Invasi Intelektual dan Media Barat:
Di era modern ini sudah jelas pentingnya media dan pengaruhnya yang mendalam dalam membentuk kesadaran masyarakat serta mengarahkan opini publik. Di era ini, umat Islam jelas menghadapi serangan yang bertujuan untuk mendistorsi Islam, merusak sejarahnya yang gemilang, dan menggoyahkan fondasi peradabannya. Sayangnya, perang dan serangan itu tidak hanya dilancarkan oleh Barat. Yang paling bahaya adalah dari internal Islam sendiri, mereka yang berbicara dalam bahasa kita.
Orientalis Inggris, Hamilton Gibb, menarik perhatian pada fenomena ini sejak awal, ketika ia berkata dalam bukunya, "The Islamic World's Direction". "Sekolah dan lembaga tidaklah cukup, mereka hanya langkah pertama. Perhatian harus diarahkan untuk menciptakan opini publik, dengan mengandalkan pers; Itu adalah alat Eropa yang paling kuat untuk memengaruhi dunia Islam. Sebagian besar direktur surat kabar nasional adalah kaum progresif, dan media massa didominasi oleh kalangan sekuler," tulisnya.
Peringatan ini menunjukkan kesadaran awal mereka akan pentingnya media dalam membimbing masyarakat dan mengendalikan kesadaran mereka. Di dalam konteks yang sama, seorang ahli teori komunikasi Tiongkok mengatakan, “Perang media adalah seni kemenangan tanpa perang”.
Namun, dia menambahkan, “Perang ini hanyalah langkah awal yang diperlukan untuk mencapai kemenangan. Jika gagal mencapai tujuan, media harus menyiapkan iklim yang tepat untuk melancarkan perang militer, dengan harapan mencapai kemenangan akhir”.

Cukuplah untuk menunjukkan keseriusan invasi media intelektual ini, laporan resmi mengungkapkan bahwa Amerika Serikat mengalokasikan ratusan juta dolar setiap tahun untuk mendanai media yang ditujukan ke dunia Arab, termasuk saluran berbahasa Arab, Alhurra, yang dikelola oleh Middle East Broadcasting Networks (MBN) di bawah pengawasan Badan Media Global AS (USAGM). Menurut laporan resmi, anggaran tahunannya untuk tahun 2024 berjumlah sekitar $ 132 juta, di samping alokasi cadangan untuk krisis.
Dukungan finansial dan moral terus dikucurkan pada media Barat di dunia Islam, dalam bentuk propaganda untuk memalingkan umat dari identitas keislamannya, serta lupa budaya tanah air maupun norma adat setempat, sehingga diarahkan untuk ikut ke dalam westernisasi dan budaya asing.
Perang Media dan Informasi, tak kalah Bahaya dengan Senjata
Media berperan penting dalam menyediakan informasi dan fakta kepada masyarakat tentang apa yang sedang terjadi di dunia. Dari situlah kemudian mereka menentukan sikap dan membuat keputusan untuk bertindak.
Media punya dua sisi. Sisi positif yang diwakili oleh kesadaran yang berkembang di kalangan masyarakat Islam dengan menyebarkan nilai-nilai serta syiar Islam, dan sisi negatif yang muncul ketika media Barat menyebarkan propaganda menyesatkan, sebagai alat untuk menyusupkan nilai-nilai dan keyakinan sesat ke dalam masyarakat. Akibatnya, generasi menjadi hilang nilai dan jati diri keislaman.
Salah satu aspek yang paling berbahaya dari invasi intelektual media adalah cuci otak melalui program hiburan dan dialog politik yang tampak tidak berbahaya tetapi sebenarnya sarat dengan pesan merusak dan mendistorsi prinsip-prinsip Islam.
Di era dominasi media Barat, pertempuran tidak lagi terbatas pada medan perang, tetapi telah meluas lebih jauh dari itu, yaitu ideologi dan konsep. Musuh-musuh Islam telah menyadari bahwa kemenangan tidak dapat diraih melalui pendudukan militer semata, tetapi justru memerlukan infiltrasi ideologi ke dalam masyarakat serta mendistorsi ajaran agama. Itulah sebabnya mereka menjadikan media sebagai senjata utama dalam perjuangan intelektual mereka melawan negara Islam.
Media dalam sistem barat tidaklah netral. Ia adalah alat yang lembut dan terkadang kotor yang digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan menyesatkan orang, dengan tujuan merusak dasar-dasar Islam dan mendistorsi penerapan hukum Islam. Hal itu seperti yang kita lihat di Afghanistan setelah berdirinya rezim Islam.

Senjata media ini disajikan dengan kedok palsu “kebebasan", “hak asasi manusia", dan “demokrasi”. Padahal, ia merupakan medan pertempuran intelektual yang berkobar, yang berusaha mengubah umat Islam dari pejuang perlawanan yang berani menjadi komparador dan inlander. Dan dari pejuang yang berdedikasi bagi negara dan tanah air mereka menjadi pengekor Barat, yang mengabaikan identitas dan kesetiaan kepada agama.
Di dalam bukunya, "Soft Power: The Ways to Success in World Politics", yang diterbitkan pada tahun 2004, pemikir Joseph Nye mengatakan, "Pertempuran tidak dapat dimenangkan hanya di medan perang. Sebaliknya, pemenang dalam perang adalah mereka yang narasi medianya memenangkan pertempuran”.
Sepanjang sejarahnya yang panjang, negara Islam telah berjuang dalam banyak pertempuran militer. Tetapi kini, negara Islam menghadapi pertempuran yang lebih berbahaya yaitu pertempuran identitas, keimanan, dan kesadaran. Pertempuran yang diperjuangkan bukan dengan peluru dan bom, tetapi dengan ide, gambar, kata-kata, dan layar.
Saat ini, musuh tengah menyusup ke rumah dan pikiran kita atas nama budaya, dengan dalih media, dan di bawah panji kemajuan dan pencerahan, dalam upaya putus asa untuk membentuk kembali kesadaran bangsa dan mendistorsi identitasnya.
Hegemoni Media Barat di Afghanistan: Senjata Lunak Penjajahan
Ekspedisi salib yang gagal di Afghanistan tidak terbatas kekuatan militer saja, tetapi juga disertai senjata yang lebih berbahaya, yaitu media massa. Sejak pasukan penjajah Amerika Serikat dan sekutunya menginjakkan kaki di tanah Afghanistan, mereka membawa serta perangkat media yang didanai dan diarahkan secara politik, semisal Radio “Voice of America”, “BBC”, dan “Radio Azadi”. Media itu menyebarkan narasi beracun yang bertujuan untuk merusak citra para mujahidin, melemahkan kesadaran rakyat, serta menyebarkan sekularisme, demokrasi, dan dekadensi moral.
Media tersebut merupakan bagian dari proyek penjajahan intelektual dan kultural yang bertujuan menghapus identitas Islam Afghanistan, dan menciptakan generasi westernis sekuler. Siaran berita harian mereka bukanlah informasi netral, acara dialog mereka bukanlah wacana yang obyektif, melainkan panggung untuk memasarkan konsep “demokrasi”, menyebarkan ide-ide destruktif, dan menampilkan Muslim mujahid sebagai “ekstremis berbahaya” yang harus diberantas dan dibasmi.
Di dalam sebuah kuliah terkenalnya yang disampaikan tahun 2012, Profesor Amerika Max Manwaring menyarankan secara langsung kepada para komandan militer Barat untuk mengadopsi “metode pertempuran modern”, beberapa di antaranya berada dalam ranah media. Ia menyatakan, “dengan menerapkan metode-metode ini secara konsisten, musuh akan terbangun suatu hari nanti dan mendapati dirinya telah mati, tanpa kita perlu melepaskan tembakan”.
Bagaimana Imarah Islam Afghanistan Melawan Penjajahan Intelektual dan Media?
Imarah Islam Afghanistan sejak awal memahami bahwa penjajahan tidak hanya berupa pendudukan militer langsung, tetapi juga penjajahan pikiran, melalui infiltrasi para agen dalam masyarakat. Oleh karena itu, salah satu prioritas utama setelah kemenangan adalah membongkar perangkat media musuh yang selama dua dekade telah menebarkan racun dalam benak rakyat Afghanistan, dan menutup stasiun-stasiun radio yang mencurigakan, yang selama ini menyebarkan fitnah di tengah masyarakat.
Hari ini, pertempuran tidak lagi hanya dengan senjata, tetapi telah menjadi perang pemikiran, citra, dan kesadaran. Maka, jika ingin menjaga eksistensi agama dan peradaban kita, haruslah melindungi generasi dari media perusak pemikiran ini.
Begitu Imarah Islam mengambil alih kekuasaan dan mendirikan sistem pemerintahan Islam di Afghanistan, mereka segera bergerak untuk membongkar alat-alat media penjajahan yang selama dua dekade telah menyebarkan racunnya dalam pikiran umat Islam. Media semisal Voice of America, Radio Azadi, dan BBC, telah bekerja siang dan malam untuk mencemarkan jihad, menyebarkan perpecahan, serta membentuk mentalitas tunduk yang menerima penjajahan dan membenci jihad.
Namun, Imarah tidak tinggal diam. Imarah bergerak dengan tekad dan kesadaran Islam, menyadari bahwa mengelola ruang media adalah bagian dari kedaulatan nasional di setiap negara, dan bahwa siapa yang menguasai dan mengelola media, dialah yang menguasai generasi.
Maka, keluarlah keputusan tegas dari pimpinan Imarah Islam untuk menutup stasiun-stasiun informasi musuh, menghentikan siarannya, dan menindak siapa pun yang menyebarkan narasi yang bertentangan dengan syariat dan nilai-nilai asli Afghanistan, meski pun dengan label lokal. Imarah juga menetapkan aturan-aturan syariat untuk melindungi masyarakat Islam dari penyimpangan pemikiran, serta melarang konten yang memromosikan pemikiran Barat yang telah kalah di Afghanistan.
Pada saat yang sama, Imarah tidak hanya melakukan pelarangan, tetapi juga mendukung media alternatif yang bersifat jihad, yang mencerminkan akidah jihad dan menyampaikan kebenaran dari dalam Afghanistan dengan gaya yang profesional, modern, dan sesuai dengan syariat Islam.
Dengan demikian, media yang sebelumnya merupakan medan yang terbuka tanpa penjaga yang setia kepada agamanya dan bangsanya, kini telah berubah menjadi barisan depan dalam pertempuran kesadaran dan melawan narasi palsu penjajahan, sejajar dengan barisan militer di medan perang.
Ditulis oleh: Abdul Hafeez Ali Tahlil
Diterjemahkan dan disunting oleh: Anshari Taslim
Sumber: Majalah Ash-Shumud edisi 234.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!