Di masa Orde Baru, pemakaian jilbab sebagai pelengkap seragam sekolah sempat dilarang. Melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun 1982, jilbab dilarang digunakan sebagai seragam sekolah. Keputusan Menteri P&K (ketika itu), Daud Yusuf, memicu kontroversi lantaran dinilai sebagai kebijakan diskriminasi. Sebab, saat itu para siswi di sekolah yang tetap mengenakan kain kemuliaan di kepalanya sering kali mendapatkan teguran keras dari pihak sekolah. Tidak hanya teguran keras. Bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah. Pun mahasiswi yang tetap berhijab diminta untuk mengundurkan diri dari kampusnya.
Senada dengan pengalaman dikeluarkan dari sekolah dan kampus, sering para pekerja yang masih memakai jilbab juga dipecat dari perusahaannya. Bahkan ada yang sampai diinterogasi di markas aparatur negara.
Salah satu saksi mata tentang kondisi saat itu adalah Tuti Minarsih. Mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) itu juga merupakan korban situasi dilarangnya siswa sekolah memakai jilbab. Saat itu beliau masih menjadi siswi sebuah SMEA Negeri di Jakarta Pusat, semester 2.
“Ketika itu, saya berkali-kali dipanggil ke ruang kepala sekolah. Saya katakan ke beliau bahwa memakai jilbab tidaklah dilarang dalam undang-undang. Maka dari itu, saya tidak mau tunduk dan menyerah terhadap peraturan dilarangnya berjilbab,” kisahnya.
International Hijab Solidarity Day
Situasinya saat ini sudah jauh berbeda. Pemakaian jilbab kini sudah jauh lebih bebas. Wanita muslimah Merdeka untuk mengenakan hijab. Bahkan, fenomena kebebasan berhijab bagi wanita itu juga berlaku dalam skala internasional. Dan setiap tanggal 4 September, kaum muslim sedunia memperingati Hari Solidaritas Hijab Internasional.
Baca Juga : KH Cholil Nafis (Ketua MUI Pusat): “Muslimah adalah Duta Agama”
Perayaan International Hijab Solidarity Day (IHSD) berawal dari adanya sebuah tindakan diskriminasi Pemerintah Kota London (Inggris) kepada mahasiswi yang menggunakan simbol seorang muslimah as known as hijab dalam melakukan aktivitas perkuliahannya. Di kota yang sudah dianggap maju dan modern itu, fobia terhadap atribut keagamaan masih ada. Para muslimah yang mengenakan hijab itu diperlakukan secara diskriminatif.
Selain London, hal sama juga terjadi di Perancis. Di sana, pemerintahnya melarang anak perempuan menggunakan hijab di lingkungan pendidikan. Di Turki pun perempuan yang mengenakan hijab tidak bisa mendapatkan perawatan medis. Dan masih banyak kasus lainnya yang terjadi di beberapa negara lain.
Menyikapi hal itu, tanggal 4 September 2014, sejumlah tokoh mengadakan sebuah konfrensi yang dinamakan konfrensi London. Motornya antara lain adalah ulama kontemporer sekaligus perwakilan muslim yang berdomisili di London, Syeikh Yusuf Al-Qaradawi (Allahu Yarham), Prof Tariq R., dan lain-lain. Dihadiri 300 delegasi dari 102 organisasi, Konfrensi London menghasilkan kesepakatan yang memberikan kelegaan bagi kaum muslimah di London dan akhirnya menyebar ke negara-negara non-muslim yang mejadi tempat tinggal banyak kaum muslim dan muslimah. Butir-butir kesepakatan dari Konfrensi London itu di antaranya adalah menetapkan dukungan terhadap penggunaan jilbab, penetapan tanggal 4 September sebagai Hari Solidaritas Jilbab Internasional (IHSD), serta rencana aksi dalam rangka tetap membela hak-hak muslimah untuk mempertahankan busana kemuliaan mereka.
Perjuangan Jilbab Perempuan Indonesia
Menurut sejarah, Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-7, walau banyak juga pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Indonesia dimulai abad ke-12. Namun, tak ada penjelasan pasti kapan masyarakat Indonesia mulai memahami batasan syariat. Termasuk dalam hal penggunaan jilbab bagi seorang muslimah.
Pengaruh Eropa sejak abad ke-16, tentu saja berdampak signifikan terhadap perkembangan jilbab dan praktik berbusana perempuan Indonesia. Selama periode penguasaan bangsa Eropa, Indonesia mendapat pengaruh di berbagai aspek kehidupan, termasuk budaya dan agama. Sebagai bagian dari upaya modernisasi dan westernisasi, pemerintah kolonial berupaya membatasi budaya dan ritual keagamaan penduduk Hindia-Belanda, termasuk praktik berjilbab. Hal ini membuat banyak perempuan Muslim ketika itu enggan memakai jilbab.
Hasilnya, muslim Indonesia menjadi lebih sinkretis dalam mempraktikkan Islam dan tidak terlalu menekankan pada simbol-simbol keagamaan. Termasuk jilbab. Pemahaman ini rupanya menimbulkan anggapan bahwa penutup kepala hanya diwajibkan saat shalat.
Di abad ke-20, seruan untuk memakai jilbab bergema di wilayah Hindia-Belanda. Di Sumatera, kaum muda yang dipelopori Haji Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal sebagi Haji Rasul (Ayah Buya Hamka). Ketika itu, ia mengimbau agar penduduk Minangkabau tidak mengabaikan syariat Islam, termasuk kewajiban memakai jilbab bagi perempuan. Di dalam salah satu karyanya, ia mengritik keras kebaya pendek Minangkabau yang dianggapnya memperlihatkan aurat.
Di Jawa, muncul organisasi Masyarakat bernama Muhammadiyah yang memperjuangkan hak-hak muslim dan muslimah. Aisyiyah (organisasi perempuan dari Muhammadiyah) berupaya mengadvokasi hak perempuan muslim untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari hak asasi mereka. Organisasi ini menjadi suara bagi perempuan muslim Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak mereka untuk mengenakan jilbab, termasuk di sekolah-sekolah dan institusi publik. Banyak yang mendukung serta mulai memahami bahwa Batasan aurat perempuan adalah dimulai dari ujung kepala hingga ujung kaki terkecuali muka dan telapak tangannya. Persis (Persatuan Islam) pun mendakwahkan ini dan menjadi ancaman bagi kaum penjajah karena hijab menjadi simbol perlawanan kaum Muslimah terhadap penjajahan untuk mempertahankan identitas dan dalam menegakan agama ditengah gencaran serta ancaman dari para penjajah.
Tantangan masih dihadapi Muslimah untuk berjilbab setelah Indonesia merdeka. Yang paling mengemuka adalah perlakuan diskriminatif terhadap muslimah berjilbab di sekolah, kampus, dan tempat kerja, yang terjadi pada pertengahan tahun 1980-an itu. Seperti yang dialami Tuti Minarsih ketika masih duduk di bangku kelas 1 di sebuah SMEAN (Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri) di Jakarta Pusat, pada pertengahan tahun 1980-an.
Ketika itu, Tuti dianggap membangkang karena tidak bersedia melepas jilbabnya di lingkungan sekolah. Sebab, ketika itu pihak sekolah tidak memungkinkan pemakaian jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah. Karena tetap berkeras memakai jilbab, ia pun dikeluarkan dari sekolahnya.
Baca Juga : Perjalanan Hijab di Indonesia: dari Nasida Ria Sampai Fatin Shidqia
Saat itu, Tuti yang masih berusia 16 tahun dirangkul dan diarahkan oleh rekan-rekannya di PII. Tuti pun merasa nyaman bersama mereka. Ia merasa mendapatkan teman untuk bersama-sama menegakkan kemuliaan sebagai seorang muslimah. Saat itu, Tuti dipindahkan untuk bersekolah ke SMEA Al Irsyad di Jalan KH Hasyim Asy’ari, Jakarta Pusat.
“Di SMEA Al Irsyad, saya diterima dengan baik, alhamdulillah. Ada adik kelas saya juga dari Cengkareng yang pindah ke Al Irsyad karena sama-sama menjadi korban (kebijakan terkait) jilbab. Sosialisasi tentang jilbab kemudian sangat gencar dilakukan oleh remaja-remaja muslim. Banyak kader muslimah waktu itu yang memperjuangkan jilbab. Dan saya senang berada di sana,” kenangnya.
Tuti berkisah, Ketika itu kader-kader PII pun turut mengajak ia dan teman-teman yang lainnya untuk melakukan pembinaan serta penguatan. Kini, ia banyak mengambil Pelajaran dari peristiwa yang pernah ia alami.
“Bagi saya, ini adalah kuasa Allah. Saya bisa kuat menghadapi tekanan saat itu adalah bukan karena saya yang kuat, namun karena Allah-lah yang menguatkan saya. Berkali-kali saya dipanggil ke ruang kepala sekolah waktu itu. Bahkan hampir setiap hari. Saya selalu bertanya-tanya, apa salah saya. Saya adalah muslimah dan jilbab adalah salah satu identitas diri saya sebagai seorang muslimah. Namun karena kejadian tersebut, saya selalu mengambil hikmah dan membuang kebencian saya terhadap hal tersebut,” tegas Tuti.
Tuti menyebut, kini di Tengah kondisi yang lebih baik, kaum muslimah perlu menunjukkan identitas sebagai Muslimah dengan tidak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan identitas itu. Seperti ditegaskan dalam Al Qur’an Surat Al Ahzab (33) ayat 59.
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu.’ Dan Allah Swt Maha Pengampun, Maha Penyayang.” – QS. Al Ahzab : 59
“Pesan saya untuk perempuan-perempuan zaman sekarang adalah berjilbablah dengan ilmu. Karena hal itu akan membuatmu enggan melakukan hal-hal yang tidak menunjukkan identitas kamu sebagai seorang muslimah. Seorang muslimah akan tetap mulia dengan jilbabnya. Yang menjadi masalah sekarang adalah banyak yang berjilbab tetapi (berperilaku) tidak seperti seorang Muslimah. Ia masih melakukan maksiat, masih melakukan hal-hal negative, dan sebagainya. Maka, berjilbablah dengan ilmu, seperti anjuran di dalam Al Qur’an dan As Sunnah,” pesan Tuti terhadap generasi muda bangsa.
Bagaimanapun, seorang muslimah harus tetap mempertahankan kemuliaan dan memahami batasan auratnya. Tidak serta merta memakai jilbab hanya sebatas menutup rambut saja, namun berjilbab dengan dibekali ilmu agama, sehingga mencerminkan diri mereka bahwa berhijab adalah simbol seorang muslimah sejati.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.’ Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. – QS An Nur:31
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!