Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 206 Tahun 1964 tanggal 24 Agustus 1964, Kiai Haji Abdoel Wahid Hasjim dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Sebab, banyak kontribusi penting yang telah diberikan tokoh yang namanya sering ditulis KH Wahid Hasyim itu dalam sejarah negeri ini pada persiapan dan masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Khususnya di proses persiapan kemerdekaan Indonesia. Termasuk juga menjadi kontributor dalam proses perumusan dasar negara.
KH Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur, pada Jumat Legi, 5 Rabiul Awal 1333 Hijriyah atau 1 Juni 1914. Di usia yang relatif muda, Wahid Hasyim mengawali kiprah kemasyarakatannya. Ketika usianya baru 21 tahun, usai menimba ilmu agama di berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, Wahid Hasyim membuat terobosan baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Ketika itu, beliau memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Santri-santri selain mendapatkan pelajaran Bahasa Arab, juga diajari Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah. Dan semua itu dilakukan dengan tujuan untuk memajukan pendidikan di pesantren.
Wahid Hasyim adalah anak dari tokoh besar bangsa ini, yaitu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), hadratush syaikh KH Hasyim Asy’ari. Beliau adalah anak pertama dari 15 bersaudara buah cinta KH Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Namun, hal itu tak berarti beliau otomatis langsung aktif berkiprah di organisasi keagamaan yang didirikan ayahnya tahun 1926 tersebut. Sebab, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasyim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU.
Baca Juga : The Grand Old Man Haji Agus Salim
Setelah aktif di NU, banyak gebarakan dilakukan Wahid Hasyim. Beliau kemudian menjadi Ketua PBNU. Di tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia). MIAI adalah sebuah federasi partai dan organisasi massa (ormas) Islam di zaman pendudukan Belanda. Federasi merupakan kata serapan dari bahasa Belanda (federatie), bermakna gabungan beberapa perhimpunan yang bekerja sama dan seakan-akan merupakan satu entitas badan, namun hakikatnya tetap berdiri sendiri-sendiri.
Ketika itu, usia Wahid Hasyim adalah 25 tahun. Setahun kemudian, Wahid Hasyim menjadi Ketua MIAI. Selanjutnya, ragam peran penting beliau lakoni. Tanggal 24 Oktober 1943, beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi, beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.
Karir Politik yang Cemerlang
Karir politik Wahid Hasyim juga menanjak cepat. Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota Panitia Sembilan dalam proses perumusan dasar negara, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), hingga menjadi Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Wahid Hasyim adalah orang pertama yang menjabat Menteri Agama Republik Indonesia. Intinya, banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid Hasyim bagi agama dan bangsanya.
Baca Juga : Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak
Saat masih berusia 31 tahun pada 1945, KH Abdul Wahid Hasyim telah menjadi tokoh nasional. Sebab, di tahun itu, beliau menjadi Anggota BPUPKI, lalu PPKI, dan Panitia Sembilan. Sebagai Anggota BPUPKI, beliau adalah anggota termuda. Di BPUPKI, beliau mewakili NU bersama dua tokoh lainnya yang menjadi anggota badan tersebut, yaitu KH Masykur dari Malang dan KH Abdul Fatah Yasin dari Bojonegoro. Beliau juga menjadi salah satu anggota termuda di PPKI. Namun, usia muda tak membuat beliau kurang berkontribusi. Bahkan sebaliknya. Beliau menjadi kontributor penting.
Seperti diketahui, tahun 1945, Jepang memulai perang dengan Amerika Serikat sehingga menghadapi perang melawan tentara sekutu. Perjalanan sejarah mencatat, Jepang kalah dalam perang melawan sekutu. Mereka pun goyah. Di tengah situasi tak menentu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebagai langkah untuk mewujudkan janji itu, Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI).
Tujuan pembentukan BPUPKI adalah untuk menyelidiki hal-hal penting yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia sekaligus menyiapkan rencana kemerdekaan. Guna menjalankan perannya, BPUPKI menggelar beberapa kali rapat atau sidang. Dua di antaranya adalah sidang besar. Sidang pertama digelar BPUPKI tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Di dalam sidang tersebut, para anggota BPUPKI membahas apa yang akan menjadi dasar-dasar Indonesia merdeka. Salah satu agenda yang dibahas adalah perihal dasar negara Indonesia.
Di dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin berpidato, mengusulkan dasar negara berupa Peri Kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; serta Kesejahteraan Rakyat. Pada 31 Mei 1945, Soepomo tampil menyampaikan usul. Menurut dia, negara Indonesia merdeka adalah negara yang dapat mempersatukan semua golongan, paham perseorangan, serta mempersatukan diri dengan berbagai lapisan rakyat. Ia juga mengemukakan dasar negara, yaitu
Persatuan (Unitarisme); Kekeluargaan; Keseimbangan lahir dan batin; Musyawarah; dan Keadilan rakyat. Dan pada 1 Juni 1945, Soekarno (Bung Karno) menyatakan gagasan tentang dasar negara yang disebut dengan Pancasila. Panca artinya lima, sila artinya prinsip atau asas. Momen itulah yang ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Pancasila.
Ketika itu, Bung Karno menyampaikan gagasan terkait Pancasila. Yaitu lima dasar untuk negara Indonesia. Sila pertama "Kebangsaan"; sila kedua "Internasionalisme atau Perikemanusiaan"; sila ketiga "Demokrasi"; sila keempat "Keadilan Sosial"; dan sila kelima "Ketuhanan".
Kontributor Penting
Namun, ketika itu masih terdapat perbedaan pendapat tentang gagasan dasar negara tersebut. Muncul perdebatan di antara tokoh-tokoh golongan nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam. Menyikapi belum dicapainya kesepakatan, maka untuk menyempurnakan rumusan Pancasila serta merancang pembuatan Undang-Undang Dasar, BPUPKI membentuk sebuah panitia yang disebut Panitia Sembilan. Sebab, anggotanya memang sembilan orang, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Panitia Sembilan bertugas mengumpulkan pendapat para tokoh tentang rumusan dasar negara yang nantinya akan dibahas dalam Sidang Kedua BPUPKI.
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan selesai menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara. Mohammad Yamin kemudian menamai naskah tersebut sebagai Piagam Jakarta. Piagam Jakarta berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Berikut ini isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Di dalam naskah Piagam Jakarta itu, terdapat rumusan Pancasila. Lima sila yang menjadi dasar negara tersebut adalah, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seperti diketahui pula, sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) Undang-Undang Dasar itu disahkan, tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta menyampaikan bahwa ia mendapat aspirasi dari rakyat Indonesia timur. Ketika itu, perwakilan rakyat Indonesia timur mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” dalam dasar negara tidak diubah esensinya.
Para tokoh agama pun diajak berdiskusi untuk membahas hal tersebut. Di antaranya adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan. Setelah proses diskusi tersebut, ditetapkanlah bunyi poin pertama dasar negara yang termuat di Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan kalimat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, sang ulama muda NU yang merupakan putra KH Hasyim Asy’ari dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" yang tak lepas dari peran dan kontribusi Wahid Hasyim itu, membuat beliau dikenal sebagai tokoh Islam yang moderat, substantif, dan inklusif. Hal itu menegaskan pula bahwa misi yang dibawa oleh para pemimpin bangsa ketika itu adalah agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Salah satu perkataan Wahid Hasyim yang terkenal saat itu adalah, "Tiap-tiap Muslim mesti demokrat, karena agama Islam adalah agama Demokratis".
KH Wahid Hasyim menilai, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Hal itu memberikan arti bahwa dengan konsep tersebut, umat Islam memiliki hak untuk menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Jadi, mengimplementasikan Pancasila sama artinya mengamalkan Syariat Islam dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, tak ada alasan atau celah bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Akhirnya, tidak akan ada intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.
KH Wahid Hasyim juga berani menegaskan, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam harus menunjukkan sikap inklusivitas terhadap kemajemukan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Pancasila merupakan representasi dari seluruh bangsa Indonesia yang menjadi sebuah dasar negara.
Pahlawan Nasional
Di masa kemerdekaan, KH Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Negara Republik Indonesia urusan Agama. Artinya, beliau adalah orang pertama yang menjabat Menteri Agama Republik Indonesia. Beliau bahkan kemudian menjadi Menteri Agama selama tiga periode kabinet secara berurutan. Periode pertama di Kabinet Hatta pada 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950. Periode kedua di Kabinet Natsir sejak 6 September 1950 sampai 27 April 1951. Dan periode ketiga dalam Kabinet Sukiman mulai 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953, dalam sebuah kecelakaan mobil. Usianya ketika meninggal dunia masih relatif muda, 38 tahun. KH Wahid Hasyim dimakamkan di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
KH Wahid Hasyim adalah pahlawan kemerdekaan nasional. Banyak kontribusi penting yang beliau berikan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Segudang pemikiran beliau tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi bagian dari lapisan sejarah keislaman dan keindonesiaan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!