Istilah Idul Fitri dan Lebaran punya sisi berbeda. Yang disebut pertama lebih punya sisi keagamaan, yang kedua memiliki sisi kebudayaan. Dari tahun ke tahun, saya kira telisik lebaran dalam perspektif kebudayaan tak terlalu mendatangkan hal baru. Lebaran, terus dirayakan dari tahun ke tahun, seolah menjadi rutinitas begitu saja. Saya kira, agar tak kehilangan makna, ada baiknya lebaran ini dimaknai Kembali, sehingga kita dapat merasakan penyegaran.
Saya akan coba menelisik lebaran dalam perspektif kebudayaan Jawa. Lebaran, bagi masyarakat Jawa, adalah semacam “Ruang Kebudayaan”. Di era dakwah Wali Songo, saya rasa kebudayaan yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat juga tak lepas dari nilai-nilai Islam. Nilai Islam itu lantas menjadi nilai yang coba dihadirkan untuk mewarnai kehidupan masyarakat. Jadi, terus mempertentangkan antara kebudayaan (Jawa) dan Islam pasca era Wali Songo menjadi kurang relevan.
Lihat saja bagaimana istilah “lebaran” juga dihubungkan dengan istilah-istilah lain untuk membangun spirit kebudayaan yang berkeislaman. Jadi, di era pertumbuhannya, muslim Jawa adalah seorang muslim yang akrab dengan kebudayaan, bukan yang antipati terhadap kebudayaan. Tentu kebudayaan yang dimaksud adalah yang berbasis tauhid. Pokok Islam itu sendiri.
Maka, kebudayaan lebaran, menjadi sangat memungkinkan ditafsirkan melalui ajaran Islam itu sendiri. Nah, kali ini, saya akan coba telisik kebudayaan lebaran versi orang Jawa, dengan spirit keislaman yang menjadi basis bangunan awal, seperti yang sangat mungkin dikehendaki oleh pendakwah Wali Songo. Coba kita telisik.
Pertama, laburan. Jelang lebaran, orang Jawa – misalnya saya teringat waktu kecil ketika rumah masih berdinding dari bambu – kita sama-sama melabur (mengecat rumah) dengan batu gamping berwarna putih. Hal itu sebagai simbol kembali kepada kesucian (putih), kembali ke fitrah. Secara fisik semacam itu. Tetapi, secara semiotik, sebenarnya hal ini sebagai pertanda bahwa hati kita kudu siap kembali ke fitrah juga. Memaafkan semuanya. Menurut istilah sekarang, “kembali ke nol lagi”. Tak ada lagi dendam, tak ada lagi kebencian. Yang ada adalah hati yang baru untuk satu tahun ke depan.
Baca juga: Pebisnis Muslim, Hindari Enam Hal Ini
Kedua, luberan. Dari kata meluber yang berarti keberlimpahan. Bukan berarti kaya raya. Akan tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada. Dengan selalu merasa cukup, maka sedekah menjadi enteng dilakukan. Setelah shalat id, biasanya keluarga muslim Jawa sama-sama membawa tumpeng dalam nampan yang berisi nasi tumpeng, sayur dan lauk pauk. Dimakan sama-sama di pelataran masjid. Tumpeng sendiri awalnya sebagai bentuk memuliakan gunung-gunung, tetapi setelah Islam datang filosofinya menjadi sedikit berbeda, yaitu bagaimana kehidupan tak sekadar baik hatinya seperti aliran kejawan, tetapi layaknya tumpeng, semuanya mengerucut pada Yang Satu (Allah Swt), sebuah spirit tauhid yang tentu saja berkorelasi pada syariat lanjutannya semisal salat dan seterusnya. Singkatnya, orang tak cukup merasa baik dan mau berbagi saja, tetapi juga bertauhid dan menjalankan syariat-syariat-Nya.
Ketiga, leburan. Yang ini agak menuju ke hal yang lebih dalam. Sisi makrifat, bagaimana mengenal Allah Swt dengan sepenuh hati. Manusia yang melebur akan mengikuti maunya Allah. Hanya saja, filosofi leburan kalau salah-salah tafsir sering kepleset pada ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” yang sudah dikoreksi Wali Songo. Ajaran ini konon diperkenalkan oleh Syech Siti Jenar, yang salah satu ajarannya tentang menyatunya Tuhan dalam diri manusia.
Di dalam Islam, untuk masalah-masalah kemanusian lain mungkin boleh berbeda pendapat, tetapi kalau sudah masuk urusan teologi, harus pasti benar karena menyangkut urusan surga dan neraka. Itu sebabnya, Wali Songo mengritik konsep wahdatul wujud (manunggaling kawulo gusti) ini. Bagaimana bisa manusia begitu percaya diri bahwa dirinya sangat dekat dengan Tuhan, sampai mengganggap Allah Swt (Tuhan) bersemayam dalam dirinya? Itu ajaran yang keliru. Bagaimana pun juga, manusia tetap makluk, dari tidak ada menjadi ada.
Di dalam masyarakat Jawa, era sebelum Wali Songo (Islam), memang boleh dikatakan falsafahnya tidak mengenal konsep dosa atau bahkan konsep keselamatan yang berkaitan dengan “surga” dan “neraka” seperti pemahaman yang umum diterima dalam agama-agama Abrahamik semisal Yahudi, Kristen, maupun Islam. Itu sebabnya, adalah wajar ketika orang Jawa merasa hidup baik saja sudah cukup, tidak menyakiti orang lain dan seterusnya. Lain halnya dengan ketika Islam mulai diperkenalkan. Hadir prinsip pokok dalam agama (Islam), ketauhidan yang dalam kehidupan orang Jawa sudah ditekankan oleh Wali Songo. Plus syariat Islam lain yang mengikutinya. Jadi, misalnya merasa baik saja tetapi tidak melaksanakan shalat, tentu tidak cukup.
Pada perkembangan selanjutnya, di era kekinian, menjadi penting menjawab apakah muslim Jawa sudah bertransformasi sedemikian rupa menjadi sosok muslim dengan sentuhan baru? Pertanyaan lain: Bagaimana corak keberagaman seorang muslim Jawa sekarang? Apakah, misalnya, masih akrab dengan keberadaan kebudayaan yang terus berkembang, atau sebaliknya, justru kehilangan identitas keberagamaannya ketika sekian lama hidup di kota dengan sentuhan “modernitas” yang tak lepas dari tradisi “Barat” atau pemikiran dan corak keberagamaan “Timur Tengah”? Tentu ini menjadi isu lain yang perlu dipotret.
Baca juga: Membaca Gerak Politik Mr. Erdogan di Gaza
Satu hal yang pasti. Refleksi singkat ini membawa saya ke sebuah istilah yang pernah dikumandangkan dan perlu ada kritik, yaitu “Keislaman yang Berkebudayaan”. Seolah Islam terlepas dari kebudayaan dan anti kebudayaan. Saya kira, sebagai muslim Jawa dengan spirit dakwah Wali Songo, yang benar adalah “Kebudayaan yang Berkeislaman”. Yaitu bagaimana seorang muslim Jawa tidak antipati terhadap kebudayaan, tetapi tetap peduli, merawat, dan mengembangkan kebudayaan (Jawa). Terutama, tentu kebudayaan yang selaras kita lestarikan dan kembangkan. Sedangkan yang tidak atau belum, dikoreksi agar selaras dengan keberagamaan (Keislaman) itu sendiri.
Hal ini menjadi dasar bagi pengembangan dakwah kultural berbasis kebudayaan dengan spirit keislaman. Sama seperti konsep laburan, luberan, dan leburan itu. Bagaimana tradisi melabur secara fisik boleh-boleh saja tetap dilakukan, tetapi makna amalnya adalah melabur hati kita agar kembali suci putih bersih sesuai fitrah.
Luberan dalam tradisi tumpengan setelah shalat id tetap dilakukan, tetapi juga tak meninggalkan spirit berbagi dalam dimensi keislaman lewat infak, sedekah, zakat, dan terutama wakaf. Leburan, yang ini khusus bermakna filosofis yaitu meleburkan dosa dengan meminta ampunan kepada Allah dan saling memaafkan antar sesama, lantas mendekatkan diri kepada Allah dengan beragam amal ibadah.
Puncaknya, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Saya rasa, kalau kita kaji pelan-pelan dengan hati yang jernih. filosofi dan tafsir lebaran dalam perspektif kebudayaan ini ternyata selaras dengan nafas keislaman itu sendiri. Sebuah wajah kebudayaan dengan spirit keberagamaan yang unik, simbolik, khas, harmonis, dan berketuhanan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!