Siapa yang tak kenal Khalid bin Walid? Dialah panglima perang di berbagai medan jihad. Kecepatan geraknya dan kecepatan dia membunuh musuh-musuh Allah dibuktikan di perang Mu'tah, Yarmuk, dan lain-lain. Baik semasa Rasulullah hidup maupun di masa para khalifah.
Selagi Khalid memimpin Perang Yarmuk melawan bala tentara Romawi, kala kemenangan sudah di depan mata, tiba-tiba datanglah seorang kurir membawa sepucuk surat dari Khalifah Umar bin Khattab yang berisi perintah pergantian panglima Perang Yarmuk tersebut. Bagaimana sikap dan penerimaan Khalid bin Walid sang panglima?
Dengan penuh keikhlasan seorang jundi, Khalid menyerahkan jabatan panglima kepada penggantinya yaitu Abu 'Ubaidah. Itulah keikhlasan seorang jundullah yang mau melepaskan jabatan tertinggi sebagai panglima perang dan menjadi seorang prajurit biasa. Baginya, ia berjuang bukan mencari jabatan atau karena mendapat pujian dari komandannya. Tetapi Khalid berjuang semata-mata mencari keridhaan Allah.
Sikap Khalid ini selaras dengan sabda Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dinar, celakalah hamba perut! Apabila diberi merasa lega tetapi jika tidak diberi marah. Semoga celaka dan terpuruk. Dan apabila tertusuk duri maka tidak bisa dicabut lagi. Berbahagialah seorang hamba Allah yang menuntun kendali untanya di jalan Allah, kepala dan kedua kakinya berdebu, jika ia bertugas jaga maka ia melaksanakan penjagaan (dengan baik dan ikhlas) dan jika bertugas mengawal pasukan belakang maka ia melaksanakan pengawalan (dengan baik dan ikhlas).”
Itulah sikap Khalid yang tetap berjuang di manapun ditempatkan. Baginya adalah melaksanakan penjagaan dan pengawalan pasukan dengan sebaik-baiknya. Keikhlasan adalah landasannya.
Baca juga: Pertolongan Allah Itu Dekat
Setiap jundullah harus menjadikan ikhlas sebagai landasan perjuangannya. Jika sudah Ikhlas, pertajam keikhlasan tersebut. Hindarkan sikap riya' dari dirinya. Baik riya' ingin dilihat oleh manusia maupun riya’ karena takut dilihat oleh manusia. Orang yang berjuang karena ingin dipuji oleh manusia disebut riya'. Orang yang berjuang karena ingin disebut sebagai ikhwah juga riya’ namanya.
Riya' juga menimpa orang yang takut berbuat dan berjuang karena takut dilihat manusia. Jadi, ikhlas adalah sikap penuh kewajaran yang berbuat karena Allah saja tanpa minta dipuji manusia atau dicela manusia. Karena itu, perlunya menelaah keikhlasan para salafush shalih sebagai cerminan keikhlasan kita, para jundullah.
Seperti kisah menangisnya Mu'az di sisi kubur Nabi ﷺ, sehingga mengusik keingintahuan Umar ra. Umar bertanya, “Kenapa Anda menangis?” Mu'adz menjawab, “Karena sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda:
“Sekecil apapun dari riya adalah kemusyrikan. Barangsiapa memusuhi para wali Allah maka ia telah menantang perang kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik, orang-orang bertakwa dan orang-orang yang bersembunyi yang apabila tidak hadir mereka tidak dicari dan apabila hadir mereka tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu petunjuk. Mereka terselamat dari setiap bencana kegelapan.” – HR. Al Hakim
Allah mencintai orang-orang yang bersembunyi yang apabila tidak hadir mereka tidak dicari dan apabila hadir mereka tidak dikenal. Itulah gambaran orang ikhlas yang tidak senang publikasi, tetapi senang bekerja walaupun hanya menuntun seekor unta sehingga kepala dan kakinya berdebu. Itulah gambaran keikhlasan seorang hamba yang dicintai Allah. la hanya seorang hamba yang bersahaja yang hanya menuntun tali onta berjuang di jalan Allah sehingga kepala dan kakinya berdebu. la hanya seorang hamba (budak) sehingga jika ia tidak hadir tidak ada orang yang mencarinya dan jika ia hadir tak seorang pun mengenali dia. Tetapi ia seorang yang taat melaksanakan penjagaan di garda terdepan dan melaksanakan pengawalan di garis belakang. Itulah dia orang yang berbahagia dan dicintai Allah.
Baca juga: Hakikat Perang
Juga seperti keikhlasan Khalid bin Walid. Ia berjuang bukan karena Abu Bakar, bukan karena Umar, apаlagi karena jabatan. Khalid berjuang karena Allah. Karena itu, tatkala jabatannya sebagai panglima diturunkan menjadi prajurit biasa, baginya tidak menjadi soal. Yang penting la tetap berjuang.
Apakah kita ikhlas berjuang di medan dakwah tetapi setelah dakwah berhasil keikhlasan kita menjadi guncang? Apakah kita mau menepuk dada melihat keberhasilan dakwah kita? Untuk mempertajam keikhlasan kita Bersama, ada baiknya kita lihat surat Al Hujurat ayat 17:
“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu orang-orang yang benar’."
Memang benar, pada hakikatnya keberhasilan dakwah bukan karena jasa kita, tetapi sebenarnya Allah-lah yang berjasa karena Dia telah memberikan nikmat-Nya kepada kita dengan menunjukkan manusia kepada keimanan, sehingga dakwah kita menjadi berhasil. Keberhasilan dakwah menuntut keikhlasan para da'i. Da'i yang ikhlas adalah yang menyeru manusia siang dan malam tanpa kenal putus asa. Da'i yang ikhlas tidak meminta upah dari manusia, tetapi ia hanya minta kepada Allah. (Perhatikan kisah Nabi Nuh as dalam Al Qur’an surat Hud ayat 29).
Ikhlas adanya di dalam hati. Sedangkan isi hati seseorang tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan tentunya Allah Ta'ala. Karena itu, menilai keikhlasan seseorang secara pasti amatlah sukar. Jika di masjid seseorang itu ikhlas, bagaimana jika ia di rumah? Jika di tempat pengajian seseorang berbuat ikhlas, bagaimana halnya jika ia di pasar, di kantor, di jalan, dan sebagainya?
Baca juga: Mewaspadai Ulah Kaum Munafik
Kiranya patut bagi kita bersama untuk merenungi dua buah hadits yang tersebut di atas. Seorang budak yang kusut rambutnya, berdebu kakınya, yang jika ia tidak hadir tak ada yang menanyainya serta tidak ada yang merasa kehilangan dan jika ia hadir tak ada yang mengenalnya dan tak ada yang memperhatikannya, namun ia adalah prajurit yang tetap setia di manapun ia bertugas, baik garda depan maupun di garis belakang. Mungkin karena itulah, dalam perjalanan panjang jihad di Afghanistan, Allah benar-benar hendak membuktikan siapa yang benar-benar sabar berjuang di jalan-Nya. Keikhlasan dan kesabaran menuntun langkah-langkah kita menapaki perjalanan yang panjang ini.
“Kalau yang kamu serukan (perjuangan) kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu terasa jauh oleh mereka.” – QS. At Taubah:42
Penulis: Mustaviv (Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 06 TH. V 6-19 November 1992)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!