Memperingati Hari Ayah di Fatherless Country

Memperingati Hari Ayah di Fatherless Country
Memperingati Hari Ayah di Fatherless Country/foto:istimewa

Setiap tanggal 12 November, Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional. Sebuah hari yang sering kali lewat begitu saja tanpa gema yang besar. Padahal, di balik sosok ayah tersembunyi peran yang amat sentral dalam kehidupan sebuah keluarga. Ayah adalah tiang kokoh yang menopang arah hidup, karakter, dan keutuhan batin anak-anaknya. Namun ironisnya, di negeri yang sedang memperingati Hari Ayah ini, jutaan anak justru tumbuh tanpa kehadiran figur ayah yang benar-benar hadir. Hal itu menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia.

Data yang dirilis oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan, sekitar 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa peran ayah yang aktif. Angka tersebut setara dengan 15,9 juta anak, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada Maret 2024. Artinya, satu dari lima anak di negeri ini hidup dengan figur ayah yang tidak hadir secara emosional maupun pengasuhan. Mereka mungkin memiliki ayah secara biologis, namun kehilangan sosok ayah dalam keseharian. Rasanya, fenomena ini adalah tanda luka sosial yang perlahan menggerogoti fondasi keluarga Indonesia.

Sosiolog keluarga menyebut fenomena ini sebagai “fatherless” — sebuah istilah yang menggambarkan masyarakat yang kehilangan figur ayah dalam pembentukan karakter anak. Penyebabnya beragam. Bisa jadi karena angka perceraian yang meningkat, ayah yang sibuk di luar rumah, hingga pergeseran nilai keluarga akibat tekanan ekonomi dan sosial. Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa arahan moral, tanpa anutan laki-laki yang membimbing mereka tentang tanggung jawab, keteguhan, dan kasih sayang yang berimbang.

Menurut Cahyadi Takariawan, seorang konsultan keluarga dan pendiri Wonderful Family Institute, peran ayah sejatinya dimulai jauh sebelum seorang anak lahir. “Ketika seorang laki-laki memilih calon ibu bagi anak-anaknya, di situlah ia sudah menjalankan peran ayah,” katanya. 

Maka Hormati dan Hargailah Suamimu dan Ayahmu
Suamimu/ayahmu ternyata tak hanya merasakan sakit atau lelah fisiknya dalam mencari nafkah, tetapi terkadang juga mental dan batinnya terkoyak-koyak oleh perlakuan orang lain kepadanya.

Ia menegaskan, pengasuhan anak adalah kerja sama dua arah antara ayah dan ibu, bukan beban tunggal seorang perempuan. Bagi Cahyadi, ayah yang baik bukan hanya sosok yang memberi nafkah, tetapi yang benar-benar hadir dalam pertumbuhan anak — hadir mendengar, mendidik, memeluk, dan menjadi teladan. Di dalam pandangannya, banyak keluarga kehilangan keseimbangan karena peran ayah direduksi hanya pada sisi ekonomi. Padahal, ayah adalah the forgotten contributor dalam pendidikan dan pengasuhan, yaitu sosok yang sebenarnya memiliki pengaruh besar terhadap kecerdasan emosional dan spiritual anak, namun sering terlupakan.

Di dalam Islam, kedudukan ayah bahkan lebih dalam dari sekadar figur pelindung atau pencari nafkah. Al Qur’an menyebut lelaki sebagai qawwām — pemimpin, penjaga, dan penanggung jawab atas keluarganya (QS An-Nisā’: 34). Ayah diberi amanah bukan hanya untuk memastikan kebutuhan duniawi terpenuhi, tetapi juga kebutuhan ruhani anak-anaknya. Lihat bagaimana Luqman menasihati anaknya dalam Al Qur’an, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah” (QS Luqman: 13). 

Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan tauhid, penanaman nilai moral, dan panduan hidup, adalah bagian dari tanggung jawab seorang ayah. Ayah dalam Islam bukan hanya sosok pencari nafkah, tetapi pemimpin ketaqwaan yang menuntun keluarganya agar selamat dunia dan akhirat.

Sayang, peran luhur ini kini teras kian pudar. Banyak anak tumbuh hanya dengan kehangatan ibu, tetapi tanpa ketegasan dan arahan seorang ayah. Padahal, keseimbangan antara kelembutan dan ketegasan itulah yang menciptakan karakter anak yang kuat dan berempati. Anak-anak yang kehilangan sosok ayah aktif cenderung mengalami kesulitan dalam mengenali jati diri, lebih rentan terhadap tekanan sosial, dan sering kali mencari figur pengganti yang salah — baik di dunia digital maupun lingkungan sosial yang negatif.

Anak Stroberi Tak Lahir dari Ayah dan Ibu Durian
Istilah Strawberry Generation menggambarkan generasi muda sekarang yang dianggap rapuh seperti buah stroberi—tampak indah di luar, tetapi mudah rusak saat mendapat tekanan.

Di Hari Ayah ini, kita seharusnya tidak hanya mengucapkan selamat atau memposting foto bersama ayah di media sosial. Lebih dari itu, ini adalah saat untuk merenungkan kembali makna kehadiran ayah dalam keluarga dan masa depan bangsa. Sebab, kehadiran ayah tidak bisa digantikan oleh apa pun. Kehadiran ayah yang sesungguhnya adalah ketika ia ada secara fisik, emosional, dan spiritual. Ia mendengarkan anaknya, menatap matanya, berbagi waktu, menegur dengan kasih, dan membimbing dengan teladan.

Negara yang kehilangan peran ayah sesungguhnya sedang kehilangan arah generasi. Maka, memperingati Hari Ayah di negeri yang disebut fatherless country ini seharusnya menjadi ajakan untuk kembali menata ulang peran keluarga. Para ayah perlu diingatkan bahwa anak tidak hanya membutuhkan makan dan sekolah, tetapi juga butuh kehadiran, doa, dan contoh nyata dari seorang lelaki yang bertanggung jawab dan beriman.

Selamat Hari Ayah Nasional — untuk semua ayah yang berjuang, mungkin dalam diam, mungkin dalam lelah, tetapi tetap memilih hadir. Karena sejatinya, ayah yang hadir bukan hanya tengah membesarkan anak-anaknya, tetapi juga sedang membangun peradaban.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.