Ketika Wapres Dipecat dari Partainya

Ketika Wapres Dipecat dari Partainya
Ketika Wapres Dipecat dari Partainya / Foto Istimewa

Pada akhirnya, PDIP berani menyatakan memecat sederetan kader-kader terbaiknya: Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, dan 24 nama lainnya. Diksi yang dipilih juga cukup lugas: “Pemecatan”. Sedangkan di dalam birokrasi di Indonesia, istilah itu kerap dibikin lebih lunak atau bermartabat dengan sebutan “Diberhentikan dengan tidak hormat”.

Awalnya penulis kira, berita dengan judul “PDIP Resmi Pecat Jokowi” hanyalah penegasan dan istilah yang dipilih oleh media massa untuk menimbulkan efek kejut dari berita yang mereka tulis terkait pemberhentian mantan Presiden Jokowi dari PDIP. Namun senyatanya, setelah menyimak langsung videonya, ternyata diksi “pemecatan” itu memang dipilih untuk digunakan dalam surat yang diteken langsung oleh Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto, sebagaimana dibacakan oleh Komarudin Watubun.

Beberapa pihak menyindir, PDIP baru berani memecat Jokowi setelah gelaran Pilkada serentak usai dilakukan. Mengapa baru sekarang? Pertanyaan itu memang tak harus dijawab PDIP, karena itu adalah persoalan internal partai. Pastinya, pemilihan momen bahkan pilihan diksi sudah melalui pertimbangan dengan efek yang mungkin juga sudah diukur. Tentu, dengan memertimbangkan keuntungan politik partai tetap dalam posisi optimal.

Komentar publik cukup beragam. Umumnya berfokus pada Joko Widodo. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Jokowi pasca pemecatan dirinya? Ke partai apa Jokowi akan merapat? Apakah Jokowi akan membuat partai sendiri? Apakah pemecatan ini akan menjadi akhir dari karir politik Jokowi? Begitulah antara lain diskusi dan opini yang berkembang di media sosial maupun di media mainstream.

Ada beberapa catatan yang tampaknya perlu diketengahkan dalam peristiwa pecat kader di tubuh PDIP ini.

Menegakkan Islam dengan Membangun Peradaban dari Masjid
Ustadz Jazir berharap masjid-masjid di seluruh Indonesia dapat kembali menjadi sentra aktivitas umat Islam, sebagaimana pada masa Rasulullah ﷺ‎.

Pertama, langkah pemecatan yang dilakukan PDIP terhadap Jokowi, Gibran, dan Bobby, akan berdampak kepada pihak yang memecat dan yang dipecat. Namun, orang hanya fokus kepada apa yang akan terjadi terhadap pihak yang dipecat dan kurang memberi perhatian pada pihak yang memecat.

Pemecatan Jokowi oleh elite PDIP tak boleh disejajarkan dengan peristiwa pemecatan karyawan oleh manajemen perusahaan. Karyawan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada perusahaannya, terikat dalam relasi atas-bawah yang hirarkis. Sedangkan kader partai sekaliber Jokowi bisa menjadi aset yang amat berharga bagi partai. Keberadaan dia bisa meningkatkan perolehan suara partai secara signifikan. Pilkada Jawa Tengah kemarin membuktikan, Jokowi mampu membuat kandang tradisional sang banteng bobol! Demikian juga di Jawa Timur. Sementara kemenangan PDIP di Jakarta juga banyak ditentukan oleh faktor eksternal PDIP, semisal efek Anies Baswedan dan rendahnya partisipasi publik dalam Pilkada Jakarta tempo hari.

Maka, penting juga untuk disoroti, bagaimana nasib PDIP setelah memecat Jokowi? Apakah ia masih akan sekuat 10 tahun terakhir? Atau justru perlahan-lahan semakin mengempis dukungan politiknya? Nah, di sini perlu kita perhatikan baik-baik ucapan Jokowi terkait pemecatan dirinya, “Nanti waktu yang akan mengujinya”.

Ingat, Jokowi dengan bekal penampilan lugu dan polosnya itu, amat lihai memainkan playing victim. Penampilan dia yang terlihat apa adanya sangat kuat mengundang simpati masyarakat, khususnya kelas bawah.

Permainan tampaknya belum akan berakhir. Bahkan bisa jadi baru dimulai. Maka, jangan buru-buru memrediksi habisnya karir politik Jokowi. Dengan kemampuan dia menarik simpati publik, Jokowi berpotensi menjadikan pemecatan dirinya sebagai modal penting untuk melakukan serangan balik terhadap PDIP. Mengingat basis pendukung keduanya cukup dekat beririsan, serangan balik itu bisa akan sangat efektif. Jadi, sisakan ruang bagi pertanyaan, “Bagaimana nasib PDIP setelah pemecatan Jokowi?

Rezim Assad di Suriah dalam Tinjauan Sejarah dan Politik
Perang saudara yang berkepanjangan di Suriah telah membawa dampak yang sangat luas dan menghancurkan. Infrastruktur negara, termasuk sekolah, rumah sakit, dan fasilitas transportasi, mengalami kerusakan yang masif.

Kedua, Pemecatan yang dilakukan oleh PDIP atas Jokowi, anak, dan menantunya, itu tak boleh sekadar dibaca sebagai upaya menegakkan disiplin partai. Dari diksi yang dipilih dan penyebutan jenis pelanggaran yang dilakukan, tampaknya pemecatan ini harus juga dimaknai sebagai sebuah serangan politik yang berupaya mendegradasi kredibilitas moral politik Jokowi.

Selain didakwa melawan kebijakan partai dengan mendukung Paslon lain dalam Pilpres 2024, Jokowi juga dituding menyalahgunakan kekuasaan untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Tampaknya, pemecatan itu juga ingin menempelkan memori publik pada status Jokowi sebagai sosok yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat presiden, ia tak hanya melanggar peraturan partai, tetapi juga melanggar konstitusi negara.

Ketiga, meski tak lagi memiliki jabatan politik, Jokowi tetap sosok yang paling memiliki pengaruh besar di antara 27 kader yang mengalami nasib serupa itu. Gibran Rakabuming Raka yang notabene adalah pejabat tinggi negara, Wakil Presiden Republik Indonesia, justru tidak terlalu disorot dalam drama pemecatan itu.

Mestinya, isu Wapres aktif yang dipecat oleh partainya itu lebih menarik untuk dibahas. Pinjam istilah wartawan; lebih memiliki nilai berita. Apalagi, ini menjadi kasus pertama kalinya di Indonesia, setidaknya sepanjang masa Orde Baru hingga hari ini. Tetapi tampaknya, hal itu tak berlaku pada kasus ini. Pengamat tak berbicara tentang kredibiltas politik Wapres yang turun akibat dipecat oleh partainya sendiri.

Bisa jadi, itu terjadi karena sedari awal Gibran memang tidak diusung oleh PDIP, sehingga pemecatan dirinya dari PDIP tidak cukup menarik atensi publik. Atau pada sisi lain, menimbang posisi jabatannya, tampaknya publik masih tetap belum memberi bobot politik yang memadai bagi sang Wapres. Belum dihitung, ia masih akan menempel kuat pada tuah politik sang ayah.

Wajah Kepolisian dalam Penanganan Demonstrasi
Komnas HAM mencatat 176 laporan kasus penyiksaan oleh polisi saat pemeriksaan tersangka/tahanan antara Januari 2020 hingga Juni 2024.

Tetapi, justru karena posisi Gibran sebagai Wapres yang memiliki sejumlah kerentanan inilah, sang ayah jadi tak mau minggir dari arus utama politik nasional. Ia telah lengser, namun harus tetap berada di tengah pusaran arus politik nasional, mungkinkah karena posisi rentan sang anak?

PDIP mungkin tak terlalu memandang bobot politik Gibran. Ia hanya dikendalikan sang ayah. Sadarilah, Jokowi tak akan goyang jika sekadar nama baiknya yang diserang. Tetapi jangan coba-coba usik sang anak!

Wapres Gibran Rakabuming Raka, bisa jadi belum memiliki kapasitas politik yang perlu dipertimbangkan oleh lawan-lawan politik. Tetapi, ia selalu menggelorakan energi politik sang ayah untuk terus menjaga dan melindunginya. Gibran, mungkin menjadi sumber energi politik Jokowi, tetapi sekaligus berpotensi menjadi celah kelemahan untuk menekuk kiprah politik sang Bapak.

Wallahu a'lam bishawwab.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.