Penggunaan hijab di kalangan muslimah Indonesia dua dekade terakhir meningkat pesat. Kita akan sangat mudah menemukan muslimah yang mengenakan hijab, baik di sekolah, pusat perbelanjaan, bahkan di gedung pemerintahan. Kondisi ini berbeda 180 derajat dibandingkan masa orde baru, tepatnya di medio 1980-an.
Ketika itu, pengguna hijab dibatasi hak asasinya, hingga banyak yang menjadi korban. Sebagian muslimah berhijab itu ada yang dikeluarkan dari sekolah, dipecat dari tempat bekerja, bahkan diinterogasi oleh aparat penegak hukum, hanya karena kosisten menggunakan hijab untuk menutup auratnya. Hal itu akhirnya memunculkan gerakan penggunaan hijab secara massif yang dimotori oleh para aktifis pelajar, mahasiswa, dan lintas profesi.
“Keberhasilan” dakwah hijab di Indonesia patut disyukuri. Tentu itu sebuah usaha yang tidak mudah. Tetapi di sisi lain, muncul PR baru untuk dunia dakwah. Beberapa bulan lalu publik dihebohkan dengan video viral bernuansa pornoaksi oleh seorang selebgram berhijab, berinisial OF. Berbalut hijab yang menutupi kepala dan lehernya, ia memainkan adegan tak senonoh. Tak lama berselang, seorang hijaber dengan ratusan ribu pengikut di Instagram diringkus polisi. Usut punya usut ternyata ia adalah brand ambassador judi online.
Merespon fenomena di atas, ulama yang kini menjabat sebagai Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menilai, tidak serta merta pengguna hijab akan menjadi pribadi yang baik dalam seketika.
“Tutup aurat hingga berhijab adalah kewajiban syariat Islam. Kalau karena iman, tentu mendapat pahala. Kalau tidak karena iman, tentu tidak berimplikasi pahala. Sementara perbuatan tidak baik, tidak senonoh atau maksiat (adalah) dosa yang lain. Tidak berarti hijabnya gugur,” katanya.
Ia tak menampik bahwa banyak motif yang melatar belakangi muslimah akhirnya memutuskan menggunakan hijab. Baik karena dorongan iman, kesadaran, adat, lingkungan, bahkan fashion dan tren. Terlepas dari motifnya, Kiai Cholil Nafis mengapresiasi semakin maraknya muslimah yang mengenakan hijab,
“Kita menyambut baik fenomena mayoritas orang (muslimah) berhijab. Minimal kalau tidak berdampak kesalehan bagi dirinya, dia sudah menutupi aurat bagi orang lain,” ucapnya.
Baca Juga : Perjalanan Hijab di Indonesia: dari Nasida Ria Sampai Fatin Shidqia
Ulama muda yang juga menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU ini menegaskan, hijab yang dimaksud adalah yang menutup aurat wanita, serta tidak transparan dan menampilkan lekuk tubuh. Bukan sekadar membalut tubuh dengan kain.
“Hijab tidak hanya sekadar (tubuh) dibalut dengan kain, tetapi lekuknya, transparannya, masih kelihatan. Ulama sebagian mengatakan, itu tidak menutupi aurat. Saya berpendapat, orang yang menutup aurat tetapi agak terbuka, dia tetap menutup aurat tetapi tidak afdhol. Tidak menggunakan adabnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kiai yang telah menulis banyak buku ini juga mengajak muslimah agar memahami Islam secara lebih komperhensif. Bahwa Islam tidak hanya simbol semata, dengan menggunakan hijab, misalnya. Tetapi ada nilai dan substansi yang Islam maksudkan dari kewajiban menggunakan hijab.
“Yang Islam inginkan, motifnya (mengenakan hijab) adalah karena agama. Sehingga, berhijab ada pengaruh dari keyakinan hingga berimplikasi pada kenyataan,” imbuhnya.
Kiai kelahiran Sampang, 1 Juni 1975, itu juga mengingatkan sebuah peran penting muslim dan muslimah dalam konteks kehidupan sosial di Masyarakat. Bahwa mereka adalah duta bagi agama. Maka, sudah selayaknya sebagai duta, menampikan wajah Islam dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam implementasi di masyarakat.
“Semua umat Islam itu adalah duta dari agamanya. Pada saat melaksanakan syariat, tidak cukup hanya simbol-simbol saja. Tetapi implementasi di dalam kehidupan sosial. Interaksi. Islam ini memadukan antara zahir dan batin,” tutupnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!