Sudah 78 Tahun Merdeka, Dunia Pendidikan Kita Hanya Bisa Ciptakan Pencari Kerja

Sudah 78 Tahun Merdeka, Dunia Pendidikan Kita Hanya Bisa Ciptakan Pencari Kerja
Dr. H. Anwar Abbas, M.M, M.Ag, Wakil Ketua Umum MUI Pusat / sabili.id

Ada harapan yang tinggi tertancap pada dunia pendidikan Indonesia. Hal itu dituangkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 UU itu menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Di dalam perbincangan khusus dengan sabili.id, Dr. H. Anwar Abbas, M.M, M.Ag, mengatakan, sistem pendidikan kita yang tercermin dari sekolah-sekolahnya saat ini belum mencapai tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa. Sebab, agama tidak hanya tentang ritual tetapi juga perilaku. Perilaku yang kerap ditunjukkan para pejabat yang mengarah pada sifat hedonism, suka pamer, gemar kosupsi, dan akrab dengan kesenangan-kesenangan duniawi, tentu tak sesuai dengan ajaran agama. Namun itulah yang sering terlihat di masyarakat kita.

“Apalagi kita lihat rasa kebersamaan di antara kita sekarang sudah mulai menipis. Gotong royong juga sudah mulai kehilangan ‘sosoknya’. Sudah nggak begitu tampak lagi gotong royong. Sekarang serba dibayar. Jadi tampaknya telah terjadi pergeseran yang nampaknya oleh dunia Pendidikan kita tidak terantisipasi dengan baik. Padahal salah satu fungsi dunia Pendidikan adalah mentransfer nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa kita kepada anak-anak didik,” kata Anwar yang juga menjabat Wakil Ketua Umum MUI itu.
Baca Juga : Sudah 78 Tahun Merdeka, Sejauhmana Pemerintah Menjalankan Amanah Kesehatan?

Anwar Abbas pun menyoroti perilaku anak didik saat ini. Tawuran di kalangan pelajar masih sering terjadi, jumlah kasus bullying masih tinggi, dan semua itu tak sesuai dengan kata “akhlaq” yang ingin diwujudkan lewat tujuan pendidikan kita.

“Jadi, dunia Pendidikan kita mungkin sudah agak berhasil dalam mencerdaskan peserta didiknya. Tetapi belum bisa mencetak anak didik yang beriman, bertaqwa, serta memiliki akhlaq mulia,” ujarnya.

Pria kelahiran Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, itu menegaskan, jika ingin mewujudkan tujuan itu kita harus menerapkan teori N-K (niat dan Kesempatan). Jika ingin dunia Pendidikan kita dapat mencetak lulusan-lulusan yang memiliki akhlaq atau morality berstandard tinggi, sistem kita harus mengusahakan bagaimana caranya supaya dalam kehidupan kita ini orang tidak punya niat buruk terhadap orang lain, dan kalau pun ada niat, mereka tidak bisa merealisasikan niat buruk itu karena sistem kita sudah baik.

“Salah satu contohnya, ketika mengurus paspor di masa lalu kantor imigrasi boleh dikatakan menjadi tempat tambang uang bagi oknum tertentu, karena harus ada banyak prosedur ini dan itu yang memakan waktu. Maka, ada kesempatan untuk menyingkat waktu dan prosedur yang membuka peluang korupsi itu. Tetapi setelah sistemnya diperbaiki oleh pemerintah, sekarang orang bisa daftar lewat online, siapkan data secara online, bayar secara online, kemudian pergi ke kantor imigrasi ambil foto, dalam dua hari paspor bisa diambil tanpa bayar. Sistemnya telah membuat orang tidak melakukan praktik-praktik tidak terpuji. Jadi, kesimpulannya adalah kehidupan yang baik tidak hanya ditentukan oleh niat, tetapi juga oleh kesempatan. Oleh karena itu, kita harus berusaha menciptakan sebuah karakter, akhlaq, serta morality yang baik di kalangan anak-anak,” urainya.

Dunia Pendidikan kita hingga kini, menurut dia, hanya bisa menciptakan para pencari kerja. Baru sekitar 20% lulusan dari dunia pendidikan kita yang bukan hanya menjadi pencari kerja tetapi juga bisa menjadi pencipta lapangan kerja. Anwar menyebut, hal itu karena mental para lulusan itu masih employee mentality, bukan entrepreneur mentality.

Ayah tiga orang anak itu menyebut, jumlah entrepreneur di negara kita masih di bawah 4% sementara Amerika Serikat memiliki 11% dari jumlah penduduknya, Jepang 10%, Singapura 7%, Malaysia 5%. Jadi, menurut Mantan Anggota MPR RI ini, perlu ada usaha untuk meninjau ulang kurikulum yang sudah kita selenggarakan selam ini.

“Kalau nggak bisa entrepreneur, minimal intrapreneur. Artinya, lulusan-lulusan yang memiliki bisnis mandiri. Dia tidak ingin membuat perusaahan melainkan dia akan bekerja di perusahaan yang dia inginkan tetapi dia mandiri, punya ide, punya visi. Dalam hal itu, dunia pendidikan kita agak lemah, terutama sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum ekonomi. Dia sekolah bisnis tetapi mentalnya mental karyawan. Kalau bisa, jangan terlalu besar jumlah yang memiliki employee mentality, supaya kita bisa mengakselerasi. Misalnya, dunia pendidikan kita bisa kita rancang sedemikian rupa dan kita buat kurikulumnya yang kira-kira akan bisa mencetak 20% dari lulusan tersebut menjadi entrepreneur,” katanya.

Fokus dakwah Muhammadiyah sendiri sejak awal hingga kini ada pada sektor pendidikan dan ekonomi. Di sektor Pendidikan, Muhammadiyah telah banyak mendirikan berbagai sekolah, mulai TK hingga Perguruan Tinggi. Total keseluruhannya mencapai kurang lebiih 3000 sekolah.

“Untuk mencetak generasi yang sukses diperlukan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Jika bisa mencetak anak-anak yang memiliki pengetahuan di dunia bisnis, punya skill untuk berbisnis, berpengalaman berbisnis, dan didorong mental entrepreneur, insya Allah tahun 2050 Indonesia menjadi negara adi kuasa. Suatu bangsa atau negara akan menjadi kuasa kalau ekonominya kuat. Tetapi tidak hanya ekonomi. Ilmu pengetahuan dan teknologi juga harus kuat,” ujarnya.
Baca Juga : Waligereja Indonesia dan PP Muhammadiyah Sepakat Jadikan Agama Sebagai Kanopi Suci

Doktor Syariah/Pemikiran Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu mencontohkan, kita memiliki sumber daya alam berupa nikel yang melimpah. Nikel itu berguna untuk membuat mobil listrik. Tetapi nikel itu dibawa ke Cina dan kembali ke Indonesia sudah dalam bentuk teknologi. Jadi, nilai tambahnya sangat tinggi. Kita yang punya tambang tetapi orang lain yang mendapatkan manfaat besarnya.

“Kenapa kita tidak Makmur? Karena kita tidak mengelola sumber daya dengan baik. Kenapa kita tidak bisa mengelolanya dengan baik? Karena kita masih rendah ilmu dan teknologinya. Lalu ke mana dunia pendidikan kita harus arahkan? Itulah, kita harus mencetak mereka supaya menjadi manusia yang berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, dan mau berkolaborasi untuk membuat teknologi-teknologi yang dibutuhkan, supaya ada added value atau nilai tambah yang besar dan signifikan, sehingga pendapatan negara kita meningkat dan kesejahteraan juga meningkat. Saat ini hal itu belum sesuai dengan yang kita harapkan. Pemerintah juga terlihat tidak terlalu serius mempercayai warga negara sendiri untuk mengembangkan kretivitas mereka,” tuturnya.

Anwar melihat, sebenarnya pemerintah sudah punya good will untuk mengarahkan sistem pada pembangunan dunia pendidikan yang lebih baik. Antara lain dengan meningkatkan anggaran. Tetapi masalahnya, anggaran itu lebih banyak yang ditilep oleh oknum tertentu daripada yang benar-benar terserap untuk kelancaran program.

“Contohnya dana untuk anak-anak yang terkena stunting. Pak Jokowi menganggarkan dana 10 Miliyar Rupiah, tetapi yang masuk ke anak-anak ini hanya di bawah 20% atau 2 miliyar Rupiah. Artinya, 80% untuk kepentingan para pihak yang mengerjakan pekerjaan tersebut. Itu kata Pak Jokowi, bukan kata saya. Jadi akhlaq dan moral penyelenggara pemerintahan ini bermasalah. Kesimpulannya, tampaknya APBN negara kita sudah cukup besar, cuma sayang dikorup atau disalah gunakan oleh oknum-oknum yang ada di pemerintahan tersebut. Selama kosupsi masih merajalela, maka usaha kita untuk mengakselesari pembangunan ini akan menjadi terhambat. Perlu kesadaran bersama untuk bersatu membangun negeri ini menjadi lebih baik. Tindakan tidak terpuji harus disingkirkan,” tegasnya.

Padahal, kata Anwar, jika dana yang “bocor” itu bisa diserap maksimal, kualitas pendidikan akan lebih baik, bahkan seluruh anak-anak Indonesia bisa bersekolah tanpa harus membayar. Maka, diperlukan pemerintahan yang kuat untuk menindak para pejabat negara atau ASN yang melakukan tindakan tidak terpuji semacam korupsi dan sebagainya itu.

“Muhammadiyah selalu mengevaluasi dan melakukan usaha untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah itu sendiri. Tetapi untuk melakukan semua itu kita perlu dana, sedangkan dana kita terbatas. Tetapi meskipun memiliki keterbatasan dana, beberapa sekolah dan perguruan tinggi sudah berhasil mengangkat kualitas pendidikannya ke tingkat yang lebih baik” ujarnya.
Baca Juga : Usai Dirikan Universitas, PCM Cileungsi Bidik Bangun Rumah Sakit

Di bagian akhir, Anwar menyoroti bahwa dalam menghadapi bonus demografi di tahun 2045, tingkat kualitas SDM menjadi salah satu kuncinya. Maka, kita harus memberi kesempatan kepada peserta didik kita untuk mengembangkan bakat dan kecenderungannya sendiri. Caranya dengan memberi mereka kesempatan dan peluang untuk berartikulasi serta melakukan kreativitas dan inovasi.

“Contohnya, di dunia otomotif atau roboting, sudah banyak anak-anak kita yang meraih juara. Semestinya itu di-backup oleh pemerintah dan masyarakat, sehingga mereka bisa menyalurkan bakat. Kita harus beri perhatian lebih dan fasilitasi anak-anak didik kita yang kreatif tersebut. Sehingga, diharapkan dengan adanya mereka, berbagai produk bisa kita lahirkan. Contohnya industri pesawat terbang yang dibuat Pak Habibie. Sebenarnya permintaan terhadap produk tersebut itu tinggi, tetapi proses pembuatannya memerlukan dana yang besar dan pemerintah tidak mendukung karena mental pemerintah adalah mental pedagang. Kita lebih senang membeli daripada membuat. Nah, ini pemikiran yang salah. Mestinya karya-karya anak bangsa diproteksi oleh pemerintah,” jelasnya.
Ia pun mengajak, kembalilah kepada falsafah bangsa kita. “Ayo kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa. Insya Allah jika kita konsisten dengan jati diri kita dan kita hadapi masalah yang ada dengan bersama-sama, kita akan bisa mengakselerasi negara kita menjadi negara yang lebih maju,” tutupnya.
Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.