Kawasan Karawang dan Bekasi di dalam sejarah dikenal sebagai tempat pertempuran heroik dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Begitu hebat pertempuran di dua kabupaten di Jawa Barat itu diabadikan sastrawan besar Indonesia, Chairil Anwar, dalam karya puisi berjudul “Karawang-Bekasi” yang melegenda. Selain itu, Karawang-Bekasi juga menjadi wilayah yang istimewa, karena di situ pernah lahir seorang ulama besar dan pejuang kemerdekaan yang ditakuti penjajah.
Namanya adalah Kiai Haji (KH) Noer Ali. Sosok ulama kharismatik itu terkenal dengan julukan “Singa Karawang-Bekasi”. Konon, ulama kebanggaan Bekasi itu memang menjadi “singa” saat berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH Noer Ali juga dikenal karena wawasan keislaman yang luas.
KH Noer Ali yang lahir di Babelan, Bekasi, 15 Juli 1914, itu juga telah menjadi tokoh nasional. Sebab, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/2006, ia telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2006. Hingga kini, masyarakat Bekasi pun masih terus mengenang sosoknya yang sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Belajar Islam Sejak Kecil
Wawasan keislaman KH Noer Ali yang luas adalah buah dari ketekunan dia belajar agama sejak kecil. Ketika masih berusia 8 tahun, ia telah berguru kepada Guru Maksum di Kampung Bulak, Bekasi. Di sana, ia belajar mengaji, membaca dan menulis bahasa Arab, serta menghapal surat-surat dalam Al Qur’an. Di situ, ia juga menimba pengetahuan keislaman, khususnyatarikh para Nabi, ahlak, dan fiqih.
Beranjak dewasa, KH Noer Ali memperdalam ilmu agama Islam ke Guru Mughni di Ujung Malang. Terutama ia berguru tentang tauhid. Selama belajar dengan Guru Mughni, ia dikenal sebagai santri yang paling cerdas. Guru Mughni mengakui secara langsung kecerdasan KH Noer Ali.
Baca Juga : UAS Kepada Santri At-Taqwa : 5 Pelajaran Penting dari K.H. Noer Ali
Dari Guru Mughni, KH Noer Ali melanjutkan pendidikan ke pesantren asuhan KH Marzuki. Di sana, KH Noer Ali juga dikenal sebagai santri yang cerdas. Ada pegalaman yang begitu dalam membekas di dalam hatinya ketika itu. Yaitu, selama menjalani pendidikan di dua pesantren itu, KH Noer Ali melihat secara langsung kondisi kehidupan masyarakat. Ia menyaksikan bagaimana rakyat menderita akibat penjajahan.
Di masyarakat yang ada disekitarnya, KH Noer Ali pun melihat tindakan sewenang-wenang para tuan tanah terhadap masyarakat, khususnya warga pribumi. Juga kekejaman aparat pemerintahan kolonial kala itu. Suasana penuh ketidakadilan dan kemaksiatan itu lantas melecut semangat juang dan cinta tanah air di dalam diri KH Noer Ali. Dan ketika belajar di dua pesantren itu pula, KH Noer Ali mahir menggunakan senapan. Awalnya karena ia kerap berburu bajing atau tupai diwaktu senggang. Berburu bajing kemudian menjadi hobinya.
Di tahun 1934, KH Noer Ali berangkat ke Mekah untuk memperdalamilmu agama Islam. Padahal, bekal materi waktu itu tak cukup banyak ia punya. Namun, tekad yang kuat untuk belajar tak menyurutkan langkahnya. Akhirnya, ia berangkat ke Mekah dengan uang pinjaman.
Di Mekah, KH Noer Ali sempat belajar kepada banyak guru dan para Syaikh. Khususnya kepada Syaikh Ali Al Maliki, sesuai pesan gurunya, KH Marzuki. Kecerdasan KH Noer Ali pun membuat dia lantas menjadi santri kesayangan Syaikh Ali Al Maliki.
Memimpin Laskar Rakyat
Rajin berkirim surat dengan orang tuanya dan membaca informasi dari surat kabar di Arab Saudi membuat KH Noer Ali tahu banyak tentang kondisi negerinya. Penderitaan rakyat Indonesia akibat penjajahan membangkitkan semangat dan menggelorakan hati KH Noer Ali. Sehingga, ia ingin ikut berkontribusi dalam memerdekakan tanah airnya. Hal itu ia wujudkan dengan membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB) di Mekah, bersama rekan-rekannya dari Indonesia.
Baca Juga : Jenderal Soedirman dan Api Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Tahun 1939, KH Noer Ali pulang ke Indonesia. Di tanah kelahirannya, tahun 1940 ia mendirikan pondok pesantren. Ketika itu, dengan sukarela seluruh warga sekitar memberikan tanah mereka untuk pembangunan akses jalan di Bekasi. Khususnya di kawasan Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu. Kiprah KH Noer Ali di pesantren yang ia dirikan itu tentu tak disukai para tuan tanah dan pemerintah kolonial ketika itu.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Pemerintah Dai Nippon ketika itu meminta KH Noer Ali bersedia bekerja sama dengan Jepang. Tentu saja, permintaan itu ditolak KH Noer Ali dengan tegas. Dan selama masa pendudukan Jepang, pesantrennya enggan berkompromi dengan penjajah.
Ketegasan sikap KH Noer Ali terus ditunjukkan ketika berlangsung pertempuran di masa perebutan kemerdekaan. Ketika Jepang membentuk latihan kemiliteran, KH Noer Ali mempersiapkan santrinya, antara lain dengan menyalurkan para santrinya untuk masuk dan bergabung dengan Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) agar selanjutnya dapat ikut berperang di medan tempur untuk merebut kemerdekaan.
KH Noer Ali juga terjun bertempur. Ia turun memimpin laskar-laskar rakyat untuk bertempur merebut kemerdekaan. KH Noer Ali juga pernah menjadi Komandan Bataliyon Tentara Hizbullah Bekasi. Ia bahkan dikenal sebagai “singa” di medan perang.
Salah satu perlawanan heroik KH Noer Ali adalah saat berlangsungnya pertempuran sengit di perbatasan Karawang dan Bekasi pada pertengahan hingga akhir tahun 1947. Di masa itu, tentara Belanda datang lagi ke Indonesia untuk kembali menjajah setelah Indonesia mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan di tahun 1945. Maka, KH Noer Ali pun turun memimpin laskar rakyat untuk melawan tentara Belanda.
Kala itu, KH Noer Ali memerintahkan warga dan pasukannya di Bekasi untuk membuat banyak bendera merah putih berukuran kecil. Bendera-bendera kecil itu lalu dipasang di setiap pohon dan tiang yang ada di Karawang dan Bekasi. Tujuannya untuk menegaskan kepada tentara Belanda bahwa Indonesia masih ada dan rakyatnya siap mempertahankan kemerdekaannya. Kepemimpinan yang gagah berani itulah yang membuat nama KH Noer Ali dikenang sebagai “Singa Karawang-Bekasi”.
Baca Juga : Mohammad Natsir Sang Pemersatu
Patut Jadi Teladan
Ulama dan tokoh Betawi itu wafat pada 29 Januari 1992. Ia dimakamkan di Ujung Harapan, Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Semasa hidupnya, KH Noer Ali menorehkan banyak kisah kepahlawanan. Hingga kini, ia masih disegani dan masyarakat selalu mengenang serta mendoakan, karena kiprahnya yang telah berkontribusi dalam merebut, mempertahankan, dan juga mengisi kemerdekaan.
Sepanjang hidupnya, KH Noer Ali telah mendapatkan berbagai penghargaan atas jasa-jasanya di bidang perjuangan, politik, maupun pendidikan. Baik dari pribadi maupun pemerintah. Di antaranya adalah Bintang Nararya yang diberikan Presiden Soeharto tahun 1993 serta Bintang Mahaputra Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006.
KH Noer Ali dikenang sebagai sosok yang patut dijadikan teladan oleh generasi penerus bangsa, karena pengetahuan agamanya yang luas yang ia dedikasikan untuk orang banyak, juga karena semangat perjuangannya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kiprahnya kemudian di dunia dakwah dan aktif di sejumlah organisasi jelas didorong oleh tekad dia untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI.
KH Noer Ali semasa hidup juga diketahui sebagai ulama yang sangat menghargai perbedaan. Ia punya kedekatan dengan banyak orang dari suku dan agama yang berbeda dengan dia. Keharmonisan yang selalu ia jalin membuat KH Noer Ali menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Pemerintah Kota Bekasi pun mengabadikan nama KH Noer Ali sebagai nama sejumlah sarana publik di Kota Bekasi.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!