Demokrasi internal tidak pernah disentuh. Seolah-olah itu adalah taken for granted yang terjadi di hulu partai. Akibatnya, partai politik saat ini lebih mirip perseroan terbatas atau milik keluarga. Jadi, jika demokrasi internal di dalam partai tidak ada, bagaimana mau masuk ke ranah publik secara luas?
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Internal dan Oligarki Partai”, yang diadakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan LP3ES secara daring pada Jumat (27/9/2024). Menurut dia, demokratis tidak berjalan jika dipaksa oleh aturan main atau tekanan-tekanan publik, atau ada sensor atau screening atau saringan untuk membersihkan kotoran-kotoran kepentingan.
“Saringannya itu adalah check and balances, kontrol publik, transparansi, dan seterusnya. Jadi, demokrasi internal di dalam partai itu tidak terjadi karena sebab dari para elite partai, bahwa seolah-olah ada titisan-titisan seperti Megawati adalah titisan Soekarno,” tegas Didik.
Sedangkan Dosen Universitas Paramadina, Dr Herdi Sahrasad, melihat bahwa sebenarnya pikiran-pikiran yang mengkhawatirkan tidak adanya demokrasi internal di parpol sudah disuarakan sejak awal reformasi. Tetapi suara-suara itu tidak cukup kuat untuk mengubah budaya yang telah terlanjur terbentuk di dalam partai.
“Semakin ke sini, jadi nampak bahwa tidak ada lagi etika dan nilai-nilai yang dihormati dan menjadi landasan dalam pelaksanaan perpolitikan di Indonesia oleh elite-elite partai politik,” kata Herdi.
Demokrasi internal di dalam parpol saat ini hampir mustahil, karena yang bermain adalah oligarki. “Seperti kata Olle Tornquist bahwa parpol memang dipimpin oleh ketua partai tetapi ketua parpol itu tunduk kepada oligarki modal atau para bohir yang bisa memaksakan kepentingannya kepada para elite partai dan jajarannya,” tuturnya.
“Saat ini demokrasi Indonesia menjadi demokrasi transaksional bahkan demokrasi kriminal karena hanya memainkan uang dan uang saja. Akibatnya, pergerakan ekonomi nasional menjadi tidak terkontrol dan parlemen pun menjadi disfungsional peran kontrolnya. Yang terjadi kemudian terjadilah korupsi yang luar biasa, KKN dan utang yang sangat tinggi hampir 10.000 triliun,” imbuhnya.
“Saat ini butuh revolusi kultural untuk memperbaiki semuanya. Reformasi sudah tidak mampu lagi. Reformasi ekonomi struktural kemarin telah menghasilkan kebijakan ekonomi politik yang tidak berpihak kepada rakyat banyak. Akibatnya, muncul oligarkisme dan demokrasi bukan lagi substansial tetapi demokrasi transaksional dan abal-abal,” katanya.
Sementara itu, Associate Researcher LP3ES, Aisah Putri Budiarti, melihat demokrasi menjadi pilar demokrasi, di mana menjadi hal yang inheren sebagai nilai dan proses yang sudah diatur dalam UU Partai Politik, di mana tidak berdiri sendiri. Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, semua selalu menekankan pentingnya proses dan peran partai, rekrutmen, dan kaderisasi partai politik, serta diatur secara terbuka bersifat normatif, dan lebih rijitnya melalui AD/ART.
“Problem demokrasi internal partai bukanlah semakin matang tetapi menjadi semakin berpolemik, melihat apa yang terjadi di partai politik saat ini. Ada upaya penguatan partai politik internal yang dilakukan oleh berbagai partai, contohnya Partai Golkar, tetapi tetap ada kritik yang datang dari masyarakat,” tutur Aisah.
Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, bahkan menyebut partai politik adalah institusi publik yang paling tidak demokratis. “Partai politik adalah institusi publik yang sejak era reformasi itu paling tidak demokratis, paling tidak reformis, dan paling tidak berubah. Berbagai institusi lain ada banyak yang berubah, tetapi partai politik tidak ada perubahan. Partai politik memiliki publik trust yang paling rendah. Tidak ada perubahan partai politik, di mana tidak terjadi regenerasi,” kata Wijayanto.
Ia menilai, sering kali juga penerusnya adalah keturunan pemimpin partai sebelumnya atau pemilik modal terbesar. Cerita lainnya adalah peran bohir ini adalah memunculkan politik dinasti di sana. Hari ini, kita melihat tak hanya beberapa anggota partai yang terpilih tiba-tiba dianulir oleh partai-partai tertentu, juga kepala daerah yang hasil surveinya bagus tetapi juga dianulir oleh elite.
Bagaimana cara untuk menguraikan problem ini? “Saya sepakat dengan Aisah, dengan menciptakan undang-undang yang reformis. Sayangnya, yang membuat undang-undang ini adalah partai politik. Ibaratnya, telur dan ayam siapa yang turun duluan?” tegas Wijayanto.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!