Mengembalikan Esensi Hari Ibu
Setiap 22 Desember, kita mengucapkan “Selamat Hari Ibu”. Ada sejarah di balik ucapan yang berulang setiap tahun itu. Namun, sering kali maknanya justru kian kabur.
Hari Ibu di Indonesia lahir dari sebuah kesadaran besar tentang peran perempuan dalam membangun bangsa. Maka, Hari Ibu tidak bisa hanya dimaknai menjadi perayaan simbolik, unggahan manis di media sosial, atau ajang narasi ideologis yang menjauh dari sejarah kelahirannya.
Sejarah mencatat, Hari Ibu di Indonesia berakar dari penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang digelar pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Hanya berselang beberapa minggu setelah dikumandangkannya Sumpah Pemuda. Kongres ini menjadi ruang pertemuan perempuan dari berbagai organisasi, latar belakang sosial, dan daerah. Di antaranya Aisyiyah, Wanita Oetomo, Putri Indonesia, hingga perwakilan perempuan daerah, yang sama-sama memikirkan nasib perempuan dan masa depan bangsa yang ketika itu masih berada di bawah penjajahan.
Yang penting dicatat, kongres ini tidak lahir dari semangat permusuhan terhadap keluarga, pernikahan, atau peran ibu. Justru sebaliknya, para perempuan peserta kongres ini menyadari bahwa persoalan perempuan tidak bisa dilepaskan dari rumah tangga, pendidikan anak, dan kondisi sosial masyarakat. Isu-isu yang dibahas pun sangat konkret dan mendasar, tentang perkawinan usia dini, buta huruf di kalangan perempuan, kesehatan ibu dan anak, serta bagaimana perempuan bisa berkontribusi bagi perjuangan kemerdekaan tanpa tercerabut dari nilai agama dan budaya.
Karena itu, ketika 22 Desember kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu, maknanya bukan hanya sekadar selebrasi romantik, apalagi glorifikasi individual. Hari Ibu dimaksudkan sebagai hari peringatan dan pengingat akan kesadaran perempuan Indonesia terhadap tanggung jawab sosialnya. Ibu dipahami sebagai pusat pembentukan generasi, penjaga nilai, dan fondasi masyarakat. Inilah esensi awal Hari Ibu yang kini sering terlupakan.
Pada masa itu, perjuangan perempuan Indonesia tidak dilepaskan dari nilai agama, budaya, dan tanggung jawab sosial. Salah satu figur yang mencerminkan hal ini adalah Rasuna Said, seorang muslimah berhijab, cerdas, dan berani. Rasuna Said dikenal sebagai orator ulung yang lantang membela hak-hak rakyat dan perempuan di masa kolonial. Ia memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, menentang ketidakadilan hukum, dan vokal terhadap penindasan, hingga dijuluki berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menariknya, perjuangan Rasuna Said tidak pernah lahir dari kebencian terhadap kodrat atau peran keibuan. Ia tidak memusuhi nilai-nilai domestik, tidak merendahkan peran ibu, dan tidak memisahkan perjuangan perempuan dari akarnya sebagai muslimah. Bagi Rasuna Said, perempuan bisa berpendidikan, berpikir kritis, dan berjuang di ruang publik, tanpa harus menanggalkan identitasnya sebagai perempuan beriman dan calon ibu. Inilah wajah perjuangan perempuan yang utuh tidak terpecah antara publik dan domestik.
Mengembalikan esensi Hari Ibu berarti mengembalikan cara pandang ini. Bahwa ibu bukan sekadar status biologis, melainkan peran peradaban. Bahwa rumah tangga bukan ruang pasif, melainkan ruang strategis tempat nilai, akhlak, dan keberanian moral ditanamkan. Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi tentang bagaimana perempuan — khususnya ibu — memegang peran sentral dalam menentukan arah masyarakat, serta tidak seremeh peran simbol yang kerap dirayakan satu tahun sekali.
Sayangnya, seiring waktu, makna perjuangan perempuan mengalami pergeseran. Perayaan Hari Ibu kini sering diseret ke dalam narasi feminisme modern yang memandang peran domestik dengan kacamata curiga. Ibu rumah tangga dianggap tidak produktif. Mengurus anak dan rumah disebut sebagai bentuk pengekangan. Perempuan yang memilih fokus pada keluarga sering diposisikan sebagai korban sistem, seolah-olah ia tidak punya kesadaran dan pilihan. Banyak narasi hari ini yang memotret peran ibu seolah-olah selalu sebagai kerugian. Seakan ketika seorang perempuan memilih berada di ranah domestik, ia otomatis kehilangan nilai, kehilangan hak, dan kehilangan pengakuan.
Jika kita bedah lebih jauh, kaum feminis sangat sensitif terhadap peran domestik ibu karena cara mereka memaknai “nilai manusia” sejak awal sudah bermasalah. Nilai diukur hanya dari apa yang diakui negara, dicatat oleh sistem, dan dihitung secara ekonomi. Maka ketika pengabdian tidak bisa digaji, pengorbanan tidak bisa dikontrak, dan cinta tidak bisa dilegalkan, semuanya dianggap masalah.
Kekerasan, penelantaran, dan ketidakadilan dalam rumah tangga adalah kezaliman yang harus dilawan. Tetapi menjadikan peran domestik ibu sebagai sumber masalah adalah kekeliruan besar. Yang rusak bukan perannya, melainkan tanggung jawab dan akhlak sebagian manusia di dalamnya. Banyak sekali perempuan yang sadar, memilih, dan menemukan makna hidupnya dalam merawat keluarga. Menghapus kemungkinan ini sama saja dengan meniadakan suara perempuan itu sendiri.
Islam sejak awal memiliki pandangan yang sangat berbeda. Di dalam Islam, ibu bukan peran kelas dua. Rasulullah ﷺ menempatkan ibu pada kedudukan yang luar biasa tinggi, bahkan mendahulukannya tiga kali sebelum ayah dalam hal bakti anak. Surga digambarkan berada di bawah telapak kaki ibu. Hal itu menegaskan bahwa pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang seorang ibu adalah jalan menuju kemuliaan.
Islam tidak memisahkan nilai antara kerja publik dan domestik. Keduanya bernilai ibadah, selama dijalani dengan niat yang benar.
Karena itu, mengembalikan esensi Hari Ibu berarti mengembalikannya sebagai hari penghormatan. Bukan hari untuk mendikte perempuan harus menjadi apa, tetapi hari untuk menghargai peran yang dijalani dengan sadar dan penuh tanggung jawab.
Selamat Hari Ibu. Kepada setiap perempuan yang menjadi ibu, baik yang mengabdikan dirinya di rumah maupun yang berkiprah di ruang publik. Kemuliaanmu tidak ditentukan oleh di mana kamu berada, tetapi oleh amanah yang kamu jaga.
Ibu tidak perlu diseragamkan perannya. Apalagi direndahkan salah satunya. Karena setiap pilihan yang dijalani dengan kesadaran dan tanggung jawab adalah bentuk pengabdian yang layak dihormati.