Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) memainkan peran penting sebagai penjaga konstitusi. Sebuah peran yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MK memiliki kewenangan untuk memutuskan, apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah kewenangan MK terbatas pada pembatalan suatu undang-undang yang tidak sesuai konstitusi atau juga mencakup koreksi terhadap isi pasal tertentu?
Esai ini akan membahas kewenangan MK menguji undang-undang dalam konteks teori hukum tata negara yang dianut Indonesia. Serta kaitan MK dengan fungsi pembentuk undang-undang atau legislasi yang dimiliki oleh DPR dan Presiden.
Sistem Hukum Tata Negara yang Dianut Indonesia
Indonesia menganut sistem hukum campuran, yang menggabungkan unsur-unsur dari sistem Continental European (Civil Law) dan Anglo-Saxon (Common Law). Di dalam konteks peran Mahkamah Konstitusi (MK), Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum Civil Law, yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang harus dijaga melalui mekanisme pengujian oleh lembaga yudisial semisal MK.
Menurut Hans Kelsen, seorang ahli hukum tata negara terkenal yang juga pencetus teori Stufenbau der Rechtsordnung (hierarki norma hukum), Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai “penjaga” konstitusi. Teori ini menegaskan bahwa setiap norma hukum, termasuk undang-undang, harus diuji keabsahannya terhadap norma hukum yang lebih tinggi, yakni konstitusi. Di dalam konteks ini, kewenangan MK untuk melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi menjadi sah dan bahkan esensial.
Kewenangan MK Menguji UU
Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengatur bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Di dalam sistem hukum yang dianut Indonesia, kewenangan ini tidak hanya mencakup pembatalan ketentuan undang-undang, tetapi juga memberikan ruang bagi MK untuk melakukan koreksi terhadap isi pasal tertentu yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional.
Hans Kelsen menegaskan bahwa kewenangan tersebut diperlukan, untuk memastikan bahwa setiap produk hukum berada dalam koridor yang benar sesuai dengan hierarki hukum yang ada. Oleh karena itu, MK memiliki hak untuk tidak hanya membatalkan tetapi juga memberikan interpretasi yang lebih tepat atas pasal-pasal yang dinilai menyimpang dari UUD 1945.
Selain itu, menurut John Locke, seorang filsuf dan ahli teori hukum dari tradisi Anglo-Saxon, kekuasaan yang ada pada lembaga peradilan termasuk dalam fungsi “pengadilan hukum tertinggi”, yang berperan untuk menjaga agar kekuasaan legislatif tidak melampaui batas-batas yang diatur oleh konstitusi. Di dalam sistem hukum Indonesia yang mengadopsi elemen dari Anglo-Saxon, pendapat Locke ini memperkuat legitimasi MK dalam melakukan koreksi terhadap undang-undang.
Fungsi Legislasi dan Kewenangan Koreksi MK
Di dalam sistem hukum yang dianut Indonesia, DPR dan Presiden memiliki peran sebagai pembuat undang-undang atau law maker, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945. Fungsi ini memungkinkan DPR dan Presiden untuk menyusun dan menetapkan undang-undang yang mengatur berbagai aspek kehidupan bernegara.
Namun, dalam pelaksanaannya, undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden tidak selalu sejalan dengan konstitusi. Di sinilah peran MK sebagai penguji konstitusionalitas undang-undang menjadi sangat penting.
Teori Trias Politica dari Montesquieu, seorang pemikir hukum asal Prancis, menekankan adanya pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di dalam konteks ini, MK berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan legislatif dan eksekutif, untuk memastikan bahwa produk legislasi tidak melanggar konstitusi.
MK, dalam hal ini, memiliki kewenangan untuk mengoreksi isi undang-undang yang dinilai melanggar prinsip-prinsip konstitusi, sehingga fungsi kontrol ini tetap berada dalam ranah checks and balances yang dianut dalam sistem hukum Indonesia.
Contoh Kasus Putusan MK
Contoh nyata dari kewenangan MK dalam mengoreksi undang-undang dapat dilihat dalam Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Di dalam Putusan Nomor 60, MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari ketentuan 20% kursi DPRD atau 25% suara sah menjadi ambang batas yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). MK tidak hanya membatalkan ketentuan sebelumnya, tetapi juga memberikan koreksi yang dianggap lebih sesuai dengan prinsip demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945.
Begitu pula dalam putusan yang lainnya. MK menolak permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kendati demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.
“Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, penelitian keterpenuhan persyaratan tersebut harus dilakukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon. Dalam hal ini, semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 10/2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Prof. Saldi Isra.
Di dalam kedua putusan ini, MK menjalankan perannya sebagai penjaga konstitusi dengan melakukan koreksi terhadap pasal yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional.
Prof. Saldi Isra, hakim MK dan ahli hukum tata negara, menjelaskan bahwa kewenangan MK dalam mengoreksi pasal undang-undang adalah bagian dari fungsi pengawasan konstitusional. Menurut dia, MK tidak melampaui kewenangannya karena koreksi yang dilakukan bertujuan untuk menjaga agar undang-undang tetap sejalan dengan UUD 1945.
Penutup
Di dalam konteks teori hukum dan berdasarkan preseden yang ada, kewenangan MK tidak hanya terbatas pada pembatalan suatu pasal dalam undang-undang, tetapi juga mencakup koreksi terhadap pasal yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi.
Fungsi koreksi ini sejalan dengan peran MK sebagai penjaga konstitusi, yang bertujuan untuk memastikan bahwa setiap produk legislasi yang dibuat oleh DPR dan Presiden tetap berada dalam koridor konstitusional.
Dengan demikian, koreksi yang dilakukan oleh MK adalah bagian dari upaya untuk menjaga integritas hukum dan demokrasi di Indonesia. Sistem hukum Indonesia, yang menggabungkan unsur Civil Law dan Common Law, memberikan ruang bagi MK untuk menjalankan fungsinya dengan efektif, sebagaimana diamanatkan oleh teori hukum tata negara dan UUD 1945.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!