ketika itu masih aktif di usroh kecil, turut memanfaatkan show lautan jilbab untuk makin berani menunjukkan eksistensi dan menentang secara terbuka pengekangan, diskriminasi, serta ketidakadilan atas hak muslimah untuk berjilbab.

Lautan Jilbab adalah media yang mampu menyuarakan drama kehidupan yang sesungguhnya tentang sejumlah masalah yang dialami oleh para jilbaber. Ada siswa yang harus pindah dari sekolah favorit di Jakarta ke sekolah swasta yang tak bernama. Ada banyak cacian, cercaan, bahkan kecurigaan yang berlebih pada jilbaber generasi pertama.

Sejumlah perawat yang istiqomah berjilbab, akhirnya dipaksa memilih untuk tetap bekerja dengan melepas hijab atau berhenti. Banyak yang memilih berhenti.
Tali jilbab ketika itu tertaut kuat pada kesadaran Ilahiah yang tinggi. Kesadaran suci untuk taat pada Allah dan Rasulullah Saw. Berjilbab adalah ber-Islam secara total. Berjilbab saat itu bahkan memiliki makna jihad mempertahankan identitas dan ajaran Islam!

Karena kesadaran pada ikatan yang amat kuat itu pula, muslimah yang berani dan siap melakukannya adalah muslimah pilihan. Sedikit di antara banyak muslimah pada umumnya. Mereka tahu risikonya dan mereka siap dengan segala konsekuensinya.

Baca Juga : Abdi Rahmat, M.Si (Sosiolog UNJ): “Banyak Muslimah Berhijab Sebatas untuk Identitas Sosial”

Inilah generasi awal jilbab. Mengenakan jilbab in syaa Allah karena kesadaran ketakwaan. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan dakwah, mendidik muslimah yang lain untuk berjilbab, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya kehendaki.

Generasi ini pula yang melahirkan Nasyid sebagai alternatif hiburan keluarga muslim. Munculnya sastra Islami dalam bentuk puisi, cerpen dan novel.

Sampai kemudian, kiprah dakwah mereka meluas. Pusat kekuasaan sadar, bahwa Islam di Indonesia adalah modal penting persatuan. Nilai-nilai Islam adalah pondasi penting tegaknya nilai Pancasila secara murni dan konsekuen.

Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri dengan restu penuh kekuasaan, Bank Syariah muncul, asuransi syariah, perda syariah, Baitul mal Wattamwil dan seterusnya, proses islamisasi kehidupan masyarakat Indonesia berjalan dinamis. Jilbab diterima di semua tempat.

Awal tahun 2000, lebih dari 50% guru muslimah telah berjilbab. Demikian juga ASN muslimah, mayoritas telah berjilbab. Karyawan Bank, hingga pramugari dan atlit olah raga pun berjilbab. Jilbab telah menjadi busana nasional. Mereka adalah generasi kedua jilbaber, yang tak lagi merasakan adanya rintangan dalam berbusana muslimah.

Dari jilbaber generasi kedua inilah lahir generasi jilbaber ke-tiga. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang berjilbab. Di didik oleh guru yang telah berjilbab, di sapa tetangga kanan-kiri yang berjilbab, di layani oleh penjaga toko yang berjilbab, dibiasakan berjilbab dari kecil, teman-temannya juga berjilbab.

Mereka yang lahir di awal tahun 2000 ini bahkan biasa melihat kakak – kakaknya berpacaran dengan berjilbab, akrab pula dengan bu guru yang mahir berjoget meski berjilbab, terbiasa juga melihat bunda-nya bergerak atraktif di depan kamera tik-tok lengkap dengan jilbabnya. Sering pula melihat koruptor yang berjilbab, artis yang bongkar pasang jilbab. Dan seterusnya.

Generasi yang lahir saat jilbab telah menjadi bagian dari budaya populer dan mulai melonggar tali syariatnya. Saat jilbab telah menjadi fashion, lifestyle, dan tak lagi berbanding lurus dengan adab muslimah yang semestinya.

Dengan berjilbab, muslimah memang tetap bisa melakukan apapun. Tapi, amat disayangkan jika muslimah berjilbab justru makin tidak paham apa yang dibolehkan oleh agamanya dan apa yang dilarang.

Pada momentum peringatan hari solidaritas hijab internasional ini, mari ketatkan kembali tali jilbab keluarga kita pada buhul tali agama Allah. Apa pun, jilbab adalah tali. Untuk mengikat dan membatasi. Terutama agar tak kendor dan mudah tersingkap oleh tarikan syahwat duniawi dengan segala pesonanya.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.