Salah satu atas pertanyaan ini adalah karena banyak orang yang melakukannya atau suatu bentuk banalisasi korupsi. Kalau banyak orang ynag melakuakannya menjadikan kejahatan itu sebagai sesuatu hal yang biasa. Seakan-akan kebiasaan itu menciptakan hak. Dan, kalau satu di tuntu, lalu semua harus bertanggung jawab .kalau “semua bertanggung jawab” bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggung jawab? Dimana persis seperti penjaraha yang di lakukan oleh banyak orang. Dengan melakukan secara beramai –ramai, seakan-akan tindakan itu sah karena semua termaksud didalamnya. Dan kalau semua ikut, seakan-akan sama dengan untuk kepentingan umum. Siapa yang berani melawan kepentingan umum. Siapa yang berani melawana kepentingan umum? Dimana alsan banyak orang melakukan dan dijadikan alibi tangggung jawab pribadi dan banalisasi (menjadikan biasa) kejahatan. Karena banyak orang melakukannya dan sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah bisa mengubah yang jahat menjadi baik. Padahal yang sebenarnya yang terjadi ialah bahwa kebiasaan jahat telah membungkam nurani pelakunya.
Semua orang itu tahu, seperti kata aristoteles, keutamaan diperoleh bukan semata-mata melalui pengetahuan, melainkan melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. Pertanyaan ini ingin menyangkal pandangan yang menyatakan kalau orang tahu otomatis bisa melakukan . bukan rahasia lagi, para pemuka masyarakat dan pemuka agama juga mempunyai kelemahan yang di mana sama dengan orang kebanyakan salam kehidupan moral.pengetahuan kepiawaian berbicara, dan kedudukan tidak menjamin konsistensi dalam tindakan . antara “tahu” dan “bisa melakukan” itu masih ada jarak yang dalam. Kalau keutamaan merupakan buah dari kebiasaan “melakukan yang baik”, kejahatan juga merupakan hasil dari kebiasaan.
Kebiasaan akan menciptakan struktur hidup sehingga memudahkan untuk bertindak. Orang tidak perlu susah payah berfikir, mengambil jarak atau memberi makna setiap kali bertindak. Dan itulah ungkapan praktis (Anthony Giddens, 1986). Seperti bangun tidur, tidak perlu harus berfikir lagi ketika turun dari tempat tidur, menapakkan kaki kiri dulu atau kaki kanan dulu. Memang kesadaran praktis memudahkan hidup, tetapi juga membuat malas. Demikian juga dengan halnya korupsi. Kalau orang bisa hidup enak dengan korupsi, dan banyak orang melakukannya, tidak perlu lagi berfikir, mengambil jarak, dan mempertanyakan makna dari tindakannya. Dan, kiatnya justru “ jangan sekali-kali berfikir tentang nilai moral!” dan kegiatan yang terakhir ini harus melibatkan kesadaran reflektif ( mengambil jarak, kritis, mempertanyakan, dan memberi makna tindakan) yang merupakan kegiatan yang di mana melelahkan . apalagi implikasi kesadaran reflektif menuntut dari pada perubahan.
Perubahan membawa ketidak pastian. Kepastian itu menakutkan. Maka, lebih baik meneruskan kebiasaan korupsi yang enak itu. Tetapi, bukankah semua tindakan, sejahat apa pun, selalu membutuhkan dari pada suatau pembenaran? Menang, karena dalam setiap interaksi selalu ada aspek sanksi yang tidak lepas dari maslah moralitas. Justru dalam upaya mencari pembenaran tindak korupsi ini, kelihatan proses bagaiman koruptor bisa tidak merasa bersalah. Ada beberapa alasan yang menjadi pondasinya: kenikmatan lebih besar dari pada ancaman rasa sakit;impersonalisasikan korban korupsi; mekanisme silih atas kejahatan.
Banyak koruptor di indonesia menikmati impunitas (tiadanya hukum). Kemungkinan ketahuan sangat minim (kecil) lemah, dan tidak efektifnya pengawasan . seandainya ketahuan, bila berakibat menyeret banyak orang lain, lebuh baik didiamkan. Seandainya tertangkap dan di proses secara hukum, besar kemungkinan, lepas dari jerat hukum. Bisa karena aparat penegak hukum korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberi alibi, melemahkan bukti hukum mematahkan keterangan saksi yang memberatkan dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.
Dalam banyak kasus, proses hukum seperti itu justru berbalik menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitas pelaku korupsi. Memang sdemua prosedur yang dianggap adil suda diikuti, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan rasa keadilan. Karena secara legal tidak terbukti melakukan korupsi, lalu seakan-akan secara moral dibenarkan. Dengan cara itu koruptor merasa dibebaskan dari beban rasa bersalah. Padahal yang legal tidak sama dengan yang moral.
Koruptor biasanya tidak mau menyamakan diri dengan pencuri atau perampok, meskipun perilaku dan hasil yang diakibatkannya sering lebih jahat daripada pencuri atau perampok. Pemberian nama kejahatan kerah putih sudah meringankan beban, artinya tidak diperlakukan seperti pencuri ayam atau penodong. Maka jarang terjadi bahwa koruptor yang tertangkap dianiaya atau dimasa maskipun kerugian atau petaka yang di akibatkanya lebih dahsyat. Istilah dari pada kera putih itu sendiri memberi aroma elite, sebuah eufemisme yang melegakan karena berarti tidak akan dilakukan oleh buru kasar atau orang yang tak berpendidikan. Yang menyedihkan lagi ialah bahwa korban korupsi sering tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewengan uang negara atau rakyat. Siapa yang dirugikan tidak langsung terlihan, berbeda dengan penodongan atau peramokan.
Kalau yang dirugikan negara, siapa itu negara?negara itu tidak bisa sedih, ia tidak bisa menangis. Kalau yang dirugikan rakyat,siapa yang dimaksud rakyat? Orang banyak itu tidak punya wajah, berarti sama dengan anonim. Kalau pemiliknya anonim, mengapa harus merasa bersalah karena dirugikan tidak kelihatan. Lagi pula apakah ada hubungan kepemilikan langsung antara uang dan korupsi dan rakyat? Atas dasar apa rakyat mengklaim kepemilikan itu?dan, bila korupsi itu nerupa upeti dari pengusaha, mereke ini bisa mendapat ganti dengan membebankan kepada kosumen.lagi-lagi berhadapan dengan korbananonim karena yang namanya konsumen itu juga orang banyak. Orang banyak itu tak punya wajah. Kalau korupsi itu dilakukan dengan memeras orang-orang yang menginginkan jabatan tertentu, orang-oran itu akan mwndapat untung jauh lebih banyak daripada yang harus dibayarkan. Dari mana uang itu? Jabatan memungkinkan untuk mengambil uang negara, menyalahgunakan dana masyarakat dan memeras pengusaha. Apalagi uang pengusaha juga dari utang di bank.
Uang korupsi tidak dimakan sendiri, tetapi juga dinikmati oleh banyak orang lain, untuk kepentingan partai, lembaga amal, rumah yatim, membangun rumah ibadat, membantu korban banjir, dan sebagainya. Tetapi, sebagian saja, ya!
Dalam kegiatan politik, berkat hasil korupsi, partainya mendapat perolehan kursi wakil rakyat lebih banyak, akan semakin menghapus perasaan bersalah itu. Dana kampanye, biaya menyogok wakil rakyat bisa dipenuhi. Dan pada gilirannya, semakin memperkokoh kekuasaan sehingga terbuka peluang lagi untuk korupsi. Hal-hal seperti ini memacu partai-partai berebut jabatan-jabatan basah untuk menandai pemilu berikutnya. Para koruptor itu merasa di atas hukum. Merekan merasa aka dibela oleh institusi atau organisasi yang memperkerjakan. Kalau masih terusik nuraninya, alokasikan sebagian untuk kepentingan agama atau rumah ibadat, maka dosa kejahatan itu sudah tertebus.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!