Penduduk miskin Indonesia melonjak menjadi 194,4 juta jiwa atau 68,91 persen dari total populasi, setelah Bank Dunia mengubah metode penghitungan garis kemiskinan dari standar purchasing power parity (PPP) 2017 ke PPP 2021.
Bank Dunia memerbarui standar garis kemiskinan internasional per Juni 2025 dengan menetapkan garis kemiskinan baru bagi negara berpendapatan menengah atas - yang di dalamnya ada Indonesa - sebesar 8,30 dolar per orang per hari. Naik dari sebelumnya yang 6,85 dolar per hari. Sementara itu, garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan rendah naik dari 2,15 dolar menjadi 3 dolar per hari, dan untuk negara menengah bawah naik dari 3,65 dolar menjadi 4,20 dolar per hari.
Ada pun total populasi Indonesia yang digunakan sebagai acuan untuk menghitung penduduk miskin mencapai 285,1 juta jiwa, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Tetapi, walau pun data yang digunakan sama, yaitu Susenas 2024, data Bank Dunia tersebut berbeda jauh dengan penghitungan kemiskinan versi nasional. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2024 "hanya" 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen dari total populasi.

Reaksi publik beragam dalam menanggapi perbedaan data tersebut. Ada yang membela BPS dan tak sedikit pula yang menuding pemerintah menyembunyikan data kemiskinan demi kepentingan legitimasi keberhasilan kinerja.
Yang pasti, melonjaknya angka kemiskinan Indonesia akibat perubahan garis kemiskinan internasional versi Bank Dunia harus dilihat sebagai sinyal serius bahwa kualitas hidup sebagian rakyat Indonesia masih rapuh dan belum terlindungi secara layak oleh sistem ekonomi nasional. Perubahan ini harus dibaca sebagai alarm keras bagi para pembuat kebijakan agar bertindak lebih progresif dan berani dalam menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat miskin.
Program penanggulangan kemiskinan saat ini masih didominasi oleh model ekspansi bantuan sosial sebagai instrumen utama. Secara statistik, hal ini menunjukkan hasil: angka kemiskinan berhasil ditekan dan masyarakat miskin memiliki bantalan sosial untuk bertahan, terutama dalam situasi krisis semisal pandemi. Namun, realitas di lapangan memerlihatkan bahwa perlindungan sosial itu cenderung menjadi alat pereda, bukan pengubah keadaan.
Akar kemiskinan struktural belum disentuh secara serius. Misalnya, persoalan rendahnya kualitas pekerjaan, ketimpangan kepemilikan lahan dan aset, rendahnya produktivitas tenaga kerja, hingga akses yang terbatas terhadap pendidikan dan modal usaha. Itu semua adalah faktor yang membuat masyarakat miskin sulit keluar dari lingkaran setan kemiskinan, meski pun telah bertahun-tahun menerima bansos.
Hal fundamental yang harus segera dilakukan namun kerap diabaikan oleh pemerintah adalah pembenahan basis data kemiskinan, terutama dalam konteks distribusi bantuan sosial. Tidak akan pernah ada program pengentasan kemiskinan yang benar-benar efektif jika data yang digunakan oleh pemerintah masih berantakan, tumpang tindih, atau tidak mencerminkan realitas sosial yang ada.
Masalah utama yang terjadi di lapangan adalah dua bentuk kesalahan data yang sangat merugikan, yaitu exclusion error dan inclusion error. Exclusion error terjadi ketika individu atau keluarga miskin yang sebenarnya sangat membutuhkan dan berhak mendapatkan bantuan justru tidak masuk dalam daftar penerima. Sebaliknya, inclusion error mengacu pada kondisi di mana orang-orang yang sebenarnya tidak miskin atau tidak lagi memenuhi kriteria justru tetap terdaftar sebagai penerima bantuan. Pemerintah harus menjadikan pembenahan data sebagai agenda strategis nasional, bukan sekadar urusan teknis kementerian sosial atau lembaga statistik.

Selanjutnya, pemerintah harus menunjukkan komitmen melalui alokasi anggaran yang kuat dan progresif untuk rakyat miskin. APBN dan APBD bukan hanya sekadar instrumen fiskal semata, tetapi mestinya menjadi alat keberpihakan yang nyata.
Belanja negara yang besar seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk keuntungan proyek atau kelompok elite tertentu. Transparansi, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan anggaran sangat menentukan keberhasilan pengentasan kemiskinan.
Terakhir, setelah pembenahan data dan keberpihakan anggaran, yang harus segera dilakukan adalah perluasan dan peningkatan kualitas jaminan sosial yang adaptif dan inklusif. Program-program semisal PKH, BPNT, dan bantuan sosial lainnya perlu ditata ulang agar lebih presisi, tepat sasaran, dan mampu memberdayakan, bukan hanya menenangkan. Jaminan sosial tidak boleh menjadi alat politik, tetapi menjadi bagian dari kontrak sosial negara dengan rakyat miskin yang berhak dilindungi ketika tertimpa musibah atau mengalami ketimpangan struktural.
Ke depan, jaminan sosial juga harus diarahkan pada peluang mobilitas sosial. Misalnya melalui subsidi pendidikan berkualitas, pelatihan kerja produktif, dan akses terhadap perumahan terjangkau.
Oleh: Muhammad Anwar (Peneliti IDEAS/Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam SEBI)

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!