Dimensi pandangan materialis memberi batasan kepada manusia untuk memahami hakikat kehidupan. Sepanjang sejarah, pertentangan filosofis antara ide dan materi menjadi pergumulan akal yang tidak ada habisnya. Di era modern, tolok ukur eksistensi manusia adalah kalkulasi kuantitatif berupa pencapaian materi – uang dan segala yang mengitarinya. Demi mencapai eksistensi materialisnya, manusia pada satu peristiwa tertentu sering menggunakan cara-cara tak beradab. Menipu, mencuri, hingga menggunakan cara canggih dan sistemik semisal korupsi, yang cenderung merugikan kehidupan manusia lain. Perilaku-perilaku tersebut seolah mengafirmasi pandangan realis bahwa manusia adalah Homo Homini Lupus (Manusia adalah serigala bagi manusia lain).
Agama kemudian memberi alternatif lain kepada manusia bahwa kehidupan dunia adalah sebuah ruang dan waktu terbatas. Hari Akhir atau Akhirat adalah dimensi hakikat dan absolut yang abadi. Pandangan ini menjelaskan bahwa kelak segala tingkah laku perbuatan manusia akan diadili oleh Tuhan. konsep akhirat menjelma menjadi sebuah oase di tengah kegersangan pengetahuan akan makna dan hakikat kehidupan.
Agama Islam menempatkan akhirat sebagai fondasi fundamental keimanan. Percaya bahwa akan tiba suatu masa di mana segala berbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan sang Maha Adil, Allah Swt. Sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam, Al Qur’an secara tegas menjelaskan betapa perbuatan baik dan buruk – meski pun hanya sebesar biji zarah – akan mendapat pembalasan yang setimpal (QS Al-Zalzalah: 7-8). Surga menjadi ganjaran bagi manusia yang berbuat baik, di mana di dalamnya terdapat kenikmatan dan kebahagiaan abadi, sedangkan neraka sebagai balasan – dalam bentuk siksaan – atas perbuatan buruk manusia.

Pandangan terhadap konsep akhirat kemudian menjadi sebuah landasan filosofis dan etis bagi manusia dalam menjalani praktik kehidupannya. Kehidupan dunia tidak lagi dianggap sebagai tujuan utama, melainkan sebuah wadah untuk melakukan kebaikan demi mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. Kematian bukan akhir bagi kehidupan, melainkan menjadi sebuah jembatan menuju alam hakikat. Filosof Islam, Al-Ghazali, menggambarkan, kematian adalah suatu peristiwa "kelahiran kedua" dan sebagai proses perpindahan dari alam dunia yang sempit menuju alam yang lebih luas.
Kehidupan Dunia sebagai Ruang Rindu
Budayawan Emha Ainun Najib yang akrab disapa Cak Nun menjelaskan konsep kesatuan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pandangan Cak Nun adalah bahwa amal kebaikan di dunia tidak hanya bertumpu pada praktik kegiatan keagamaan semata semisal shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, melainkan semua wujud tingkah laku manusia dan segala rupanya. Bekerja mencari nafkah, bertani, belajar, berkebudayaan, dan lain-lain, merupakan bentuk kebaikan yang kelak akan mendapat ganjaran di akhirat.
Cak Nun di dalam bukunya "Slilit Sang Kiai" mengilustrasikan, di samping kebaikan, perbuatan yang merugikan mampu memberatkan manusia di akhirat meski pun kecil. Sang Kiai alim digambarkan terhalang masuk surga akibat sewaktu hidup pernah mengambil sebatang kayu kecil tanpa izin pemiliknya untuk membersihkan kotoran sisa makanan di gigi sang kiai.
Gairah kehidupan bagi Cak Nun adalah rindu dan cinta antara makhluk dengan sang pencipta. Cinta menjadi ibadah ketika setiap langkah perjalanan seorang hamba bertumpu pada niatan suci menebarkan kasih dan sayang Allah Swt di muka bumi. Di alam semesta yang kecil dan sempit ini, kerinduan untuk bertemu dengan sang Maha Kasih kelak di akhirat bertransformasi menjadi bahasa kasih sayang antar sesama. Bahwa kasih sayang sesama manusia adalah upaya menebarkan serpihan manifestasi cinta dari sang maha pecinta, yaitu Allah Swt.
Di belahan bumi yang lain, bahasa cinta menghilang dalam ruang-ruang kehidupan. Pembantaian massal di Palestina menjadi titik kritis kemanusiaan. Kekuasaan seolah menjadi acuan utama untuk menghilangkan nyawa. Dunia materialis memandang esensi kekuasaan di atas kehidupan, politik di atas kemanusiaan. Akhirat hanya dipandang dogma metafisik yang tak relevan dan menihilkan bahwa kelak semua perbuatan akan diadili.

Langkah Kehidupan Menuju Keabadian
Seorang Muslim memandang kehidupan dunia tak ubahnya seperti sebuah tempat menanam benih amal kebaikan. Akhirat adalah alam keabadian — dimensi tak terbatas, tempat di mana segala jiwa menemukan makna sejatinya setelah menapaki jalan fana kehidupan dunia. Akhirat bukan sekadar kelanjutan waktu, melainkan titik temu antara keadilan dan kasih sayang Ilahi. Di sana, manusia akan menuai hasil dari benih amal yang ia tanam di bumi. Surga menjadi taman bagi jiwa-jiwa yang beriman dan beramal saleh, sedangkan neraka menjadi cermin bagi mereka yang berpaling dari kebenaran. Maka, kesadaran akan akhirat bukanlah sekadar dogma, melainkan lentera batin yang menerangi sekaligus menuntun langkah manusia di jalan kebenaran dan keikhlasan.
Di dalam kebijaksanaan Islam, dunia bukan rumah tempat menetap, melainkan jembatan tempat menapaki ujian. Dunia adalah ladang sementara tempat setiap insan menanam amal, menyiraminya dengan keikhlasan, memupuknya dengan kesabaran, dan menjaganya dari hama dosa. Setiap nikmat adalah ujian, dan setiap cobaan adalah guru yang menyadarkan.
Di dalam setiap hembusan nafas, manusia menulis kisahnya sendiri — sebuah perjalanan yang kelak dibacakan di hadapan Sang Hakim yang Maha Adil. Maka, dunia bukanlah tempat mengejar bayang-bayang, melainkan ruang untuk menyiapkan cahaya bagi perjalanan panjang menuju keabadian.
Rasulullah ﷺ mengibaratkan dunia sebagai peristirahatan sejenak di bawah pohon rindang bagi seorang musafir. Ia berhenti hanya untuk melepas lelah, lalu kembali berjalan menuju kampung halamannya yang abadi — akhirat. Maka, tak pantas bagi seorang musafir untuk mencintai tempat persinggahan lebih dari tujuan perjalanannya. Harta, jabatan, dan kemuliaan dunia, hanyalah fatamorgana yang memudar di bawah terik waktu. Yang abadi hanyalah amal: sedekah yang menenangkan hati, doa yang menembus langit, dan kasih yang tertanam di dada.

Kesadaran akan akhirat menumbuhkan kedalaman jiwa dan ketenangan hati. Ia menjadikan manusia lebih lembut, sabar, dan bijak, karena tahu bahwa setiap luka adalah titipan pahala, dan setiap air mata adalah benih kebahagiaan abadi. Dunia hanyalah sekolah jiwa, tempat manusia belajar mencintai tanpa pamrih, berbuat tanpa menuntut balas, dan berjalan tanpa takut kehilangan. Di akhir perjalanan, ketika semua cahaya dunia padam, hanya amal kebaikan yang akan tetap bersinar, menuntun langkah menuju taman keabadian di sisi Allah Swt.
“Wahai Jiwa yang tenang,
Kembalilah kepada tuhanmu dengan ridha dan diridhai,
Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-ku,
Dan masuklah ke dalam Surga-Ku” (QS Al-Fajr: 27-30).
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!


