Isu sengketa wilayah di Laut China Selatan (LCS) kembali menjadi perhatian internasional. Terutama dengan meningkatnya aktivitas China di kawasan tersebut. Para pakar semisal Prof. Dr. Hikmahanto Juwana dan Dr. Peni Hanggarini, membedah isu itu dalam diskusi bertema “Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China” yang diadakan Universitas Paramadina pada Jumat (15/11/2024).
Guru Besar Bidang Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof, Hikmahanto Juwana, dalam diskusi tersebut menyoroti bahwa klaim sembilan garis putus (nine-dash line) yang diajukan oleh China adalah tindakan sepihak dan melanggar hukum internasional. Klaim itu tidak didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), sehingga menjadi sumber perdebatan global.
“China telah menggunakan coast guard untuk melindungi nelayan mereka di wilayah yang mereka klaim. Hal ini memerlihatkan upaya sistematis China untuk mengokupasi wilayah yang sebenarnya berada di bawah kedaulatan Indonesia, seperti yang terjadi di Natuna pada tahun 2016,” ujar Prof. Hikmahanto.
Hikmahanto juga menyoroti peran pemerintah Indonesia dalam menanggapi perkembangan ini, termasuk pertemuan di atas KRI Imam Bonjol pada 2016. Namun, munculnya poin kesembilan dalam Joint Statement terbaru dengan China memunculkan pertanyaan mengenai apakah Indonesia secara tidak langsung mulai mengakui klaim tersebut, meski pun telah diklarifikasi oleh Kementerian Luar Negeri.
Di dalam konteks investasi, Prof. Hikmahanto mengingatkan bahwa investasi senilai 157 Triliun Rupiah yang dibawa oleh Menteri Pertahanan (waktu itu), Prabowo Subianto, dari China harus dipastikan tidak memengaruhi sikap tegas Indonesia dalam isu kedaulatan.
Sementara itu, Dr. Peni Hanggarini memandang, hubungan bilateral Indonesia-China memiliki banyak capaian positif, terutama dalam sektor ekonomi. Ia menyoroti bahwa China adalah investor asing terbesar kedua di Indonesia setelah Singapura, dengan total perdagangan bilateral mencapai USD 139 miliar hingga Maret 2023.
“Kerja sama Indonesia-China telah menghasilkan manfaat signifikan. Namun, kesetaraan dalam pengaruh dan keuntungan masih perlu ditinjau lebih dalam. Apakah kepentingan kedua negara sudah seimbang? Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab,” jelas Dr. Peni.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa strategi China di LCS melalui pendekatan grey zone sebuah operasi koersif di bawah ambang batas operasi militer terbatas berpotensi memicu ketegangan. Hal ini berdampak negatif pada keamanan maritim, jalur perdagangan, aktivitas nelayan, dan stabilitas kawasan.
“Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara middle power. Kita harus konsisten dalam memerjuangkan kepentingan nasional sambil tetap menjaga hubungan baik dengan China,” tegas Dr. Peni.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!