Tingkat pengangguran di Indonesia mengalami fluktuasi dalam lima tahun terakhir. Menurut W. Yashilva dalam artikel berjudul “Perkembangan Tingkat Pengangguran di Indonesia”, seperti diakses dari https://data.goodstats.id/statistic/perkembangan-tingkat-pengangguran-di-indonesia-AR6V7 pada 21 Juni 2024, angka pengangguran di Indonesia lima tahun terakhir adalah 6,82% (2019); 6,93% (2020); 8,75% (2021); 8,4% (2022); dan 7,99% (2023).
Persentase tahun 2020 disebabkan kondisi awal pandemi Covid-19 yang berdampak pada sektor industri, terutama pariwisata dan manufaktur. Tahun 2021 diakibatkan oleh pandemi yang berkepanjangan, sehingga perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja. Sedangkan tahun 2022 menunjukkan adanya pemulihan ekonomi meski pun masih belum kembali ke kondisi sebelum pandemi. Dan tahun 2023 sudah terjadi peningkatan aktivitas ekonomi di berbagai sektor. Secara keseluruhan, data tersebut menunjukkan tingkat pengangguran di Indonesia yang dipengaruhi kondisi sosial-ekonomi global dan domestik saat itu, termasuk masa pandemi Covid-19.
Untungnya, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia tahun 2024 menampilkan, komposisi angkatan kerja pada Agustus 2024 terdapat 7,47 juta orang pengangguran. Jika dibandingkan Agustus 2023, jumlah pengangguran berkurang sebanyak 0,39 juta orang atau mengalami penurunan sebesar 0,41%. Hal ini berarti, dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 5 orang penganggur. Data tersebut diungkap BPS dalam artikel “Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2024” yang dimuat di Berita Resmi Statistik No. 83/11/Th. XXVII, 5 November 2024.
Sebelum menentukan jumlah tersebut, tentu BPS terlebih dahulu telah menetapkan definisi dari “penganggur”. Di dalam Berita Resmi Statistik dinyatakan, pengangguran ialah penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan; memersiapkan usaha baru; sudah diterima bekerja/sudah siap berusaha tetapi belum mulai bekerja/berusaha; atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (putus asa).

Di sisi lain, BPS juga merilis perihal kondisi kelas pekerja di Indonesia. Tercatat, Februari 2024, rata-rata pendapatan bersih sebulan pekerja bebas di sektor pertanian adalah sekitar 1,21 juta rupiah, non-pertanian sebesar 1,86 juta rupiah, dan buruh/karyawan/pegawai senilai 3,04 juta rupiah. Hal itu diungkap BPS dalam “Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2024” yang dimuat Berita Resmi Statistik Vol. 18 No. 1 Tahun 2024.
Jika dibandingkan Februari 2023, nominal tersebut dapat disimpulkan mengalami kenaikan. Masih dari BPS, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2024, dijelaskan, lingkup dari kelas pekerja ini terdiri atas pekerja bebas di pertanian/non-pertanian dan buruh/karyawan/pegawai yang dianggap sebagai seseorang yang bekerja pada orang lain/instansi/kantor/perusahaan dengan waktu kerja tertentu/tetap serta menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.
Dengan hadirnya dua pengertian di atas dan simpulan sederhana, bahwa kata kunci “kerja” menjadi asas pembeda/pemisah antara “penganggur” (belum bekerja) dan “pekerja” (bekerja), mari kita telaah kembali tentang apa itu kerja dan bagaimana konsepnya. Tetapi, tulisan kali ini tidak difokuskan ke ranah struktural, melainkan hanya kontemplasi ringan atau menilik-refleksi kedirian melalui perspektif Islam.
Pada masa awal Islam, diketahui pekerjaan yang lazim dilakukan oleh Bangsa Arab, yakni terutama pertanian, perdagangan, pelayaran, serta kerajinan (termasuk pertukangan dan pandai besi). Hal itu seperti dikutip A. Bayat dalam “Work ethics in Islam: A comparison with Protestantism”, The Islamic Quarterly Vol. 36 No. 01, 1992.
Pelbagai ayat Al Qur'an dan sabda Nabi Muhammad saw pun mengungkap, bahwa pekerjaan yang banyak dipraktikkan masa itu adalah perdagangan (seperti yang dilakukan masyarakat Makkah) dan pertanian (seperti aktivitas orang-orang Madinah). Ya, aktivitas ekonomi (baik perdagangan maupun kerja manual) memang tugas yang dibebankan kepada setiap individu, sebagaimana catatan Ibn Taimiyyah dan Abu Bakar al-Khallal. Maka wajar, Ikhwan Alsafa pernah berpendapat bahwa kerja itu sakral, sebab dengan itu seorang pengrajin/pekerja berupaya mencipta bentuk baru dari bahan mentah serta menggabungkan-memanfaatkan kecerdasan maupun pikirannya. Hal itu dikutip M. Shatzmiller, “Labour in the medieval Islamic world”, E. J. Brill, 1994. Dari sini, jelas sikap positif terhadap pekerjaan merupakan salah satu prinsip dalam Islam.

Logika di balik bekerja (menurut Islam) adalah mencapai kemandirian dan kecukupan. Islam mengarahkan untuk memiliki kebanggaan dalam pekerjaan, bahkan ketika menerima sedikit imbalan. Hingga dicontohkan oleh para nabi as, yang berikhtiar mendapatkan penghasilan.
Sabda Nabi Muhammad saw, “Tidak seorang pun pernah memakan makanan yang lebih baik daripada memakan apa yang diperoleh tangannya. Dan sesungguhnya, Nabi Dawud as makan dari hasil tangannya” [ Sahih al-Bukhari: 2072]; “Nabi Zakariya as adalah seorang tukang kayu” [Sahih Muslim: 2379].
Beliau saw juga pernah bersabda, “Allah tidak mengutus seorang nabi pun, tetapi mereka menggembalakan domba”; Para sahabat kemudian bertanya, “Apakah kamu melakukan hal yang sama?”; Dijawab, “Ya, saya biasa menggembalakan domba orang-orang Mekkah untuk beberapa Qirat.” [Sahih al-Bukhari: 2262].
Penjelasan senada disampaikan oleh Afzalurrahman, bahwa selain diutus untuk membasmi belenggu perbudakan, Nabi Muhammad saw diutus agar menghantarkan kemerdekaan kepada mereka dalam beribadah dan mencari penghidupan (Afzalurrahman, dkk, “Muhammad Sebagai Seorang Pedagang”, Yayasan Swarna Bhumy, 1997). Oleh karenanya, Islam memerbolehkan migrasi/merantau (berpindah tempat) jika pekerjaan tidak tersedia di daerah setempat, demi bisa menafkahi keluarga, perbaikan diri (berangka taqwa), serta menjaga keyakinan dan hidup. Di samping itu, Islam juga mengaitkan niat bekerja dengan pentingnya akhirat, sebagaimana tertulis sebuah hadist, “Sesungguhnya setiap perbuatan dicatat sesuai dengan niatnya, dan manusia akan diberi pahala dan siksa sesuai dengan niatnya” [Sahih Bukhari: 1].
Jika ditarik ke ranah konseptual, salah satu kata yang relevan dengan “kerja”, yakni “amal”. Berdasarkan perbendaharaan bahasa arab, “amal” diartikan sebagai kerja atau tenaga kerja, tindakan atau perbuatan, produksi atau manufaktur, dan provinsi atau sebagian negara (M. Baalbaki and R. Baalbaki, “Al-Mawrid Al-Waseet: Concise Dictionary, English-Arabic and Arabic-English”, Dar Al-Adab Publishing, 2008).

Pun berkorelasi dengan etos kerja dalam Islam yang menekankannya sebagai sumber kehormatan [09: 105], perolehan nafkah [73: 20], penebusan dosa [Majma'uz Zawaid: 6239], penghasilan terbaik (halal dan sah) [Sunan Ibnu Majah: 2138], kewajiban [41: 33], dan jihad [Riyad as-Salihin: 539]. Pendapat selaras juga pernah disampaikan H. Yusuf Ahmad Lubis setelah memahami hadist Rasulullaah saw (Yusuf A. Lubis, “Kedudukan buruh/karyawan dalam Islam”, Budi Pekerti, 1968). Kata beliau, pertama, jika kamu berusaha untuk diri dan lingkunganmu, kamu ada di jalan Allah swt. Kedua, jika kamu bersungguh-sungguh bekerja, kamu ada dalam ampunan Allah swt. Ketiga, jika kamu mencari rezeki yang halal dan thoyyib, kelak kamu berjumpa dengan Allah swt dengan keadaan terbaik. Dan terakhir, sebaik-baik perolehan kebutuhan dasar adalah apa yang diusahakan tangannya sendiri.
Sebagai penutup, semasa mencari pekerjaan atau bahkan bekerja, pasti kita pernah kehilangan rasa atau lupa dengan niatnya. Alhasil, secara sadar atau tak sadar, kita mulai memalaskan diri dan rela menyia-nyiakan potensi yang dimiliki. Di titik ini, tidak ada salahnya merenungi kembali pesan dari Buya Hamka, bahwa “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup; Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.” (J. Prasetya, “Ajaran-Ajaran Founding Father dan Orang-Orang di Sekitarnya”, Palapa SBN, 2014).
Wallahu a'lam bish shawab.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!