Pendidikan adalah modal dasar untuk mencetak generasi pembangun bangsa. Baik skill, mental, kemampuan, dan lainnya. Sistem pendidikan yang baik akan mencetak manusia berkualitas. Sedangkan sistem pendidikan yang tidak stabil, walaupun mampu menghasilkan skill yang bagus, tetapi jika tidak didukung mental yang baik tentu akan membuat suatu negara jatuh ke dalam kerugian. Akibat korupsi pejabat, contohnya.
Indonesia telah 11 kali mengganti kurikulum pendidikan sejak kemerdekaan. Dari Kurikulum Rentjana Pelajaran tahun 1947, KBK tahun 2004, Kurtilas 2013 sampai Kurikulum Merdeka yang berlaku hari ini. Penulis tak tertarik untuk mendukung atau mengritisi kurikulum tersebut. Penulis hanya ingin berbagi sedikit pengalaman mengajar di beberapa tempat dan membandingkannya dengan sistem pendidikan zaman terbaik umat Islam. Kira-kira bagaimana gambaran kemerdekaan belajar di zaman Umar dan Salaf Ash-Shalih?
Wali Murid yang Peduli.
Ibunda Sufyan Ats-Tsauri berkata kepada anaknya itu, “Aku biayai kamu belajar dari hasilku menjahit. Setiap menulis 10 huruf, lihatlah apakah ada perubahan baik pada dirimu. Jika tidak ada, tak usah sekolah kamu sekalian, karena kamu tidak bisa ambil faedah dari yang kamu pelajari”.
Orangtua adalah Madrasah yang sebenarnya. Walau anak sudah disekolahkan, orangtuanya tidak bisa lepas tanggung jawab dan menyerahkan anaknya sepenuhnya ke sekolah. Di dalam pengalaman penulis selama 7 tahun mengajar, justru banyak orangtua atau wali murid yang ketika di rumah tidak mendidik akhlak anak, tetapi ketika anak berada di sekolah dan diberi sedikit sanksi dalam rangka mendidik akhlaknya, malah tidak terima. Bahkan dengan mudahnya orangtua murid sekarang ancam-ancam lapor Polisi, Dinas pendidikan, dan sebagainya.
Gaji Guru yang Layak.
“Al-Wadhi bin Atha meriwayatkan, bahwa Umar bin Khattab memberi gaji kepada 3 guru anak-anak di Madinah sebanyak 15 Dirham”.
Gaji tersebut, jika dikonversi dengan Dirham di zaman Umar, maka seorang guru mendapat gaji sekitar Rp 3.750.000. Bandingkan dengan gaji rata-rata guru honorer di Indonesia. Saya kira semua orang sudah tahu berapa gaji rata-rata guru honorer di Indonesia. Penulis sendiri pernah digaji Rp 600.000, Rp 800.000, Rp 1.200.000, dan mentok di angka Rp 3.000.000 pas. Bahkan pernah digaji 0 Rupiah di masa UTS karena tidak mendapat jam mengawas.
Hal itu karena jumlah gaji yang penulis terima tidak tetap setiap bulannya, alias tergantung berapa jam tatap muka (JTM). Tiap jam hanya dihitung Rp 8.000 – Rp 20.000 rupiah. Jika liburan tiba, paceklik pun melanda. Belum ditambah segudang pekerjaan administrasi guru (RPP, Silabus, dan sebagainya) dan macam-macam tugas lain semisal kepanitiaan ini dan itu.
Guru juga manusia. Yang punya kebutuhan. Maka, guru akan fokus memberikan yang terbaik kepada muridnya apabila kebutuhan manusiawinya telah terpenuhi.
Jam Belajar yang Memanusiakan Murid.
Ibnu Mas’ud memberikan pelajaran tiap hari Kamis, maka murid-muridnya minta tiap hari. Tetapi beliau berkata, “aku khawatir kalian nanti bosan”. Ibnu Abbas berkata, “Berilah pelajaran hari di Jumat, atau maksimal 3 hari sepekan. Jangan membuat orang bosan”.
Berkebalikan dengan keinginan murid sekarang. Masuknya setiap hari tetapi justru minta banyak libur atau pulang cepat. Itu karena bosannya mereka setiap hari dijejali materi yang sebagiannya mereka tidak minati.
Sedangkan guru saja hanya bisa mengajar satu mata pelajaran, sementara siswa dituntut bisa mengikuti semua pelajaran. Jam pelajaran yang terlalu padat pun membuat mereka kurang mempelajari skill lainnya, semisal kemampuan bekerja, bisnis, berorganisasi, dan sebagainya. Padahal itu adalah modal untuk bertahan hidup.
Murid yang Beradab kepada Gurunya.
“Imam Syafi’i berkata, ‘Aku ketika mendengar Imam Malik mengajar, maka aku berhati-hati dalam membuka lembar-lembar buku, khawatir mengganggu konsentrasi beliau”.
Berkebalikan dengan murid di zaman sekarang, yang semakin berani celetak-celetuk ketika guru sedang mengajar, berisik, dan melawan ketika disuruh tertib. Penulis sendiri punya pengalaman, ketika sedang mengajar terkadang terpaksa melempar botol atau penghapus ke dinding, bahkan menjatuhkan meja untuk menertibkan siswa. Saya tidak melempar ke anak-anaknya karena pasti nanti akan menjadi kasus.
Maka, betul kata para ulama. “Adab dulu sebelum ilmu”. Sebab, tidak mungkin pelajaran bisa dimulai jika muridnya tidak beradab. Ini PR besar bagi wali murid untuk mendidik anak-anaknya agar lebih beradab.
Pemisahan Siswa Putra dan Putri di Atas 10 Tahun.
“Rasulullah bersabda, ‘Berilah sanksi anakmu yang berumur 10 tahun jika tidak shalat dan pisahkanlah tempat tidur mereka (anak lelaki dan perempuan)’”.
Di dalam Hadits lain,
“Dua orang lelaki dan perempuan yang berduaan, maka ketiganya Setan” – HR. Ahmad
Hadits tersebut memberi faidah bahwa umur pubertas dimulai di usia 10 tahun. Di dalam Islam, umur 10 tahun bukan lagi anak-anak meskipun belum baligh. Maka, secara pergaulan pun harus dipisah, bahkan kepada gurunya sekalipun. Dan hal ini dipraktikkan oleh pesantren-pesantren di Indonesia sejak dulu, meskipun gurunya masih nyampur (santri siswi berinteraksi dengan guru lelaki, dan seterusnya).
Bayangkan, dewasa ini dengan guru saja masih bisa ada kasus pencabulan karena bercampur (Ikhtilath) dalam interaksi. Lalu bayangkan, apalagi di antara siswa dan siswi. Faktanya, hal ini sudah menjadi lumrah di Indonesia, fenomena anak sekolah berpacaran, bahkan sampai melakukan zina. Na’udzubillah.
Pemerintah yang Peduli Orangtua.
“Umar bin Khattab pernah mendengar seorang bayi menangis karena dikasih makanan bukan disusui, lalu ia bertanya kepada ibunya, ‘kenapa tidak disusui ?’ Ibunya menjawab, ‘Karena Anda cuma memberi subsidi buat bayi yang sudah makan, bukan bayi yang disusui‘. Esoknya Umar menangis dalam shalat subuh lalu berkata, ‘Celaka engkau, Umar. Berapa bayi yang engkau bunuh?’. Maka setelah itu Umar memberi subsidi kepada anak bayi dan ibunya juga”.
Aktivitas belajar menuntut kita berpikir, dan manusia berpikir harus ditunjang dengan logistik yang cukup. Bagaimana mungkin orang-orang di dalam dunia pendidikan dapat berpikir dengan jernih, sementara perut mereka meronta-ronta?
Akhir kata, masalah pendidikan harus kita selesaikan bersama-sama. Oleh semua pihak. Baik pemerintah, guru, murid, pihak sekolah, maupun wali murid. Merdeka belajar intinya adalah memanusiakan dan menciptakan ketenangan dalam belajar, sehingga kita mampu berkembang dengan ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lam bishowab.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!