Kejadiannya sudah beberapa hari berlalu. Namun, media dan analis masih saja memamah biak peristiwa tersebut dengan berbagai bumbunya. Sementara itu, nasib makanan yang disantap oleh dua tokoh itu tidak ada yang peduli. Apalagi memberitakannya. Entah telah jadi apa makanan tersebut setelah melewati waktu lebih dari dua hari ini.
Makan bareng adalah peristiwa biasa. Tetapi makan bareng yang dijalani dua orang berpangkat Presiden memang layak diberitakan. Yang satu bertitel sebagai Presiden terpilih, yang satunya berpangkat sebagai Presiden yang akan segera mengakhiri masa baktinya. Wartawan mana pun pantas memburu peristiwa tersebut.
Tetapi, yang pertama kali mewartakan peristiwa itu malah bukan wartawan. Justru Presiden Jokowi sendiri melalui akun Instagram pribadinya.
“Diskusi santai sambil santap malam bersama Presiden Terpilih Pak @prabowo. Tidak terasa dua jam lebih,” begitulah bunyi caption unggahan Presiden Jokowi tersebut. Lalu, awak media ramai-ramai mengutipnya, menganalisis, dan tentu saja menebak-nebak apa gerangan isi perbincangan di sela makan bersama itu.
Lalu berhamburanlah aneka judul berita. Ada yang menuliskannya sebagai “Jokowi Makan Malam Bareng Prabowo Dua Jam”. Ada juga yang menulis “Jokowi Akui Bahas Politik Saat Makan Bareng Prabowo”. Yang lain menuliskannya dengan redaksi “Jokowi Unggah Makan Malam Bersama Prabowo”. Dan seterusnya.
Berita yang sama dengan judul dan analisis yang berbeda. Umumnya media mengaitkan peristiwa tersebut dengan topik politik. Hal itu bisa dipahami, mengingat keduanya adalah tokoh politik yang bertemu dalam radius yang cukup pendek dengan momen politik dan kenegaraan yang amat penting; peralihan kekuasaan. Apa lagi jika bukan membahas agenda politik?
The Last Supper
Aku sepakat saja dengan para analisis terkait tebakan mereka tentang percakapan yang mungkin terjadi di antara keduanya. Hanya saja, melihat foto dan judul beritanya, entah mengapa pikiranku justru tersangkut pada lukisan ikonik yang sangat bersejarah karya seniman jenius, Leonardo da Vinci, berjudul “The Last Supper”. Lukisan itu sendiri bahkan telah menginspirasi banyak judul novel dan film di seluruh dunia.
Tidak ada pihak yang memastikan secara akurat, kapan karya besar itu dibuat dan kapan selesai pembuatannya. Namun, kalangan peneliti lukisan memberikan prediksi bahwa lukisan tersebut telah mulai digarap sang maestro sekitar tahun 1495 – 1496 M.
“The Last Supper” yang kerap diterjemahkan sebagai “Perjamuan Terakhir”, sesungguhnya merujuk pada keyakinan umat Kristiani terkait malam terakhir Yesus dengan dua belas muridnya (Rasul dalam iman Kristiani). Di dalam momen makan malam itulah, Yesus mengungkapkan kepada para muridnya bahwa salah seorang di antara mereka akan mengkhianati dirinya. Menurut keyakinan Umat Kristiani, keesokan harinya Yesus ditangkap oleh tentara Romawi dan kemudian disalib di Yerussalem (versi Islamnya, Nabi Isa tak pernah disalib).
Lukisan “The Last Supper” karya besar da Vinci mencoba menceritakan detail ekspresi dan situasi batin para murid Yesus, setelah ia mengabarkan tentang adanya pengkhianatan itu. Lukisan tersebut dirampungkan oleh Leonardo da Vinci dalam waktu 7 tahun. Bahkan ada yang menyebut proses penyelesaiannya hingga 25 tahun.
Da Vinci memerlukan survei yang sangat serius untuk mencari orang yang akan dijadikan sebagai model yang dapat mewakili karakter dan psikologi-batin masing-masing tokoh dalam gambar. Termasuk untuk sosok Yesus yang menjadi fokus utama gambar tersebut.
Model pertama yang dicari oleh da Vinci adalah sosok yang bisa mewakili penggambaran dan karakteristik Yesus. Dilanjutkan mencari dua belas model untuk muridnya. Nah, ada kisah menarik yang beredar di kalangan umat Kristiani. Salah satunya tertulis dalam web Sathora.or.id dengan titel “Sejarah Lukisan The Last Supper”. Di dalam artikel itu, da Vinci diceritakan menemukan sosok pemuda 19 tahun yang ia anggap cocok untuk mewakili karakteristik wajah Yesus. Tampan, bersih, dan terlihat tanpa dosa.
Setelah merampungkan lukisan sosok Yesus dengan model pemuda tersebut, da Vinci melakukan hal serupa untuk 12 murid Yesus. Hal inilah yang membuat lukisan itu butuh waktu bertahun-tahun dalam penyelesaiannya.
Hingga tibalah saat untuk melukis sang pengkhianat, Yudas Iskariot. Da Vinci memiliki penggambaran tentang sosok ini sebagai orang yang buruk. Cukup sulit untuk menemukan sosok yang menggambarkan Yudas. Hingga akhirnya ia menemukan seorang pelaku kriminal di sebuah penjara yang mewakili citra Yudas sebagaimana dibayangkannya. Pria bungkuk, dengan wajah gelap dan terlihat penuh derita.
Singkatnya, da Vinci memperoleh izin untuk menjadikan narapidana tersebut sebagai model. Ia pun melukis pria itu untuk mewakili sosok Yudas. Saat proses pengambilan gambar selesai, tanpa disangka-sangka pria yang ia gambar itu berkata, “Tahukah tuan, dua puluh lima tahun yang lalu sesungguhnya tuan telah membawa saya ke studio ini, untuk menjadi model lukisan sosok Yesus?”
Betapa terperanjatnya da Vinci. Ia ingat sosok pemuda suci usia 19 tahun yang dulu tampan, bersih, dan terlihat suci. Kini ia telah berubah, akibat pilihan hidup yang diambilnya! Ya, waktu dan hasrat telah mengubahnya.
Sekali lagi, ini hanyalah kisah yang populer di kalangan umat Kristiani. Kebenaran ceritanya mungkin masih perlu ditelisik kembali. Namun, ada ibroh yang dapat kita ambil, bahwa nasib seseorang bisa berubah dalam rentang waktu. Tadinya pecundang, bisa menjadi juara. Tadinya lugu dan polos, bisa berubah menjadi licik dan tamak. Dan banyak hal lagi. Allah Swt membolak-balikkan hati, Allah Swt pula yang mempergilirkan segala sesuatu di alam ini.
“The Last Supper” adalah makan malam terakhir antara Yesus dan muridnya. Akankah “Santap Malam Bersama Presiden Terpilih” menjadi makan malam terakhir antara Jokowi dan Prabowo? Mungkin saja, dalam posisi mereka sebagai Presiden dan Presiden terpilih.
Atau akankah ini menjadi “cawe-cawe terakhir”?
Wallahu a’lam.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!