Ki Bagus Hadikusumo, Pemberi Kontribusi Penting dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI

Ki Bagus Hadikusumo, Pemberi Kontribusi Penting dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI
Ki Bagus Hadikusumo, Pemberi Kontribusi Penting dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI / Foto Istimewa

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah sebuah lembaga yang dibentuk Jepang dalam rangka memersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di dalam Bahasa Jepang, BPUPKI disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. Semula, Jepang membentuk BPUPKI sebagai alat propaganda, karena mereka telah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Salah satu penguat janji itu adalah pembentukan BPUPKI.

Namun, para tokoh pergerakan nasional ketika itu justru menjadikan lembaga bentukan Jepang itu sebagai alat perjuangan untuk benar-benar mewujudkan Indonesia merdeka. BPUPKI menggelar rangkaian rapat dan sidang sejak Mei hingga Juli 1945. Para tokoh pendiri bangsa Indonesia yang duduk di dalam BPUPKI berasal dari berbagai latar belakang agama dan ideologi. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang menjadi Anggota BPUPKI adalah Ki Bagus Hadikusumo. Ketika itu, Ki Bagus Hadikusumo adalah pemimpin Muhammadiyah. Di dalam sidang-sidang BPUPKI itu, setidaknya ada dua yang dikemukakan Ki Bagus Hadikusumo yang lantas memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan mewujudkan kemerdekaan.

Abdoel Moeis: Sastrawan, Wartawan, Pahlawan
Abdoel Moeis dikenal banyak orang sebagai sastrawan dengan karya monumental “Salah Asuhan”. Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa ia juga pernah menjadi wartawan di sejumlah surat kabar. Sang aktivis dan politisi itu juga adalah orang pertama ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Pertama, ide yang ia kemukakan bahwa konsep negara Indonesia merdeka adalah negara yang dijalankan atas kedaulatan rakyat. Kedua, Ki Bagus Hadikusumo memerjuangkan Islam sebagai fondasi hukum bagi negara Indonesia merdeka. Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI diganti dengan sebuah lembaga bernama Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Semula PPKI juga dibentuk Jepang karena di awal Agustus 1945 itu Jepang sedang goyah lantaran kalah dalam perang melawan sekutu. Di tengah situasi tak menentu, Jepang membentuk PPKI dengan tujuan untuk lebih menegaskan keinginan dan tekad mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di PPKI, Ki Bagus Hadikusumo juga memberikan kontribusi besar. Kontribusi besar Ki Bagus dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI lantas menjadi dasar penetapan Ketua Umum Muhammadiyah periode 1944–1953 itu sebagai Pahlawan Nasional di tahun 2015. Sebelumnya, Ki Bagus telah mendapatkan penganugerahan Bintang Maha Putra dari Presiden Soeharto saat berlangsung Peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Istana Negara tahun 1993.

Siapa Ki Bagus Hadikusumo? Ki Bagus Hadikusumo (ejaan lama: Ki Bagoes Hadikoesoemo) lahir dengan nama Raden Hidajat (Raden Hidayat) di Kauman, Yogyakarta, 24 November 1890. Ia adalah putra ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan atau pejabat agama Islam di Keraton Yogyakarta.

Buya Hamka: Menulis dengan Hati, Berdakwah Melawan Tirani
Buya Hamka adalah seorang penulis yang produktif dan tajam menyampaikan pemikirannya. Sebagai pemimpin Muhammadiyah, Hamka menegakkan Islam berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah. Sebagai Ketua Umum MUI yang pertama, ia berdiri tegak di atas keyakinan yang kokoh.

Semasa kecil, Raden Hidajat atau Ki Bagus Hadikusumo mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (sekarang SD) sekaligus pendidikan agama di pondok pesantren tradisional Wonokromo, Yogyakarta. Ia dikenal mahir dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda. Sejak muda, ia aktif di organisasi Muhammadiyah. Misalnya, ia pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922); Ketua Majelis Tarjih; dan anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926). Selain di Muhammadiyah, ia aktif pula mendirikan perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Bersama kawan-kawannya, ia juga mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC) yang di kemudian hari dikenal sebagai Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan (PSHW).

Ki Bagus kian berperan aktif di Muhammadiyah ketika tahun 1937 Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu, KH Mas Mansoer, menggandeng dia untuk menjadi Wakil Ketua Umum PP Muhammadiyah. Perkembangan selanjutnya, pada 1942, Jepang memaksa KH Mas Mansoer untuk menjadi Ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), sehingga harus meninggalkan kursi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Sejak itu, Ki Bagus menggantikan posisi KH Mas Mansoer sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Jabatan itu ia emban hingga tahun 1953. Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah itulah, ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Di dunia politik, ia merupakan pendiri Partai Islam Indonesia (PII) pada 1938. Ia juga turut mendirikan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) di Yogyakarta pada 1943.

Roehana Koeddoes, Wartawati Perintis Surat Kabar Perempuan

Yang paling menonjol, semasa hidupnya Ki Bagus Hadikusumo sangat memegang prinsip untuk menjadikan Islam sebagai dasar akhlak pemimpin. Ki Bagus Hadikusumo dikenal sangat kuat memegang prinsip akidah. Sehingga, sempat terdapat pandangan masyarakat Indonesia yang agak minor terkait prinsip Ki Bagus Hadikusumo tersebut. Pandangan yang juga dipicu dari beberapa artikel di media massa yang menyebut bahwa Ki Bagus ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Padahal, garis besar pemikiran Ki Bagus bukan itu, tetapi ia ingin agar Islam dijadikan sebagai dasar akhlak pemimpin. Itulah prinsip pemikiran Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus kerap menjelaskan pemikirannya itu melalui tulisan-tulisannya. Menurut dia, pada dasarnya pemikiran untuk menjadikan Islam sebagai dasar akhlak pemimpin dapat diwujudkan oleh masyarakat muslim dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Jadi, konsep itu bukan sesuatu yang absurd.

Namun, terlepas dari perbedaan penafsiran dalam memahami prinsip pemikiran Ki Bagus tersebut, yang pasti Ki Bagus Hadikusumo telah berperan banyak dalam proses Kemerdekaan Republik Indonesia. Ia juga berperan besar dalam kemajuan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang pernah ia pimpin.

Kontribusi dalam Pembentukan Dasar Negara Sebagai Anggota BPUPKI dan PPKI, Ki Bagus Hadikusumo pernah berdebat sengit terkait dasar negara. Terutama terkait sila pertama dalam Pancasila yang tercantum di Piagam Jakarta.

Ketika itu, BPUPKI sedang menggelar rangkaian sidang untuk menentukan dasar negara. Dua di antara beberapa rapat atau sidang yang digelar BPUPKI saat itu adalah sidang besar. Sidang pertama digelar BPUPKI tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Di dalam sidang tersebut, para anggota BPUPKI membahas apa yang akan menjadi dasar-dasar Indonesia merdeka.

Salah satu agenda yang dibahas adalah perihal dasar negara Indonesia. Di dalam sidang BPUPKI yang dimulai tanggal 29 Mei 1945, waktu itu Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat bertanya, “Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Untuk menjawab pertanyaan itu, sejumlah tokoh bangsa mengemukakan pendapat mereka. Di dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin berpidato, mengusulkan dasar negara berupa Peri Kebangsaan; Peri Kemanusiaan; Peri Ketuhanan; Peri Kerakyatan; serta Kesejahteraan Rakyat. Pada 31 Mei 1945, Mr. Soepomo tampil berpidato, mengemukakan dasar negara, yaitu Persatuan (Unitarisme); Kekeluargaan; Keseimbangan lahir dan batin; Musyawarah; dan Keadilan rakyat. Dan pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno (Bung Karno) menyatakan gagasan tentang dasar negara yang ia sebut sebagai Pancasila.

Panca artinya lima, sila artinya prinsip atau asas. Pancasila menurut Bung Karno adalah lima dasar untuk negara Indonesia. Sila pertama “Kebangsaan”; sila kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”; sila ketiga “Demokrasi”; sila keempat “Keadilan Sosial”; dan sila kelima “Ketuhanan”.

Namun, ketika itu masih terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan tentang gagasan dasar negara tersebut. Terutama di antara tokoh-tokoh dari golongan nasionalis dengan tokoh-tokoh Islam. Ki Bagus sendiri menyatakan keberatan bahkan menolak konsep tersebut karena sila Ketuhanan diletakkan di sila kelima. Ia lantas mengusulkan agar sila “Ketuhanan” diletakkan di posisi pertama sebagai dasar negara. Menyikapi belum dicapainya kesepakatan, maka untuk menyempurnakan rumusan Pancasila serta merancang pembuatan Undang-Undang Dasar, BPUPKI lantas membentuk sebuah panitia yang disebut Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan adalah Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Mohammad Yamin, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo. Panitia Sembilan bertugas mengumpulkan pendapat para tokoh tentang rumusan dasar negara yang nantinya akan dibahas dalam Sidang Kedua BPUPKI. Tim 9 lalu bekerja merancang draft Pancasila dasar negara.

Mereka sepakat memindahkan asas Ketuhanan menjadi sila pertama, dan isi sila tersebut saat itu adalah "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan selesai menyusun naskah rancangan yang akan digunakan sebagai pembukaan hukum dasar negara.

Mohammad Yamin lalu menamai naskah tersebut sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam Jakarta itu berisi gabungan pendapat antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Berikut ini isi Piagam Jakarta 22 Juni 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Mediator Perdamaian, Sisi Lain Jusuf Kalla
Tak banyak negarawan dan politisi negeri ini yang masih produktif memegang organisasi tingkat nasional dengan peran yang begitu besar pada usia tersebut.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Namun, naskah Piagam Jakarta ketika itu tidak serta merta diterima semua kalangan. Tanggal 17 Agustus 1945 petang, Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan bahwa ia mendapat aspirasi dari rakyat Indonesia timur. Ketika itu, perwakilan rakyat Indonesia timur mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia jika esensi dari sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam dasar negara tidak diubah.

Bung Hatta Lantas mengajak para tokoh agama untuk berdiskusi membahas hal tersebut. Di antara tokoh agama yang diajak diskusi itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan. Dan dengan kebesaran jiwa, tokoh-tokoh Islam ketika itu menerima keberatan dari perwakilan Indonesia timur tersebut. Setelah berdiskusi, ditetapkanlah bunyi sila pertama dasar negara (yang selanjutnya disebut Pancasila) yang termuat di Piagam Jakarta itu dengan kalimat, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sebelumnya memang sempat terjadi negosiasi alot dalam keputusan tersebut, karena Ki Bagus bersikukuh tetap memertahankan isi sila tersebut. Setelah melewati diskusi yang panjang, akhirnya mereka sepakat. Maka, berdasarkan keputusan Panitia Sembilan, isi sila pertama tersebut diubah menjadi "Ketuhanan Yang Masa Esa". Selain ikut memberikan kontribusi penting sebagai perancang rumusan Pancasila khususnya sila pertama, Ki Bagus Hadikusumo juga turut berperan dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945. Ketika naskah Piagam Jakarta disepakati sebagai draft Pembukaan UUD 1945, Ki Bagus mengajukan nama "Mukaddimah UUD 1945". Nama itu kemudian diganti dan diputuskan menjadi "Pembukaan UUD 1945", karena kata Mukaddimah dinilai terlalu "ke-Arab-Araban".

Itulah kebesaran jiwa Ki Bagus Hadikusumo. Meski selama sidang BPUPKI Ki Bagus gigih memerjuangkan agar nilai-nilai Islam tecermin dalam dasar negara Indonesia, Ki Bagus juga menunjukkan sikap kompromi dan toleransi tinggi ketika menerima sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi "Ketuhanan yang maha esa" demi persatuan nasional. Ki Bagus Hadikusumo tetap mendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan semangat kebersamaan dan persatuan.

Tokoh Pejuang Kemerdekaan Lewat jalur pendidikan dan dakwah, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam di Indonesia telah berperan besar dalam membentuk karakter bangsa Indonesia. Pendidikan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak hanya menekankan pada aspek keilmuan tetapi juga pada pembentukan akhlak dan moral yang baik. Hal ini sesuai dengan semangat Pancasila yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan persatuan.

Tokoh-tokoh Muhammadiyah semisal Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, dan Dr. Abdul Kahar Muzakir, pun telah memberikan kontribusi penting dalam proses perumusan dasar negara Indonesia. Mereka adalah para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Hingga kini, nilai-nilai yang mereka perjuangkan terus hidup dalam semangat Pancasila. Ki Bagus Hadikusumo, orang kelima yang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah, wafat di Jakarta, 4 November 1954, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pakuncen, Yogyakarta. TPU Pakuncen terletak di Jalan Kuncen, tidak jauh dari jalan utama, Jalan HOS Cokroaminoto. Di kompleks makam tersebut merupakan makam milik Kraton Ngayogyakarta yang biasa disebut makam Kuncen Lawas (lama). Makam Ki Bagus berada di belakang Masjid Kuncen atau di sebelah barat SD Muhammadiyah 2 Wirobrajan.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.