Menyalahkan Cuaca Ektrem, Mengabaikan Fakta Deforestasi

Menyalahkan Cuaca Ektrem, Mengabaikan Fakta Deforestasi
Menyalahkan Cuaca Ektrem, Mengabaikan Fakta Deforestasi/foto:unsplash

Berdasarkan data terakhir, bencana alam banjir dan longsor di Sumatera telah merenggut 604 jiwa meninggal dunia. Sejumlah 283 orang berasal dari Sumatera Utara, 165 di Sumatera Barat, dan 156 jiwa berasal dari Aceh. Masih ada ratusan warga lain yang dinyatakan hilang dari ketiga kawasan tersebut.

Bagi mereka yang melihat dari layar berita dan terutama para korban di daerah terdampak, bencana ini dahsyat. Tetapi tampaknya pemerintah menganggap, musibah itu belum terlalu besar untuk dinyatakan sebagai bencana nasional. Hingga hari ini, meski beberapa pihak telah menuntut penetapan bencana banjir dan longsor Sumatera itu sebagai bencana nasional, pemerintah pusat nampaknya memiliki indikator dan kriteria lain, sehingga bencana di akhir November ini belum dinyatakan berstatus sebagai bencana nasional.

Ucapan bela sungkawa terus mengalir dari seantero negeri untuk para korban bencana. Dibarengi perdebatan sengit di lini masa menyertai ungkapan bela sungkawa itu.

Di layar televisi dan konferensi pers pemerintah, penjelasan yang mengemuka hampir seragam tentang sebab bencana: cuaca ekstrem. BMKG menjelaskan pengaruh siklon tropis SENYAR yang terbentuk di Selat Malaka dan meningkatkan intensitas hujan di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Kementerian ESDM menyebut “cuaca ekstrem dan kondisi geografis” sebagai pemicu utama bencana. Kementerian Kesehatan pun merilis pernyataan tentang respon kesehatan dalam “bencana cuaca ekstrem” di tiga provinsi tersebut. Intinya, bencana banjir dan longsor di Sumatera adalah bencana hidrometeorologi yang murni dipicu oleh fenomena cuaca.

Raja Bertaruh Moral Politik di Meja Domino
Politik adalah panggung simbol. Satu foto sering lebih keras berbicara daripada seribu kata. Lantas bagaimana dengan Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, yang terekam foto sedang bermain domino bersama Azis Wellang yang pernah menjadi tersangka kasus pembalakan liar?

Tetapi banjir ternyata memiliki versinya sendiri. Selain menjadi berita yang mendunia, banjir di Sumatera juga menyampaikan sebuah berita. Berita itu berupa tumpukan kayu gelondongan dalam jumlah yang sangat banyak yang terbawa oleh arus banjir.

Jika tak hanyut dibawa banjir, mungkin kayu-kayu gelondongan itu akan tetap rapi di tempat penyimpanannya. Tertutup hijau pepohonan yang masih tersisa dan rapatnya uang tutup mulut yang bergerak pelan-pelan.

Fakta inilah yang memicu perdebatan di lini masa yang riuh mengiringi ungkapan duka. Duka pada korban dan marah kepada keserakahan, korupsi, serta suap di balik tumbangnya kayu gelondongan yang hanyut itu!

Tak ayal, tudingan adanya tindakan deforestasi dan alih fungsi hutan pun teracung. Mengapa deforestasi dan alih fungsi hutan tak muncul dalam narasi para pejabat? Bukankah penampakan kayu gelondongan dalam jumlah yang sangat besar itu adalah fakta yang amat kasat mata?

Meluruskan Letak Kemaluan Bangsa
Malu adalah kata sifat. Kemaluan adalah kata benda (merujuk pada bendanya). Kemaluan dibentuk dari kata dasar malu. Menurut KBBI, Kemaluan juga berarti mendapatkan malu, hal malu, atau yang menyebabkan rasa malu. Namun, dua makna terakhir itu tak lagi dimengerti masyarakat.

Menyalahkan cuaca ekstrem adalah langkah paling aman. Toh, cuaca tak akan pernah mampu membela diri atas semua tudingan itu. Secara politik, menyalahkan cuaca juga dianggap langkah paling “bijak dan aman”. Sebab, pasti tak akan mengundang resistensi politik, setidaknya dari sejawat yang tangannya ikut berlumuran lumpur deforestasi. Atau mengundang kemarahan para taipan yang menjadi cukong deforestasi dan alih fungsi hutan. Padahal, cukong tersebut adalah mitra politik strategis saat gelaran Pemilu atau Pilkada.

Rakyat juga akan anteng, jika wacana cuaca ekstrem yang menjadi narasi utama dibalik bencana banjir dan longsor di sumatera. “Ulah cuaca, mau diapain lagi?

Kelompok-kelompok pro lingkungan hidup di Indonesia lantang menyoroti adanya kegiatan deforestasi dan alih fungsi hutan di balik bencana banjir yang mendera Sumatera. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara tegas menyebut bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara itu akibat dari kerusakan ekosistem Batang Toru. Ekosistem ini (Batang Toru) adalah bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera Utara, demikian diungkap Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara.

Menurut analisis Global Forest Watch yang dikutip Walhi, dari 2002 sampai 2024 sebagaimana dilansir katadata.co.id: Sumatera Utara kehilangan sekitar 390.000 hektare hutan primer basah; area hutan primer berkurang 19%. Sumatera Barat kehilangan sekitar 320.000 hektare hutan primer basah; area hutan primer berkurang 14%. Sementara itu, hanya dalam periode 2021–2024 saja, Sumut kehilangan sekitar 67.000 hektare hutan alam, sementara Sumbar kehilangan sekitar 50.000 hektare hutan alam.

Tidak ada yang menyangkal, hujan beberapa waktu terakhir di Sumatera memang ekstrem. Siklon tropis SENYAR terbukti meningkatkan curah hujan lebat di sekitar Aceh, Sumut, dan Sumbar. Di dalam istilah teknis, ini adalah bencana hidrometeorologi: bencana yang dipicu oleh fenomena cuaca. Namun, menimpakan seluruh kesalahan kepada cuaca apakah benar-benar adil? Ataukah ini hanya langkah pemerintah untuk mengaburkan jejak kebijakan yang keliru, dan lantas lepas tangan atas tanggung jawab tata kelola ruang?

Mari kita tanya kepada kayu-kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir. Mungkin ia lebih jujur menyampaikan fakta, karena cuaca korupsi yang masih ekstrem tampaknya cukup efektif untuk mengaburkan fakta.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.