Sepekan terakhir, publik seperti mendapatkan suguhan serial baru dari panggung teater politik tanah air. Panggung yang tak pernah sepi menyajikan drama dengan intrik dan permainan kelas atas. Drama dengan plot yang kerap membingungkan, tak mudah dipahami logikanya, meski pada akhirnya menyajikan ending yang kurang lebih sama. Yaitu kompromi dalam saling sandera!
Kisah kali ini menampilkan tema tentang dua sahabat lama yang terjebak dalam arus permusuhan yang sengit. Kemesraan dalam bingkai saling bela dan bahu-membahu selama lebih dari dua belas tahun kini seolah sirna begitu saja oleh sebuah pengkhianatan. Tak penting siapa mengkhianati siapa, toh pengantar cerita ini telah kita saksikan bersama dalam gelaran Pilpres tempo hari.
Jokowi dan Hasto, dua teman separtai yang bukan baru kemarin saling kenal. Perjuangan dan kebersamaan mereka telah dimulai semenjak “Babat alas Solo”, ketika Jokowi diorbitkan sebagai Walikota oleh PDIP. Hubungan baik itu terus terjalin hingga masa karir politik Jokowi semakin moncer; menjadi Presiden Republik Indonesia. Tak jarang Hasto terlihat lantang bersuara, bahkan berani pasang badan, saat kebijakan Presiden Jokowi diserang oleh pihak lain.
Sebaliknya, Jokowi juga dianggap oleh banyak pihak memberikan perlindungan politik kepada Hasto. Khususnya pada kasus Harun Masiku yang mulai menjadi sorotan publik semenjak akhir 2019. Hasto dan PDIP ditengarai terlibat dalam kasus yang menjerat Harun Masiku, dan terlibat pula dalam proses pelarian Harun Masiku hingga menjadi buron KPK.
Mantan Penyidik KPK, Novel Baswedan, memberikan kesaksian bahwa pada saat terjadi operasi tangkap tangan atas komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang terlibat dalam kasus Harun Masiku, saat itu penyidik KPK telah mengajukan agar Hasto turut menjadi tersangka. Novel menegaskan bahwa waktu itu bukti sudah cukup untuk menjadikan Hasto sebagai salah satu tersangka.
Namun, pimpinan KPK ketika itu memilih untuk menunda penetapan Hasto sebagai tersangka. Menunggu Harun Masiku tertangkap. Senyatanya, Harun Masiku tak pernah bisa tertangkap. Sehingga, Hasto pun tak pernah menjadi tersangka.
Nah, banyak spekulasi dalam hal ini. Salah satunya adalah adanya campur tangan kekuasaan terkait sulitnya menangkap Harun Masiku dan menetapkan Hasto sebagai tersangka. Spekulasi ini bisa dipahami, mengingat PDIP adalah partai penguasa dan Presiden Jokowi adalah kader PDIP.
Kini, saat hubungan PDIP dan Jokowi memburuk, tiba-tiba Hasto langsung ditetapkan sebagai tersangka. Situasi yang sesungguhnya telah disadari oleh elite PDIP bakal terjadi.
Saat KPK benar-benar menetapkan Hasto sebagai tersangka, PDIP tanpa ragu menyebut peran Jokowi. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua DPP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional PDIP, Ronny Talapessy, di hadapan awak media beberapa waktu lalu, saat melakukan jumpa pers terkait penetapan Hasto sebagai tersangka.
Melawan dengan Dokumen
PDIP dan khususnya Hasto tampaknya akan memberikan perlawanan terhadap kasus yang mereka nilai sebagai “kental politisasi” ini. Salah satu dari bentuk perlawanan itu berupa kumpulan dokumen yang disinyilalir memiliki potensi menjadi bom waktu.
Adalah pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, yang juga sahabat Hasto Kristiyanto, yang lewat akun instagramnya membuat pengakuan yang langsung membetot perhatian publik. Connie mengaku ketitipan sejumlah dokumen milik Hasto. Untuk keamanan, dokumen tersebut telah ia notariskan di Rusia.
Pastinya dokumen rahasia. Dokumen yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan negosiasi. Dokumen yang mungkin bisa dijadikan sebagai alat sandera. Bahkan bisa jadi dokumen tersebut dapat digunakan oleh Hasto dan PDIP sebagai sebuah serangan balik, jika ruang negosiasi gagal tercipta.
Sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang rindu kualitas politik dan pemerintahan yang baik di masa depan, penulis hanya berharap dua hal dari kasus ini:
Pertama, penegakan hukum yang makin berkualitas. Jangan sampai mata pedang hukum hanya memotong mereka yang bukan dari kalangan kekuasaan. Lambannya penanganan kasus Harun Masiku adalah bukti nyata bahwa hukum masih menjadi alat kekuasaan. Bukan untuk menegakkan keadilan!
Jika hukum tidak dikendalikan oleh kekuasaan dan deal politik tertentu, mestinya sejak 2020 kasus ini sudah selesai. Kasus ini sekali lagi membuktikan bahwa hukum diplintir dan dijadikan alat kekuasaan.
Kiranya Presiden Prabowo mampu menjadi Jenderal Besar bagi penegakan hukum di Indonesia. Di dunia militer, Prabowo Subianto dikenal tegas dan berani. Maka, kami berharap beliau berani dan tegas pula di ranah politik dan hukum.
Kedua, berharap banyak, kiranya dokumen rahasia yang dititipkan oleh Hasto kepada Connie Rahakundini adalah dokumen yang riil. Bukan pepesan kosong! Apalagi sekadar bagian dari kepanikan Hasto dan PDIP untuk sekadar menggertak sana-sini. Menciptakan fiksi horor untuk sekadar negosiasi melonggarkan jeratan hukum KPK.
Jadi Ledakan atau Ledekan?
Semoga ia benar-benar menjadi bom waktu dengan potensi ledakan yang besar. Sehingga tersingkaplah kebobrokan selama sepuluh tahun terakhir. Hasto berada di pusaran kekuasaan dalam rentang waktu itu. Sehingga, mestinya dokumennya akurat.
Jika yang terjadi sebaliknya, dokumen yang dinotariskan jauh-jauh itu ternyata hanya kibul-kibulan, maka bersiaplah Hasto dan PDIP menjadi ledekan! Bukan hanya diledek oleh Jokowi dan relawannya, tetapi juga akan diledek oleh seluruh rakyat Indonesia. Mengorbankan partai untuk seorang Harun Masiku! Ada apa dengan PDIP?
Sebagai penonton yang baik, mari kita saksikan drama ini dengan seksama. Disertai sikap netral dan hasrat pada penegakan keadilan secara tuntas. Tak perlu terlibat dukung sana dukung sini. Biarlah fakta hukum yang berbicara. Belum tentu yang kita dukung benar dan yang lain salah. Jangan-jangan malah keduanya salah, main-main dengan amanah rakyat!
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!