Tidak satu atau dua kali huru-hara tentang berbagai revisi undang-undang terjadi di negeri ini. Sistem “potong Kompas” yang dilakukan legislatif dengan tidak melibatkan peran dan kontribusi publik sudah mencederai demokrasi berkali-kali.
Misalnya pembahasan tentang revisi RUU Penyiaran yang kali ini juga berpotensi memberangus kebebasan pers Indonesia. Sebab, salah satunya memuat pasal yang mengatur isi konten produk jurnalistik dengan antara lain melarang penayangan jurnalistik investigatif. Hal ini akan sangat mengganggu karya jurnalistik yang seharusnya bersifat jujur, berani, dan independen. Juga perannya yang tidak kalah penting sebagai saluran alternatif terhadap berbagai saluran mampet yang sudah tidak bisa lagi diselamatkan.
Sudah seharusnya pembuat draft RUU Penyiaran itu melibatkan akademisi, termasuk organisasi profesi jurnalis dan komunitas pers, juga aspirasi publik. September 2024 tentu saja bulan yang sangat mendebarkan, karena RUU Penyiaran harus sudah ditetapkan, dengan segala pro dan kontra.
Berbagai upaya rakyat yang dilakukan untuk membangunkan lembaga negara yang mati suri selalu mogok di tengah jalan dan kehabisan energi. Urusan rakyat tentu saja bukan hanya terus menerus berdemo atau melayangkan tuntutan ini-itu yang sering diabaikan. Mereka juga harus berjibaku dengan kebutuhan hidup yang sangat rumit untuk digapai.
“Tidak ada penindasan yang begitu berat atau bertahan lama seperti penindasan yang dilakukan oleh penyimpangan dan keterlaluan otoritas hukum” (Joseph Addison). Jika hukum hanya menjadi obyek penguasa, maka revisi UU apa pun hanya untuk memenuhi hasrat mereka.
Sejak dulu, narasi tentang kebebasan berpikir dan berpendapat telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Uniknya, aktivitas mengeluarkan pendapat ini juga muncul dari pemikiran para ulama. Salah satunya adalah Kiai Hasan Al Bana, yang hidup pada masa penjajahan Mesir oleh Inggris.
Penulis sangat tertarik dengan berbagai pemikiran Hasan Al Bana, sebab karya-karya otentiknya selalu saja unik. Unik, karena selalu membuat terobosan pemikiran dengan metode anti mainstream. Unik, karena selain seorang guru yang mengajarkan ilmu, ia juga adalah seorang aktivis gerakan Islam di masa penjajahan yang juga ternyata aktif menuliskan pemikiran-pemikirannya.
Salah satu karyanya adalah tafsir praktis yang beliau susun agar masyarakat dapat memahami Al Qur’an dengan cara paling mudah dan sederhana. Tafsir ini memuat pesan-pesan inti dalam Al Qur’an tetapi tetap memberikan nuansa ruh yang amat mendalam, sehingga manusia mengetahui hikmah dan hukum secara global. Kecerdasannya membuat dia mampu menyederhanakan konsep besar.
Bukan hanya itu. Bukunya yang berjudul “Risalah Pergerakan” juga menjadi panduan yang fenomenal bagi para aktivis di berbagai penjuru dunia. Keterpesonaannya terhadap Al Qur’an dan hadits menjadikan ia membuat karya-karya yang menguraikan banyak persoalan dan perihal kehidupan dari mulai membangun diri hingga konsep membangun negara.
Interaksi dan pemahaman beliau dengan Al Qur’an membuat integritas intelektualnya tampak pada kemampuan dia memadukan secara proporsional antara emosi dan rasio serta konsistensinya pada gerakan-gerakan penyadaran secara kolektif melalui pemikiran Islam yang disyiarkan lewat majalah dan surat kabar saat itu. Kiai Hasan Al Bana membela kebebasan berpikir dan menganggapnya sebagai hak paling penting. Dia berkata, “Kemanusiaan adalah kebebasan. Tidak ada kemanusiaan tanpa kebebasan. Kebebasan adalah pondasi dasar bagi semua perbaikan. Tugas Islam adalah membebaskan manusia dari pengaruh hawa nafsu, harta, kedudukan, dan kekuasaan, hingga tujuan murni hanya kepada Allah dan tidak ada yang disembah selain Dia.”
Kebebasan dalam pemikirannya adalah kebebasan asasi yang berlandaskan teologi, berlandas Islam sebagai sistem yang mengatur segalanya. Tidak hanya berjuang melalui tulisan, Kyai Hasan dan teman-temannya yang tergabung dalam organisasi Ikhwanul Muslimin juga bergerak dalam bidang sosial semisal membangun sekolah, masjid, klinik kesehatan, rumah sakit, dan sebagainya. Organisasi ini memiliki 300 cabang di Mesir dan mampu menggerakkan partisipasi masyarakat Mesir untuk ikut membangun Mesir di atas kaki sendiri.
Hal itu mengingatkan penulis dengan organisasi Islam Muhammadiyah yang tidak hanya membangun Indonesia lewat literasi tetapi juga gerakan-gerakan sosial, tidak hanya di dalam negeri bahkan luar negeri. Sekolah pertama yang dibangun oleh KH Ahmad Dahlan bermula dari ruang tamu kecil beliau. Tetapi semua perjuangan memang berawal dari yang kecil dan sedikit, dengan mimpi dan cita-cita yang tak pernah kecil dan sedikit.
Majalah pertama yang diterbitkan adalah Majalah Mingguan Al Ikhwan Al Muslimun pada 10 Juni 1933 yang memuat tafsir Al Qur’an. Tafsir ini menjadi satu awalan yang baik, karena menyenangkan untuk dibaca dengan kemampuan Kiai Hasan Al Bana menyederhanakan konsep dan membuat tulisan mudah dipahami. Majalah kedua hadir lima tahun kemudian, bernama An Nidhal, pada 15 Mei 1938.
Majalah An Nidhal hanya bertahan lima edisi, kemudian diganti majalah An Nadzir yang mulai memasukkan muatan berbau politik lebih banyak. Sebab, Kiai Hasan memang sangat menentang penjajahan di muka bumi. Jika kita mengingat sejarah, kita akan dibuat kagum bagaimana tokoh perjuangan Indonesia semisal H. Agus Salim, Bung Syahrir, Mr. Nazir Pamoentjak, DR. HM. Rasyidi, dan M. Zein Hasan, menyampaikan rasa terima kasih bangsa Indonesia ke hadapan Kiai Hasan Al Bana di kantor pusat Ikhwanul Muslimin, atas sokongan yang besar bagi kemerdekaan Indonesia. Bagi Kiai Hasan, hal ini semata karena kecintaannya pada nilai kemanusiaan yang universal serta loyalitas mendalam pada dunia Islam dan ukhuwah Islamiyah.
Ada sebuah syair yang sering Kiai Hasan sitir, yaitu sebagai berikut :
Tak kukenal tanah air selain Islam
Ada Syam di sana dan lembah Nil semacam
Setiap negeri tempat nama Allah diseru
Seluruh penjurunya kuhitung bagian relung negeriku
Di dalam majalah An Nadhir yang berdiri pada 30 Mei 1938 memang mulai kental dengan bahasan politik. Kiai Hasan menafsirkan surat At Taubah ayat 1-16. Yang mendorongnya adalah keinginan dia mengingatkan kaum muslim akan kemuliaan Islam pada level negara serta membandingkan sikap Italia dan Inggris dalam perlawanan pertama terhadap Ethiopia. Mereka menyerang Ethiopia dengan kelicikan dan pengkhianatan.
Tidak hanya tafsir At Taubah, Kiai Hasan juga menafsirkan surat Ali Imran, An Nisa, dan An Nuur. Di dalam An Nadzir, Kiai Hasan mulai menajamkan pemikirannya pada kehidupan politik terutama di Mesir. Beliau katakan di majalah tersebut bahwa organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) akan membawa dakwah kepada para pemimpin, pejabat, menteri, hakim, syaikh, anggota parlemen dan partai di negeri Mesir. IM hanya ingin menawarkan agar mereka mnyambut dakwahnya dan membangun Mesir bersama rakyat. Sebagaimana ungkapan “Wakanda No More, Indonesia Forever” tentu hanya akan terjadi jika tidak ada intimidasi untuk mengeluarkan pendapat dan rakyat juga mendapat kesempatan yang adil untuk berpartisipasi membangun negeri.
Adanya kritik yang cukup tajam kepada pejabat publik Mesir baik melalui majalah dan ceramah tak lantas menjadikan organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) masuk dalam aktivitas politik praktis. Ini mungkin dikarenakan fitnah yang dilancarkan para musuh Islam dan penjajah bahwa IM mulai partisan. Lagi pula saat itu partai politik hanya sering bertikai dan menebar dendam politik karena hasrat dan ambisi pribadi. Hanya satu tahun saja kemudian majalah An Nadhir diganti menjadi majalah Al Manar. Hal ini juga dikarenakan pendiri majalah Al Manar, Sayyid Rasyid Ridha meninggal dunia tahun 1935. Pada edisi ke-35, Hasan Al Bana membeberkan metodenya menyelesaikan tafsir Al Manar.
Majalah selanjutnya juga tak kalah menarik. Ia adalah majalah yang berdiri di masa-masa sulit dan ujian berat. Ujian yang diatur oleh para musuh Islam dan dilaksanakan oleh orang-orang berjiwa lemah dan khianat di dalam negeri Mesir. Hasan Al Bana mengumumkan kondisi sulit ini dan terus melanjutkan majalah selanjutnya, yaitu majalah mingguan Ikhwanul Muslimin yang berdiri pada 29 Agustus 1942.
Di tahun kelima, edisi ketiga puluh lima, 6 September 1947, Kiai yang lahir di desa Mahmudiyah 6 Oktober 1906 ini menulis artikel dengan judul At Ta'atstur (Keterpengaruhan). Di dalam artikel ini, dia menjelaskan tafsir surat At Taubah. At Taubah menggambarkan semua komunitas manusia dan posisinya. Tafsir ini benar-benar menjadi obat bagi kondisi ujian dakwah kala itu.
Kiai Hasan adalah orang yang sangat lihai dalam memposisikan ayat-ayat Al Qur’an di tengah peristiwa dan kondisi dakwah saat itu. Majalah yang ia dirikan bukan hanya sebagai pencerahan terhadap masyarakat, tetapi lebih khusus bagi para aktivis dakwah yang sedang mengalami tekanan kuat di masa penjajahan kala itu. Sebagaimana di Indonesia, para ulama yang lurus juga banyak mengalami ujian berat dengan fitnah bertubi-tubi. Ada yang melarang mereka berceramah dengan alasan radikalisme, terorisme, aliran wahabi, dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga pernah mengalami ancaman fisik.
Majalah terakhir yaitu majalah As Syihab yang didirikan 14 November 1947. Majalah yang didirikan dua tahun sebelum Kiai Hasan dibunuh dengan tujuh tembakan oleh penembak dari kalangan penjajah di 12 Februari 1949. Tentu kematiannya sangat dirayakan oleh para pembenci Islam, terutama para penjajah. Mereka merasa telah menghentikan geliat dakwah dengan membunuh Hasan Al Bana. Padahal, pemikiran dan dakwahnya telah merasuki sekian juta umat dan para aktivis.
Begitulah akhir hidup seorang ulama besar yang sejak berusia 12 tahun sudah hapal Al Qur’an dan ajarannya menginspirasi dunia di lebih dari 70 negara. Dia adalah jurnalis sejati, yang menghidupkan penyiaran Islam menjadi wadah edukasi dan perjuangan keluar dari penjajahan sekaligus. Ada 18.000 bait puisi Arab dan prosa yang dihapalnya saat remaja, tentu jadi bekal tambahan yang tidak main-main selain hapalan Al Qur’an dan hadits dengan jumlah setara. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam, sekaligus pendiri dan pimpinan organisasi Ikhwanul Muslimin di saat usinya belum genap 22 tahun, salah satu organisasi revivalis Islam terbesar dan paling berpengaruh pada abad ke-20. Abad di mana para aktivis dan ulama mulai menjadi orang-orang yang melemah jiwanya, tergadai imannya, tunduk pada materi dan kekuasaan, hengkang dari arena dakwah, dan khianat kepada saudara. Bukankah hal ini sudah terjadi di masa kita saat ini, bahkan jumlahnya semakin banyak saja? Maka benar, bahwa ujian dan pelajaran akan Allah pergilirkan di tiap tempat dan zaman.
Tak ada yang lebih indah dari perkataan yang baik. Perkataan yang menggugah kedalaman jiwa dan menggerakkan amal. Di dalam QS Ibrahim ayat 24-25, Allah berfirman, “Perumpamaan kalimat baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Maka menghidupkan media penyiaran Islam adalah salah satu upaya untuk menguatkan akar keyakinan, cabang-cabang amal, dan buah-buah manis kejayaan peradaban umat. Penulis yakin, semua bentuk penjajahan di muka bumi bertentangan dengan ajaran agama mana pun, termasuk nilai-nilai kemanusiaan. Maka, selalu dalam bimbingan agama untuk membangun diri hingga negara, adalah keputusan yang paling tepat. Lalu, apakah saat ini kita sudah merdeka? Jawabannya hanya ada di dalam nurani kita yang lurus.
Referensi:
- Memoar Hasan Al Bana
- Tafsir Hasan Al Bana
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!