Penulis: Hasanuddin
Seorang utusan Kaisar Romawi datang menemui Khalifah Umar Bin Khattab di Madinah. Ia sengaja datang untuk berdialog tentang agama seperti yang pernah dilakukan ketika Rasulullah masih hidup. Menurut riwayat ad-dain Nuri dari Malik Bin Aus, dalam kitab Al Matsalul Kamil, ketika utusan Romawi tadi ingin pamit kembali ke negerinya, istri khalifah sempat menitip sebotol minyak wangi senilai satu dinar padanya. Titipan itu adalah cenderamata dari istri Khalifah Umar untuk diberikan pada istri Kaisar sebagai tanda persahabatan.
Dalam tempo yang tidak terlalu lama, utusan Romawi itu berkunjung lagi ke Madinah. Ia membawa sebuah bingkisan titipan permaisuri Kaisar untuk istri khalifah sebagai balasan dan tanda persahabatan. Apakah gerangan bingkisan itu? ternyata botol minyak wangi pemberian istri Umar dulu. Bedanya, Isi botol itu bukan minyak wangi lagi. Tapi permata berlian yang sangat mahal harganya.
Khalifah tentu sangat terkejut melihat bingkisan itu. Ia lalu memanggil istrinya seraya menanyakan bagaimana asal-usul kirim-mengirim bingkisan itu. Istri khalifah pun menjelaskan duduk persoalannya. Tanpa pikir panjang lagi, Umar segera memerintahkan agar batu-batu berharga itu dijual. Dari hasil penjualan itu Umar mengambil hanya satu Dinar. Lalu ia berikan uang itu kepada istrinya. Sedangkan sisanya ia serahkan ke Baitul Mal untuk kepentingan umat.
Sikap tegas Umar ini mencerminkan paradigma keadilan dalam Islam sebuah sikap ideal yang betul-betul menerjemahkan kalam Allah.
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. – QS. Al-Maidah:8
Ketegasan Umar dalam menegakkan keadilan memang menghiasi kehidupannya. Dalam riwayat Said bin Abi Mansur, Abu Bakar Abu Thayyibah dan Baihaqi meriwayatkan, suatu hari Khalifah Umar mengadakan sidak di pasar. Ia melihat seekor unta tergemuk di antara unta-unta yang lain. Khalifah menghampirinya seraya bertanya "unta siapa ini? "orang banyak serentak menjawab, bahwa unta itu milik Putra khalifah sendiri Abdullah. Khalifah lalu berkata pada anaknya "Hai Abdullah anakku benarkah unta ini milikmu dari mana engkau memperolehnya?"
Abdullah menjawab, "benar wahai bapakku unta itu milikku sendiri. Aku memperolehnya selagi unta itu masih kurus dengan cara membelinya dari seseorang. Aku gembalakan dia di tempat yang subur sehingga sekarang unta ini menjadi sangat gemuk, aku ingin menjualnya untuk memperoleh untung sebagaimana orang lain melakukannya."
"Ya, tapi aku tahu semua orang menyebutnya sebagai unta milik anak khalifah, tukas Umar. "Bahkan mereka senantiasa berkata berilah makan dan minum untuk unta milik putra khalifah itu", Khalifah Umar sangat masygul, karena ia menganggap tidak adil jika unta itu gemuk karena orang-orang yang menghormati Putra Khalifah.
Akhirnya, khalifah memutuskan, "Hai anakku, jualah segera untamu itu dan ambillah sekedar modal pembelianmu dulu lalu serahkanlah kelebihannya pada Baitul Mal milik negara dan umat Islam."
Keputusan ini jelas mencengangkan banyak orang tapi begitulah seharusnya setiap muslim bersikap. Dalam pandangan Umar, sungguh tidak adil jika keuntungan dalam berdagang diraih Abdullah lebih karena ia adalah putra khalifah. Tidak searah dan tidak sejalan pula dengan prinsip keadilan jika kekayaan yang diperolehnya disebabkan ia seorang anak kepala negara. Tidak adil bila ia menguasai perdagangan lewat fasilitas yang didapat lantaran ia anak seorang pejabat.
Sikap Khalifah Umar yang kerap bertindak tegas secara adil patut kita teladani. Lebih-lebih pada saat ini, ketika banyak orang berbicara tentang keadilan tapi mereka tidak memahami esensinya. Keadilan sering diteriakkan dan dilontarkan. Tapi tak setiap hari keadilan itu terbukti dalam kehidupan. Padahal, berbicara tentang keadilan, apakah dipandang dari sisi politik, ekonomi, sosial masyarakat, maupun agama, merupakan proses yang wajib dilaksanakan dan akan memberi dampak buruk bila ditinggalkan.
Supremasi keadilan yang dijabarkan Umar Bin Khattab sebagai khalifah pada putranya Abdullah, antara lain berpijak pada,
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. – QS. Ar-Rahman:7-9
Allah juga berfirman dalam Hadits Qudsi "Wahai segenap manusia. Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku, demikian pula aku tetapkan kezaliman itu haram pula atas kalian. Untuk itu, janganlah kalian berbuat aniaya baik atas sesama maupun pada diri kalian sendiri."
Dalam konteks firman Allah tersebut di atas, Khalifah Umar berasumsi, sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab suci agar manusia menegakkan keadilan karena di atas keadilan itulah didirikan langit dan bumi. Bila keadilan telah menunjukkan wajah dan arahnya dalam segala bentuknya, maka di situlah akan terbangun syariat Allah. Keadilan adalah lawan dari segala macam kezaliman, penganiayaan, dan perkosaan hak orang lain. Keadilan di lapangan masyarakat dan kemanusiaan berdampingan dengan apa yang dinamakan Ihsan (kebajikan). Jika keduanya berpadu, dia akan menjadi keadilan sosial yang hakiki dan tinggi seperti digambarkan dan dialami dalam peristiwa-peristiwa di atas.
Khalifah Umar sebagai pemimpin bertindak keras dan tegas walaupun kepada anak dan istrinya sendiri. Sikap ini jelas akan menjamin terciptanya keadilan di berbagai bidang kehidupan. Karena itu, jika tidak dapat menguasai jiwa dan mengubah sikap masyarakat, keadilan yang sering diagungkan tidak lebih dari sekedar teori muluk, tanpa makna dan isi. Atau hanya menjadi slogan dan angan-angan tanpa kenyataan.
Disadur dari majalah Sabili Edisi No. 19 TH. IV april 1999/20 Dzulhijjah
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!