Tidak mudah menjadi seorang ayah di era 4.0. Tantangan memimpin keluarga dan mendidik anak di era ini memang sangat berat. Dahulu, seorang ayah memiliki peran yang sangat penting. Titahnya dipatuhi anak dan istri, dan menjadi sumber pengetahuan yang amat penting bagi keluarga.
Ruang gerak seorang ayah harus menafkahi keluarga, seringkali bersentuhan dengan berbagai realitas dan fakta kehidupan. Termasuk bersinggungan dengan masalah-masalah kehidupan yang rumit dan kompleks. Karenanya seorang ayah memiliki wawasan hidup yang jauh berbeda dengan istri, apalagi anak. Sehingga apa kata ayah, dahulu, kerap menjadi sumber ilmu dan kebenaran bagi keluarga.
Kini zaman telah berubah. Anak-anak kerap berbeda pandangan sang ayah yang dianggap tidak cukup update terkait banyak hal. Nasihat ayah bernilai relatif di telinga anak-anak masa kini. Meski mereka tahu, bahwa beberapa hal yang dilarang menjadi pergaulan populer di dunia.
Contohnya merayakan acara Valentine day, Halloween, dan kegiatan pesta serupa tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Bagi anak adalah bagian dari budaya populer yang membangun sikap terbuka, toleran dan kebebasan berekspresi. Tidak ada yang salah!
Ayah zaman ini nasihatnya kerap disanggah oleh anak. Seruan sang ayah, tidak serta merta diikuti oleh anak. Apakah telah sesuai dengan informasi dari maha guru anak-anak zaman sekarang, Google.com? Jika tidak, peduli amat dengan seruan-seruan itu.
Situasi bahkan mulai berbalik. Banyak figur ayah justru mulai ikut arus. tidak mampu lagi mengarahkan anak, malah hanyut memperturutkan maunya anak. Sosok ayah mulai kehilangan tuah dan sakralitasnya. Kewenangan-kewenangan kultural, normatif dan religius berangsur hilang, yang tersisa hanya peran-peran administratif dan kewalian semata.
Mulai dari memilih baju dan pendidikan, lalu berkembang pada pilihan gaya hidup, dan pergaulan anak, sosok ayah hari ini kerap dipaksa untuk selalu berprasangka baik. “Toh, mereka telah cukup dewasa dan memiliki pasokan data untuk memilih apa yang mereka sukai”. Untuk membenarkan situasi itu para ayah bersandar pada satu kata: “Mandiri”.
Perlahan namun pasti anak menggiring ayah-ayah mereka untuk berpikir satu hal “Menyiapkan uang dan memastikan kemapanan penghasilannya, saat sang ayah tak lagi bisa bersama mereka”.
Para ayah berlomba menyekolahkan anak di lembaga-lembaga pendidikan yang prestisius, sambil terus memastikan warisan dan memberikan cukup modal buat masa depan anak-anak. Itulah fungsi dan peran tertinggi seorang ayah bagi anak-anaknya hari ini.
Sungguh jika hal tersebut terus menggejala luas, maka kehancuranlah yang bakal terjadi. Siapa yang bisa menggaransi kecukupan modal dan pendidikan tinggi anak akan sukses di masa yang akan datang?
Tidakkah cukup contoh bagi para ayah, tidak sedikit anak-anak yang difasilitasi dengan uang dan pendidikan bermutu tetapi malah hancur masa depannya karena Narkoba, HIV-Aids, dan terkapar sia-sia di jalanan, tewas dalam kecelakaan lomba balap mobil liar dan ugal ugalan. Tidak kah berita-berita itu cukup menjadi nasihat dan peringatan?
Ayah Bervisi Tauhid
Para ayah perlu segera mengintrospeksi diri. Apakah perannya berfungsi secara benar? Apa sesungguhnya kewajiban dasar di pundak seorang ayah? Mungkin kita semua telah menjadi ayah biologis bagi anak-anak kita, tetapi apakah kita telah menjadi ayah spiritual bagi mereka? Apakah kita telah menjadi imam bagi mereka?
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang pantas diajukan kepada status seorang ayah. Daftar pertanyaan itu bisa Anda perbanyak sendiri untuk muhasabah diri. Intinya, harus ada jeda waktu untuk melakukan “format” ulang atas peran ayah yang hari ini telah disandang.
Islam sesungguhnya memposisikan figur ayah dengan kedudukan yang tinggi dan istimewa. Sosok ayah lebih penting bagi anak dan istrinya. Bukan sebaliknya, suami atau ayah justru mengekor pada kehendak istri dan anak-anak.
“Sekiranya aku perintah seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka benar-benar aku perintah para wanita untuk bersujud kepada suami-suami mereka, karena hak (besar) yang Allâh tetapkan bagi mereka atas istri-istri mereka. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Islam menegaskan tentang kedudukan seorang ayah bagi keluarganya dengan menetapkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Hal itu menjadi ketentuan dasar, bahwa kedudukan kaum laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga adalah ketetapan yang bersifat syar’i, tanggung jawab dan hak yang melekat dengan kedudukan tersebut.
Dalam hadits, diriwayatkan oleh Ibnu Abas, Rasulullah SAW mempertegas kedudukan suami atau ayah dalam rumah tangga:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang kepala Negara adalah pemimpin, suami pemimpin dalam rumah tangganya, istri pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhari).
Jadi jelas, bahwa suami bukan semata-mata kepala keluarga yang memiliki kewajiban administratif belaka. Islam telah mengukuhkan bahwa sosok ayah dan kaum laki-laki pada umumnya berkedudukan sebagai pemimpin dan imam, harus bertanggungjawab atas kepemimpinannya itu.
Apa tugas sosok ayah atau suami, sebagai pemimpin dalam keluarga Islam?
Pertama, mendidik dan mengarahkan agar keluarga terhindar dari neraka. Ini barometer dasar, seorang ayah harus memiliki visi tauhid untuk membawa keluarganya menuju mardhotillah. Tugas penting suami dan ayah adalah menjaga keluarganya agar tidak terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan.
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. – QS. Attahrim: 6
Menjadi ujian besar bagi para suami, mampukah mereka menjadi guru dan imam bagi istri dan anaknya menuju jalan Allah? Atau justru tersesat bersama anak dan istrinya dengan memperturutkan semua kemauan mereka atas nama cinta, serta mengalihkan kewajibannya sebagai pendidik anak kepada pihak sekolah? Ingatlah, menyekolahkan anak tidak menggugurkan kewajiban ayah untuk mendidik dan memimpin anak pada keridhaan Allah.
Kedua, menafkahi keluarga. Fungsi ini merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Allah yang menetapkan para suami sebagai pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Kedudukan tersebut mengakibatkan seorang suami diberi kewajiban untuk menafkahi keluarga.
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. – QS. Annisa: 34
Para suami dan ayah umumnya terjebak dalam fungsi kedua ini. Mereka sibuk mencari nafkah, sampai lupa mengajak anak-istri untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi semua larangan Allah.
Ketiga, menyiapkan generasi yang kuat. Seorang ayah harus memiliki perencanaan untuk masa depan anaknya. Agar dikemudian hari anak-anak ini tumbuh kuat. Dengan cara memberi pendidikan, mengajarkan ibadah agar kuat mental-spiritualnya, serta warisan yang baik berupa harta, akhlak dan budi pekerti atau hal lain yang bisa membuat anaknya menjadi kuat.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. Annisa:9).
Ayat ini sering disalahpahami, seakan orang tua harus meninggalkan warisan harta. Padahal ayat ini dimulai dengan penanaman rasa takut kepada Allah dan diakhiri dengan seruan taqwa dan perkataan yang benar. Harta dan Ilmu perlu kita wariskan, namun yang lebih penting lagi adalah ketaqwaan kepada Allah. Karena sesungguhnya taqwa adalah sebaik-baik bekal.
Keempat, Menegakkan amar makruf nahi munkar. Jika kita rasakan, bagaimana masyarakat kita meluncur menjadi masyarakat apatis, cuek, asal tidak mengganggu, cenderung permisif. Itu semua sesungguhnya telah dimulai dari keluarga.
Tahu anaknya melanggar larangan Allah, tapi orang tua tidak berani mengambil sikap yang semestinya. Bersikap permisif terhadap pelanggaran, enggan mengambil peran amar ma'ruf nahi munkar di tengah keluarga. Padahal ini syariat agama kita. Tiga peran di atas tak akan efektif tanpa peran keempat ini.
Ada banyak kewajiban lain bagi ayah atas anak-anaknya menurut ajaran Islam. Misalnya memberi nama, mendidik, memberi perlindungan dan kasih-sayang, menikahkan dan lain-lain. Namun dalam meneguhkan kembali fungsi ayah sebagai pemimpin bagi keluarga, maka empat kewajiban tersebut adalah yang paling mendasar.
Tentu itu semua harus dilakukan dengan keteladanan. Kepemimpinan seorang ayah atas anak dan istrinya, akan efektif dengan menggunakan pendekatan keteladanan. Jangan harap lahir anak sholeh dan santun, dari ayah yang urakan dan kasar.
Maka mari kita kembali memaksimalkan peran kepemimpinan yang melekat dalam predikat ayah yang kita sandang. Dengan visi dasar, membawa keluarga ini jauh dari neraka dan mendekat ke syurga. Bersikaplah layaknya pemimpin yang baik. Menegur jika diperlukan, melarang, menghardik dan bahkan mungkin menghukum semata-mata agar anak-anak kita tak sesat jalan dan menyeret kita dalam kesesatan.
Jangan sampai atas nama cinta pada anak, justru sosok-sosok ayah kehilangan fungsi kepemimpinannya. Kemudian memperturutkan semua keinginan anak dan memperbudak diri atas nama cinta yang jauh dari petunjuk Allah. Naudzu billahi min dzalik.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!