Menggali Lagi Kebangsaan, Pancasila, dan Penerapan Hukum Allah yang Maha Kuasa
Praktisi hukum, Prof. DR. H. Eggi Sudjana, SH, M.Si, mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara dalam acara “Bincang-bincang Kebangsaan”, Ahad, 27 Agustus 2023, di Aula masjid Baiturrahman, Menteng Atas, Jakarta Selatan. Di acara yang mengangkat tema “Pancasila dan Penerapan Hukum Allah yang Maha Kuasa” itu, Eggy menuturkan, kehadiran Rasulullah saw dan nabi-nabi sebelumnya adalah untuk menyempurnakan iman, islam, dan ihsan.
“Esensi ajaran Islam ada tiga. Pertama, aqidah. Kedua, syariah. Ketiga, akhlak. Esensi artinya inti pokok. Untuk mempelajari Aqidah, butuh yang namanya ilmu tauhid. Pelaksana ilmu tauhid namanya iman. Syariah kajian keilmuannya namanya fiqih. Pelaksanaan ilmu fiqih menjadi Rukun Islam atau hukum-hukum Islam. Sedangkan kajian tentang akhlak itu namanya tasawuf. Pelaksanaan ilmu tasawuf itu menjadi ihsan. Kehadiran Rasulullah dan nabi-nabi sebelumnya adalah untuk menyempurnakan iman, Islam dan ihsan itu. Insya Allah jumhur ulama sudah sepakat (tentang hal itu),” katanya.
Lebih lanjut, Eggy menjelaskan, kalau dirinci lebih dalam penjelasannya adalah aqidah syariah merupakan materi tentang ajaran Islam. Ilmu tentang materi adalah tauhid, fiqih, tasawuf. Sedangkan pelaksanaan dari ilmu tersebut adalah iman, Islam, dan ihsan. Menurut dia, hal ini penting karena umat Islam sekarang banyak yang tidak bisa membedakan antara iman dan aqidah.
Baca Juga : Kepemimpinan Berparadigma Tauhid
“Oleh karena itu, secara metodologi saya membagi menjadi klausul-klausul atau klaster-klaster. Aqidah, syariah, akhlak ini masuk klaster materi. Tauhid, fiqih, tasawuf, masuk klaster keilmuannya. Melaksanakannya klasternya itu namanya iman, Islam, ihsan,” ucapnya.
Lanjut Eggy, jika diperas lagi, konteks esensi Islam itu menjadi tiga, yaitu iman, hijrah, dan jihad. Ini dalilnya adalah Surat Al Baqarah: 280. Iman merupakan rumusan yang mewakili syariah dan aqidah. Setelah kita beriman dengan benar, kita berhijrah. Jika zaman dulu hijrah berwujud pindah tempat, misalnya dari mekah ke Madinah, maka sekarang ini kita hijrah dalam perspektif nilai. Nilai-nilai yang kita anut sebagai ajaran Islam itu kita wujudkan dalam bentuk nilai yang bisa kita buat sehari-hari, misalnya berusaha untuk menjadi jujur dari sebelumnya tidak jujur, dan seterusnya.
“Setelah hijrah nilai, untuk upaya melaksanakannya kita wujudkan dengan jihad. Tanpa jihad, itu tidak mungkin terwujud. Tetapi ironisnya, ajaran tentang jihad ini paling ditakuti sehingga tidak diajarkan. Banyak argumentasi untuk itu. Seolah-olah jihad ini berkonotasi kekerasan dan hal-hal yang sifatnya membuat pecah belah, peperangan, dan sebagainya,” katanya.
Ada masalah lain, menurut Eggy. Kata dia, dalam penerapan pendidikan kita, yang dibangun adalah sekularisme. Sekularisme berasal dari bahasa latin “saeculum”, yaitu kekinian (dunia masa kini). Nah, di dalam konteks kesekarangan, agama tidak boleh ikut campur dalam aktivitas rutin sehari-hari. Bahkan, kata dia, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa politik harus dipisah dengan agama.
“Jadi sudah terkondisi sejak kecil pola pikir (kita) sudah terbelah. Padahal, Islam mengajarkan satu kesatuan, yaitu iman, Islam dan ihsan. Tetapi sistem pendidikan kita tidak menopang untuk menegakkan Islam itu sendiri. Harus dimengerti dulu Indonesia ini kita lihat filosofisnya, historisnya, sosiologisnya, psikologisnya, suasana kebatinan bangsa Indonesia, dan yuridisnya (hukum yang diakui sah oleh pemerintah, red). Di Indonesia, awalnya berkembang animisme, politheisme, dan kemudian menjadi sinkretisme. Inilah kondisi bangsa Indonesia sebelum proklamasi 1945,” urainya.
Baca Juga : Sudah 78 Tahun Merdeka, Dunia Pendidikan Kita Hanya Bisa Ciptakan Pencari Kerja
Di dalam pengertian Islam, sinkretisme adalah musyrik. Itu ajaran yang tidak proporsional dalam Islam. Eggy lantas menyebut, sinkretisme di Indonesia dihabisi oleh proses dakwah yang cemerlang melalui Wali Songo. Wali Songo dengan segala kemampuannya telah mampu mengubah keadaan masyarakat dari sinkretisme menjadi berpaham tauhid. Pasca Wali Songo, nilai-nilai itu diperjuangkan lagi oleh tokoh-tokoh lokal semisal Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Tjoet Nyak Dien, Teuku Umar, dan lain-lain, yang semuanya mengacu kepada penegakan tauhid.
Eggy melanjutkan, sejarah terus berjalan. Kemudian, kita masuk pada wilayah politik. Ada partai politik namanya Masyumi. Masyumi itu representasi kekuatan politik dari kaum muslimin. Namanya saja Masyumi, Majelis Syuro Kaum Muslimin Indonesia. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini, harus dimengerti (bahwa) Maysumi itu (sebagai) kumpulan dari tokoh-tokoh Islam, baik dari NU, Muhammadiyah, Persis, SI. Dan representasi politiknya adalah Pemilu tahun 1955 ada tiga partai besar, yaitu PNI, Masyumi, dan PKI. Ini fakta sejarah. PNI sekarang turunannya adalah PDI-P. Masyumi sekarang turunannya pecah-pecah, ada PKS, PPP, PAN, Partai Ummat, PKB. Suka atau tidak, itu adalah representasi Masyumi. Nah, pertanyaan seriusnya adalah ke mana PKI sekarang?
“PKI dengan gaya barunya, sekarang menguasai politik. Berapa banyak yang menjadi Anggota DPR? Bahkan Ribka Tjiptaning menyatakan, setidaknya ada 15-20 juta kadernya (PKI), dan belum lagi sekarang berhimpitan dengan tenaga kerja dari China masuk ke sini (Indonesia), yang banyak diduga itu sebenarnya militer, karena mereka sudah dididik dengan pendidikan militer. Ini adalah gambaran bahwa sekarang ini kita dikuasai oleh tokoh-tokoh yang bukan Islam. Sehingga, 7 kali ganti presiden, 78 tahun Merdeka, kita tersingkirkan terus dari segi nilai-nilai penegakan hukum Islam,” jelasnya.
Tetapi, Eggy mengakui, sudah dikaji secara intelektual, dalam skala 100%, sekarang ini 75% hukum Islam sudah berlaku. Sebab, aktivitas individu dalam melaksanakan syariat Islam semisal shalat, puasa, zakat, semuanya telah berjalan sesuai esensi. Selain itu, aktivitas muamalat semisal bidang ekonomi yang terlihat dari berjalannya operasional bank-bank syariah, semua pun bisa berjalan. Satu lagi adalah tentang keluarga, semisal nikah, talak, rujuk, bahkan pengadilannya pun ada, yaitu pengadilan agama.
“Saya mengasumsikan 75% nilai-nilai hukum Islam sudah berjalan. Yang tidak berjalan adalah 25% yang keempat yaitu tentang jinayah, yaitu hukum pidana Islam, tata negara, hubungan internasional. Jadi jangan kita pesimis. Sebab, 75% hukum Islam sudah berjalan, tinggal 25% lagi. Kepada generasi kita, harus mendesak untuk mengondisikan berlakunya syariat Islam. Itu dibenarkan oleh Pancasila dan UUD 1945,” tegasnya.
Baca Juga : Renungan Kemerdekaan: Kabel yang Masih saja Bikin Sebel
Eggy menuturkan, pada 1 Juni 1945 Ir Soekarno berpidato yang mengemukakan tentang lahirnya Pancasila. Di dalam pidato itu, Soekarno menempatkan Ketuhanan di sila nomor lima. Banyak tokoh kemudian mendebatnya. Maka lahirlah Tim Sembilan yang mengadakan pertemuan 22 Juni di Jakarta. Di hari itu, lahirlah Piagam Jakarta, yang menegaskan sila pertama adalah Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Seharusnya Soekarno dan Hatta saat mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus 1945, membacakan teks Piagam Jakarta itu. Tetapi fakta Sejarah yang mengungkapkan, Piagam Jakarta tidak jadi dibacakan. Yang dibacakan di hari kemerdekaan adalah Teks Proklamasi Kemerdekaan.
Pada 18 Agustus 1994, menurut Eggy, Ketua Muhammadiyah saat itu, Ki Bagus Hadikusumo, memprotes tidak dibacakannya Piagam Jakarta saat proklamasi kemerdekaan. Lalu terjadilah pertemuan yang menyepakati bahwa Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Lalu ada protes dari wakil Indonesia timur tentang tujuh kata pada sila pertama (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Diadakanlah pertemuan, dan disepakati tujuh kata yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu dicoret dan sila pertama diganti dengan kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa”. Jadi, sila “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah hadiah terbesar dari umat Islam untuk bangsa ini, karena umat Islam Ketika mengalah dan kalimat syariat itu dicoret.
“Menurut ahli strategi, ini kejadian yang luar biasa dan hebat. Mengapa? Karena mereka menilai bahwa dengan dicoretnya tujuh kata itu, maka hilanglah syariat Islam dan kita (umat Islam, red) akan lemah. Padahal, justru ini adalah substansi ilmu tauhid. Sebab, sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ itu bermakna tauhid, karena Tuhan yang maha esa adalah Allah. Dan hal itu disebut (juga) dalam Mukadimah UUD 1945, ‘berkat rahmat Tuhan yang maha kuasa (Allah) dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,’ itu artinya apa? Urusan syariat di sila pertama itu diganti dengan tauhid, artinya tauhid-lah yang mendasari negara kita. Selanjutnya, syariat tinggal dilaksanakan. Dan ditambah secara eksplisit di dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945, ‘Negara Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. (Pada) Ayat 2 berisi aturan bahwa negara menjamin seluruh rakyat Indonesia untuk menjalankan agama dan keyakinannya. Pasal ini adalah garansi dasar hukumnya,” tutupnya.