Menuju sikap ridha dan qana'ah jiwa dan hati itu membutuhkan perjuangan. Perjuangan pasti jalannya penuh rintangan, ujian, dan godaan syahwat kesenangan. Tak bisa melewatinya dengan selamat dan kesabaran, kecuali para pejuang yang sudah terbiasa dengan tempaan. Tempaan-tempaan yang berat akan menguatkan jiwa para pejuang, hingga lahirlah sosok-sosok panutan dan teladan tentang tempaan hidup sebagaimana dua orang mulia dalam sejarah berikut.
Suatu hari, Ibunda Aisyah ra kedatangan salah seorang muridnya. Murid ini tak lain adalah keponakan beliau sendiri. Sangat-sangat dekat, hingga sudah dianggap layaknya anak sendiri. Beliau ajari sendiri dengan menyampaikan kepada dia hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Maka, bercengkeramalah mereka layaknya ibu dan anak tercintanya, hingga sang Bunda bercerita tentang satu episode haru dalam hidupnya semasa masih bersama sang suami mulia tercinta, Rasulullah ﷺ.
Saking inginnya mengajarkan tentang keteladanan kepada sang anak, maka beliau menyebutnya, “Ya-bna ukhti....”. Wahai anak saudariku. Ini termasuk panggilan khas orang Arab.
Sebenarnya, beliau tak sekadar menyampaikan cerita haru agar menarik simpati sang murid. Jauhlah beliau dari tujuan seperti itu. Toh nyatanya yang beliau ceritakan adalah cerita masa lalu, hingga siapa pun tak ada yang tahu. Dan baru sekarang beliau ceritakan kepada muridnya, agar ia belajar tentang makna kehidupan. Dan sang murid pun terhenyak. Disergap rasa kaget yang luar biasa ia bertanya kepada sang Bunda.
“Lalu bagaimana Bunda dan keluarga bisa bertahan hidup..?”
Sekali lagi, hingga sang murid pun tak tahu keadaan gurunya, Bunda Aisyah ra.
Baca juga: Beda Suasana Puasa di Jakarta dan Gaza
Ya, Allah..... Sebenarnya bukan salah sang murid dan anak tercinta, namun sang Bunda gurunyalah yang tak pernah mau bercerita. Sebab, ia telah kenyang mendapatkan arahan dari sang suami mulia, lalu ia ridha menerima.
Sebelumnya sang Bunda bercerita, “Wahai anak saudariku... dulu pun kami pernah menyaksikan bulan sabit, hingga bulan sabit berikutnya, hingga berikutnya sebanyak tiga kali dalam dua bulan, sedang di rumah-rumah Rasulullah ﷺ tak ada api yang menyala.”
Sang murid mengerti dan sangat-sangat paham, itu tandanya Rasulullah ﷺ dan seluruh keluarganya tak makan karena tak ada yang bisa dimasak. Karena tak menyangka itu pernah terjadi pada kehidupan sang Bunda tercinta gurunya, maka terlontarlah pertanyaan dari sang murid tadi.
Sang Bunda menjawab, “Dua benda hitam, kurma dan air. Tetapi ada beberapa tetangga Rasulullah ﷺ dari kaum Anshar yang suka mengirimkan susu kepada kami untuk kami minum.”
Sikap ridha dan sabar adalah kemuliaan. Sebab, keduanya bagian dari ajaran Rasulullah ﷺ. Sebagian orang menyembunyikannya. Sebab, memang boleh jadi mereka akan persembahkan sebaik-baiknya nanti kepada Allah ﷻ. Maka, tak perlu bercerita dan tak perlu menuliskannya di lembar apa pun. Itulah buah tarbiyah Rasulullah ﷺ kepada keluarganya.
Baca juga: Iman di Atas Statistik dan Angka-Angka
Dan itulah kisah sang Guru, Bunda Aisyah ra, yang mengajarkan keteladanan kepada murid tercinta. Bahwa ridha dan sabar itu jauh lebih layak untuk diajarkan agar muridnya kelak menjadi orang yang tegar dan tidak cengeng. Tak seperti para milenial yang tahunya hidup adalah cinta-cintaan, lalu terlena dan terbuai dengan lagu romantisme Aisyah. Bahwa Aisyah adalah simbol romantisme seakan persis dengan lakon yang mereka pelajari dan simak dari pelajaran drakor. Bedanya, yang di lagu bagi mereka adalah romantisme islami, atau mungkin syar'i.
Kisah epik ini diceritakan langsung oleh murid tercinta beliau, Urwah bin Zubair, anak dari saudarinya bernama Asma binti Abi Bakar ra. Ada di dalam Sahih Bukhari 2567 dan Muslim 2972. Imam Nawawi mengutip hadits ini dan menempatkannya pada bab “Keutamaan Lapar dan Berkeras-keras dalam Hidup”.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!