Amerika Serikat baru-baru ini berhasil memaksakan berlakunya gencatan senjata di Lebanon antara Israel dan Hizbullah. Ini sebuah langkah yang menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik keputusan tersebut. Analis menunjukkan bahwa langkah ini – seperti halnya banyak kebijakan luar negeri AS lainnya di Timur Tengah – lebih menguntungkan Israel dibandingkan pihak lain.
Keuntungan Bagi Israel
Gencatan senjata yang diumumkan Presiden Joe Biden pada 27 November 2024 itu memberikan Israel waktu untuk mengonsolidasikan kekuatan setelah 15 bulan melancarkan agresinya yang intens. Israel mengalami kerugian besar dalam perang tersebut, termasuk mengalami kerusakan signifikan pada pesawat tempur, tank, dan kendaraan militer lainnya. Selain itu, stok senjata Israel yang telah diisi ulang beberapa kali selama perang pun kini kembali menipis, dan kemampuan pabrik senjata Barat tidak mampu memenuhi kebutuhan Israel dengan segera.
Keputusan tersebut memberikan waktu bagi Israel untuk memerbarui persenjataan mereka, sekaligus melindungi kepentingan strategis Amerika Serikat di kawasan. Sebagai sekutu utama Israel, AS memberikan jaminan rahasia yang dikabarkan oleh saluran berita Channel 12. Jaminan rahasia itu mencakup dukungan penuh terhadap perang Israel-Iran, upaya melemahkan Hizbullah melalui penguatan militer Lebanon, dan pencegahan Hizbullah untuk memerkuat kembali persenjataannya.
Selain itu, keberhasilan Israel dalam menghancurkan sebagian besar infrastruktur militer dan ekonomi Hizbullah selama perang menjadi pencapaian strategis mereka. Hizbullah kehilangan sejumlah pemimpin utama mereka yang sulit digantikan, sebagai hasil dari operasi intelijen Israel yang telah disiapkan selama bertahun-tahun.
Di sisi lain, Hizbullah menerima gencatan senjata akibat kerugian besar yang mereka alami. Selain kerugian material dan manusia, basis pendukung Hizbullah juga melemah akibat migrasi penduduk serta tekanan politik dan ekonomi internal. Iran, sebagai pendukung utama Hizbullah, juga menghadapi tekanan internasional yang memaksa mereka untuk mengurangi dukungannya demi menyelamatkan kepentingannya sendiri.
Namun, banyak pengamat mengritik keputusan Iran untuk tidak mengambil sikap lebih tegas. Mereka menilai bahwa langkah mundur Iran justru melemahkan posisi mereka di mata Barat. Sebaliknya, Barat cenderung menghormati kekuatan dan keseimbangan, bukan konsesi atau retorika kosong.
Amerika di Balik Konflik
Gencatan senjata ini menegaskan peran Amerika Serikat sebagai aktor utama dalam konflik Timur Tengah. Presiden Biden, melalui pernyataannya, menggarisbawahi posisi Amerika sebagai pengatur perang, dengan Israel sebagai perpanjangan tangan untuk mencapai tujuan strategis AS. Pernyataan terkenal Biden, “Jika Israel tidak ada, kami akan menciptakannya,” menggambarkan hubungan timbal balik antara kedua negara.
Amerika memanfaatkan Israel untuk memerluas pengaruhnya di kawasan kaya sumber daya alam dan lokasi strategis ini. Sebaliknya, Israel juga menggunakan dukungan Amerika untuk melindungi kepentingan domestik dan regionalnya.
Gencatan Senjata yang Rentan
Meski saat ini gencatan senjata telah berlaku, kondisi ini masih rentan. Faktor-faktor semisal tekanan dari Mahkamah Pidana Internasional, menurunnya dukungan internasional terhadap Israel, serta konflik politik internal di Israel, dapat memicu ketegangan baru. Jika Iran memutuskan untuk memerkuat kembali Hizbullah atau jika koalisi Netanyahu terancam, perang dapat kembali pecah kapan saja.
Kesepakatan ini hanya menguntungkan kedua belah pihak dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka panjang, kestabilan kawasan ini tetap berada di bawah ancaman. Keputusan Amerika untuk memaksakan gencatan senjata ini tidak hanya menyelamatkan Israel dari kerugian lebih lanjut, tetapi juga menunjukkan bagaimana kepentingan geopolitik global terus mendikte dinamika konflik di Timur Tengah.
(Sumber: Ahmedmansour.com | Ahmed Mansour)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!