Renungan Kemerdekaan: Kabel yang Masih saja Bikin Sebel

Renungan Kemerdekaan: Kabel yang Masih saja Bikin Sebel
Photo by Sigmund / unsplash

Kalau sedang tidak sibuk pikiran, jujur saja aku kerap merasa sebel dengan kabel. Menjulur tumpang tindih, menjuntai, saling berpilin. Tiang-tiang telekomunikasi seperti tumbuh bulu kasar yang melilit serabutan di ketiak-ketiak tiang penyangganya, sungguh pemandangan yang tak sedap. Sayangnya, kabel semrawut itu justru menjadi identitas kota!

Jika di tempat tinggalmu tidak ada kabel yang menjuntai atau terpasang tidak genah, ada dua kemungkinan; pertama, mungkin Anda tinggal di desa yang hanya ada kabel listrik. Kemungkinan kedua, Anda tidak tinggal di Indonesia.

Di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sebagai kawasan terdekat dengan aneka macam habitat kekuasaan, kabel ruwet selalu mudah dijumpai, bahkan di jalan-jalan protokolnya. Pemandangan serupa kerap pula aku jumpai di beberapa kota besar di luar pulau Jawa. Bisa dipahami, kota-kota lain tumbuh dengan meniru kawasan Jabodetabek, bahkan termasuk teknik pemasangan kabelnya yang serba simpang siur.

Merenungi berkah 78 tahun merdeka bisa dengan beragam cara. Orang-orang pinter bicara 78 tahun merdeka dengan sejumlah besar capaian di bidang ekonomi, pendidikan, dan mutu kesehatan. Mereka yang berpikir oposan akan menunjukkan indeks demokrasi yang menurun, penegakan hukum yang masih saja tebang pilih, korupsi yang makin kreatif dan massif, kedaulatan rakyat yang terbeli oligarki, dan politik dinasti yang makin subur.

Aku tak mampu bicara itu semua, selain tak punya data, pikiran cekak yang aku punya juga tak mampu mengunyah isu-isu besar itu. Biarlah para politisi, akademisi, dan para moralis yang membincangkan itu.

Aku hanya bisa mengungkap apa yang aku lihat. Dan aku melihat kabel yang terpasang secara tak senonoh hampir di semua arteri kota. Mengapa 78 tahun merdeka, kita belum cukup pintar untuk memasang kabel dengan genah, merenah dan tumakninah (meminjam jargon provinsi Jawa Barat)?

Baca Juga : Obat Luka Hati Akibat Terzalimi dan Putusnya Harapan

Memang sih, tukang kabel tidak dapat pelajaran memasang kabel secara khusus, apalagi yang dibarengi kesadaran safety, etika dan estetika memasang kabel di wajah kota. Seperti diriku, tukang kabel secara kultural mungkin hanya mewarisi teknik memasang tali jemuran yang kita dapat dari ayah atau ibu kita; yang terpenting tali terentang, dan kain basah bisa bergelantung di sana, tanpa menyentuh tanah. Tak perlu etika dan estetika, la wong di pekarangan sendiri, pasti juga safety!

Mungkin karena “paradigma” pasang tali jemuran ini pula yang diam-diam menjadi pegangan seluruh warga perkotaan, membuat kesemrawutan kabel menjadi lumrah. Tidak ada yang merasa janggal dengan itu semua.

Sampai kemudian, musibah datang menimpa Sultan. Nama lengkapnya Sultan Rif’at Alfatih, pria berusia 20 tahun, mahasiswa Universitas Brawijaya. Pada 5 Januari 2023, ia melintas di jalan Antasari, Jakarta Selatan, sebuah kabel fiber optik yang menjuntai di tengah jalan menjerat lehernya. Leher Sultan luka serius, ia harus dirawat 15 hari di RS. Fatmawati. Dokter yang bertanggungjawab memberikan informasi, akibat kecelakaan tersebut; tenggorokan, saluran napas, dan saluran makan Sultan putus!

Setelah lebih dari 6 bulan, kecelakaan akibat kabel tersebut baru menjadi perhatian publik. Bahkan Menkopolhukam Mahfud MD, pada awal Agustus lalu berkenan menjenguk Sultan yang sedang menjalani kembali perawatan di RS. Polri. Menkopolhukam bahkan memediasi agar hak-hak Sultan dan keluarganya dapat terpenuhi akibat insiden tersebut.

Kabel semrawut kemudian menjadi perhatian publik. PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono lantang menyerukan agar kabel menjuntai segera dirapikan. Ia memberi tenggat waktu 1 bulan bagi para perusahaan terkait untuk segera merapikan kabel. Heru bahkan mengancam; jika waktu satu bulan tidak rapi juga, ia tidak akan memberikan izin penambahan jaringan kepada perusahaan terkait.

Dari urusan remeh-temeh semacam kabel tak rapi ini, ada sejumlah hal mendasar yang perlu kita koreksi dan perbaiki di momentum peringatan HUT RI ke 78. Ada sisa-sisa keterbelakangan yang diam-diam masih jenak bercokol di benak dan mentalitas kita sebagai bangsa.

Keterbelakangan yang dahulu pernah kuat disematkan di kening para pribumi oleh kaum kolonialis dengan stigma “mentalitas inlander” yang antara lain dianggap terbelakang, malas, jumud, sembrono, dan kesemuanya itu dilandasi oleh jiwa kerdil yang silau oleh kehebatan orang luar dan tidak memiliki rasa percaya diri yang memadai sebagai sebuah bangsa.

Baca Juga : Sampah yang Bertebaran di Antara Klaim Keimanan

Kabel di pinggiran jalan raya, di pasar-pasar rakyat, di kompleks perumahan, di masjid, bahkan di rumah kita masing-masing yang serba acak-adut adalah cermin belum genahnya mental kita sebagai bangsa. melalui kabel ruwet sesungguhnya kita bisa mengintip, bahwa kadangkala bangsa ini tidak memiliki visi besar dalam penyiapan berbagai infrastruktur penting dalam kehidupan. Kabel yang acak-acakan dan menjuntai kesana-kemari adalah bukti bahwa kita tak pernah membayangkan adanya kebutuhan ruang untuk kabel yang begitu besar. Space untuk kabel mungkin tak pernah kita prediksi secara akurat. Sekedar mencantolkan setiap kali ada kebutuhan baru!

Melalui kabel yang terpasang tumpang tindih dan terlihat rumit juga mengabarkan lemahnya sinergisitas antar pihak yang berkepentingan. Sama sama untuk meninggikan kabel, kenapa mesti tiap vendor telekomunikasi harus membuat tiang masing-masing? Mengapa pemerintah sebagai regulator tidak memberi arah kebijakan bagi munculnya sinergisitas itu? Kebiasaan buruk yang memudahkan kita dipecah belah. Di partai politik hal serupa juga kerap terjadi. Di mana budaya gotong-royong itu?

Dari ujung kabel itu pula kita bisa melongok, betapa mentalitas reaktif masih begitu dominan. Selalu saja setelah ada insiden baru ada evaluasi.  Pejabat mencak-mencak, ancam sana-ancam sini. Mengapa tidak ada perencanaan jangka panjang yang secara serius mengalokasikan antisipasi atas datangnya ancaman atau bahaya? Kita semua sibuk dan saling menyalahkan saat musibah datang. Mengapa tidak sibuk menyiapkan mekanisme agar musibah dapat terhindarkan?

Kabel yang terpasang ruwet juga potret tentang mentalitas dan budaya yang sembrono, menggampangkan urusan, asal nyambung, asal nyala! Tidak memperkatikan prosedur, proses dan standar yang semestinya. Itulah budaya kolektif kita.

Ah, aku jadi takut membayangkan; mengurus kabel yang lentur, kecil, dan mudah di atur saja gagal teratur, bagaimana mengurus aparatur? Entahlah.

Pada momen peringatan 78 tahun Indonesia merdeka aku hanya ingin mengajak diriku sendiri dan Anda semua, mari belajar memasang kabel di rumah kita masing-masing dengan benar, tertib dan aman. Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.