Seperti yang selama ini kita kenal, Presiden Turki, Mr. Recep Tayyip Erdogan termasuk salah satu sosok pembela Gaza di dunia internasional. Di dalam upaya membuka blokade atas Gaza, Mr. Erdogan mendukung penuh armada Kapal Mavi Marmara. Begitu pula dalam pertemuan di Davos Swiss, ia terang-terangan menyerang Simon Perez dan Israel.
Ia juga merespon serangan-serangan Israel kepada Gaza di tahun-tahun sebelumnya. Ia selalu bereaksi keras terhadap kebrutalan Zionis Israel di Palestina. Jika Qatar sering mendukung para pejuang Palestina secara finansial, maka Erdogan menjadi sosok pelindung Gaza di tingkat isu politik internasional.
Ada 3 negara dengan kekuatan militer serius (minimal peralatan), yang berada di dekat Gaza, yang perannya sangat diharapkan untuk menyelamatkan rakyat Gaza. Yaitu Mesir, Arab Saudi, dan Turki. Ketiga negara itu berbasis penduduk Muslim, memiliki kekuatan militer signifikan, dekat lokasi konflik.
Tetapi suatu ironi yang sulit dipahami, ketika Erdogan dan militer Turki nyaris tidak bergerak atas eskalasi genosida yang berlangsung di Gaza selama lebih dari 6 bulan ini. Ke mana suara keras dia? Ke mana kekuatan militer Turki yang selama ini dibanggakan? Yang bahkan ketika merebak konflik Ukraina-Rusia, disebut-sebut peralatan militer Turki telah masuk ke kancah pertempuran di sana.
Konon, posisi Turki sebagai anggota NATO mengharuskan dirinya mematuhi kebijakan NATO atas konflik di Gaza. Jelas, NATO berpihak sepenuhnya kepada Zionis Israel, sehingga negara-negara anggota NATO tidak boleh berpihak ke selain Zionis Israel. Minimal, jika tidak berpihak ke Israel, mereka tak boleh ikut campur dalam konflik yang sedang terjadi.
Baca juga: Mencintai Islam, Mencintai Indonesia
Mungkin di titik itulah posisi Turki saat ini. Mereka tidak berdaya untuk membela Gaza. Sebab, mereka tetap memerlukan posisi Turki dalam persekutuan NATO. Jika Turki lepas dari NATO, hal itu dikhawatirkan akan mengancam posisi politik Erdogan.
Ada satu analisa, bahwa di Turki aparat militer sering ikut campur politik. Mereka mengklaim diri sebagai “Penjaga Sekularisme Turki”. Jika ada pemimpin politik yang terlalu kanan (pro Islam), dengan mudah akan dikudeta oleh militer. Hal itu seperti yang pernah terjadi kepada Menderes dan Erbakan.
Untuk membendung nafsu kaum militer yang ultra loyal kepada Sekularisme itu, harus dibantu oleh Eropa. Eropa terkenal anti kepada rezim “kudeta militer”, dan Erdogan memerlukan itu untuk melindungi proyek politiknya ke depan. Untuk mendapat dukungan Eropa, mau tidak mau harus bergabung dengan NATO, dan menjadi “good boy” di sana.
Tetapi politik semacam itu bisa menjadi bumerang. Terutama ketika berhadapan dengan realitas yang bertentangan dengan hajat kehidupan umat Islam, semisal dalam konflik di Gaza. Di hadapan konflik Gaza, Mr. Erdogan tidak bisa banyak berbuat, karena kakinya telah diikat kuat sehingga tidak bisa bergerak ke sana-sini. Sebagai pribadi, kita percaya ia komitmen membela Gaza, tetapi dalam ranah politik negara, sulit.
Dari sini, mungkin kita bisa mengerti, mengapa ketika Necmetin Erbakan menjadi Perdana Menteri Turki, ia aktif berusaha membuat “Pakta Pertahanan” negara-negara Muslim, gabungan antara Turki dan negara-negara Arab (meski pun faktanya cita-citanya ini tidak tercapai). Ia bahkan sesumbar ingin lepas dari PBB, karena PBB dianggap tidak adil, selalu menganak-emaskan Israel, lewat veto tetap Amerika.
Baca juga: Penetapan Tersangka untuk 7 Warga Masyarakat Adat di Halmahera Timur: Keadilan yang Terpinggirkan
Bisa jadi, perbedaan terbesar antara Erdogan dengan Erbakan ialah dalam politik luar negeri. Erdogan berusaha merangkul Eropa dan NATO, agar dilindungi dari bidikan rezim militer. Sedangkan Erbakan tidak sudi menjadi bagian dari Eropa serta ingin agar Turki lebih dekat kepada umat Islam dan Arab. Bisa dikata, masing-masing garis politik ada plus minusnya.
Pada Juni 2016 terjadi kudeta politik di Turki, yang digerakkan oleh para aktivis dan pendukung Fethullah Gullen (kaum Gullenis), melibatkan ribuan kaki tangan secara sistematik. Tetapi kudeta ini gagal. Rakyat Turki tetap mendukung Erdogan dan AKP.
Atas kudeta tersebut, ternyata sikap negara-negara Eropa, khususnya NATO, biasa-biasa wae. Tidak seperti yang dibayangkan, mereka akan mati-matian membela Erdogan. Bahkan yang berhasil menggagalkan kudeta itu, setelah Allah Al-'Azhiim, adalah rakyat Turki sendiri yang kompak bergerak (people power). Artinya, teori yang diyakini bahwa dengan menjadi anggota aktif NATO, Erdogan akan dibantu menghajar kekuatan pro kudeta, ternyata tidak juga.
Tetapi tentu NATO punya argumen menarik. Misalnya, “Kami ini berkomitmen dengan negara Turki. Bukan berkomitmen personal ke sosok Erdogan.” Nah, kalau sudah begitu, mau bagaimana?
Fakta lain, selama Erdogan memimpin Turki, sering terjadi serangan-serangan terorisme dahsyat di Turki. Bisa dilakukan oleh unsur-unsur ultra nasionalis Kurdi atau pendukung Gullen. Tetapi seolah, pihak NATO dan Eropa anteng-anteng saja. Tidak seserius ketika mereka memperlakukan pihak yang dianggap “teroris” muslim.
Bahkan meninggalnya Jamal Kashogi, jurnalis Saudi, yang konon dimutilasi, juga terjadi di Turki. Tetapi nasib kasus itu tidak jelas bagaimana akhirnya.
Baca juga: Kembali ke Fitrah atau Kembali ke Habit?
Di titik ini, tampaknya politik Mr. Erdogan terjepit. Secara isu politik, jelas Erdogan dan AKP berkomitmen membela Gaza Palestina. Tetapi secara struktural, negara itu terikat NATO yang ikut terlibat dalam konflik membela Israel. Jika Erdogan ngamuk dan mengerahkan kekuatan militer ke Gaza, mungkin dia akan dikeroyok oleh negara-negara Eropa. Sementara kondisi ekonomi di internal Turki sendiri sedang melemah, meski pun belum separah kondisi di Indonesia.
Sedangkan negara-negara seperti Aljazair, Tunisia, Maroko di Afrika, mereka takut mengerahkan kekuatan militer. Khawatir negara mereka yang adem ayem tiba-tiba gaduh oleh perang. Kalau Mesir di bawah As-Sissi kan memang satu plot untuk melindungi keselamatan negara Zionis. Sedangkan Saudi juga tidak berani, untuk hadapi ormas Houtsi di tenggara mereka. Yordania, lebih lemah lagi. “Cukup bagi kami selama puluhan tahun menampung jutaan pengungsi Palestina. Tolong jangan dipersulit,” mungkin begitulah argumen Yordania.
Adapun Suriah, dia berargumen, “Kami saja baru reda menghadapi perang panjang hadapi kelompok intoleran.”
Kekuatan Arab yang berani tampil dalam membela Gaza adalah Houtsi di Yaman. Sekali pun tidak terlibat dalam perang terbuka di kancah Gaza, mereka terlibat melemahkan pasokan logistik ke area Israel. Houtsi aktif menyerang kapal-kapal milik Israel atau pendukungnya di Laut Merah, sedangkan Saudi yang juga sama-sama memiliki garis pantai Laut Merah, tak ada pergerakan.
Bila Houtsi nekad menyerang Saudi, kemungkinan eskalasi perang Gaza akan semakin meluas. Bisa terjadi perang dunia ketiga. Penguasa Saudi akan memanggil negara mana saja, atau kekuatan militer mana saja, yang bisa melindungi kekuasaannya. Mereka tinggal dibayar dengan sejumlah uang. Biasanya Saudi bergantung ke Amerika atau Eropa, tetapi negara-negara itu saat ini sedang fokus menyelamatkan Israel, jadi sangat sulit kalau mereka harus “menduakan hati”.
Posisi Saudi saat ini kritis, karena ketidak-mampuan prajuritnya berperang, meskipun menghadapi ormas Houtsi. Mereka juga sulit mengandalkan Mesir, sebab militer As-Sissi sedang berjaga-jaga, khawatir kekuatan IM akan bangkit membela Gaza. Meminta bantuan Rusia juga sulit, karena mereka sedang fokus ke Ukraina. Begitu juga untuk mengandalkan China, tidak mungkin, sebab mereka ke mana-mana membawa semangat dagang.
Baca juga: Kebebasan Semu dan Urgensi Dakwah Bi al-Qalam
Kembali ke politik Erdogan di Turki. Mungkin maksud dia aktif bersama NATO ialah untuk mengunduh keuntungan politik untuk menghadapi “nafsu kudeta” kaum militer. Tetapi dengan ikut NATO, otomatis mengiyakan kebijakan-kebijakan NATO. Jika hari ini NATO membela Zionis melakukan genosida di Gaza, secara teori semua anggota NATO harus ikut serta. Haqqul yaqin, tak mungkin hal itu akan diikuti oleh Erdogan.
Dari uraian ini, apa yang bisa kita simpulkan?
Setiap langkah yang kita ambil, ada konsekuensi yang harus dihadapi. Bergerak ke kanan, ada konsekuensinya, bergerak ke kiri pun ada konsekuensinya. Demikianlah realitas hidup. Terkadang, politik itu tidak untuk membedakan hitam dan putih, tetapi untuk memilih antara abu-abu muda dan abu-abu tua.
Wallahu a'lam bishowaab
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!